2.

227 21 0
                                    

"Kak Fujio!"

Fujio nyaris terlonjak karena kaget. Dia sedang berjalan pulang sendirian, hari sudah malam, dan seseorang melompat dari gang kecil menghadangnya.

"Motoaki!" Gerutu Fujio, meletakkan tangannya di dadanya sendiri.

Motoaki membawa bungkusan dan disodorkannya ke dada pemuda yang lebih muda beberapa tahun darinya itu, "Ini untukmu."

Fujio menerimanya dengan bingung, "Apa ini?"

"Makanan. Untukmu--"

"Uh, apakah ini kadaluwarsa?" Tanya Fujio, kali ini berhati-hati.

"Tidak. Tidak." Jawab Motoaki, menyunggingkan senyum lebar yang memperlihatkan barisan giginya yang kotor. "Teman dekatku di tempat kerjaku memberikannya padaku, jadi kuberikan padamu."

"Terima kasih, ya." Masih agak bingung, Fujio menerimanya. Dia teringat kembali perkataan Tsukasa saat Motoaki memukul Jamuo waktu itu. Karena itu dia pun bertanya, "Mau makan bersamaku?"

Di luar dugaannya, sepasang mata pria yang lebih tua darinya itu langsung berbinar cerah bagaikan bintang di langit, dan sambil mengangguk-ngangguk Motoaki berkata, "Di taman sana ada bangku kosong." Dia menunjuk ke arah kejauhan.

Sebenarnya Fujio merasa ada sesuatu yang aneh saat melihat ekspresi binar ceria Motoaki, tapi dia tidak mau mencurigai temannya. Dia mengira Motoaki sangat membutuhkan teman, dan dia mengangguk saja. Keduanya berjalan ke taman. Motoaki tak henti-hentinya meliriknya sambil kedua tangannya saling meremas-remas sendiri sepanjang jalan.

Mereka tiba di taman dan duduk berdua berdampingan. Fujio membuka bungkusannya dan melihat isinya adalah bekal nasi dan sayur lobak, lengkap dengan sendok. Dia membukanya dan mengambil sendoknya, tapi baru saja dia mau menyuap, Motoaki berkata dengan nada sangat mesra, "Anu.. kak Fujio, biar kusuapi...."

"Ha?" Spontan Fujio terpana.

Motoaki mengambil sendok dari tangan pemuda yang lebih muda darinya itu, dan menyendokkan makanan, lalu mengulurkannya ke mulut Fujio.

Fujio menepisnya dengan bingung. "Nah, aku tak perlu disuapi." Ucapnya, menduga Tsukasa menyebar cerita bahwa lengan kanan Fujio patah.

"Oh...." Motoaki meletakkan kembali sendok itu. Ekspresinya sangat aneh di mata Fujio, apalagi ucapannya selanjutnya, "Kalau begitu, kak Fujio.. bagaimana kalau kau yang menyuapiku saja?"

"Ha??"

Sesaat keduanya hanya bertatapan. Fujio dengan eskpresi kebingungan, dan Motoaki dengan ekspresi penuh cinta.

Lalu Fujio mengerjap. "Kau sakit?" Tanyanya bingung, "Tanganmu patah?"

"Tidak. Tidak." Motoaki memalingkan muka sejenak, menyadari kebodohan pemimpinnya ini. "Maksudku," Dia berdehem, lalu tiba-tiba meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu Fujio dan menatapnya lekat. "Kurasa sudah waktunya aku memberitahumu...."

"Ha? Apa?" Fujio membalas tatapannya dengan bingung.

"Awalnya aku tak tahu ini apa." Jawab Motoaki, "Kupikir aku hanya mengagumimu. Kau selalu tampak bersinar. Kukira aku hanya ingin menjadi bagian dari kelompokmu, tapi......"

"Tapi?" Tanya Fujio tak sabar, karena bingung.

"Tapi lalu kusadari, kak Fujio, ini adalah...." Dengan susah payah Motoaki berusaha mengutarakannya, "Cinta."

Sesaat, selama beberapa detik, keduanya terdiam lagi. Motoaki menunggu reaksi Fujio, sementara Fujio berusaha mencerna apa yang didengarnya.

Mekanik lambat di otak Fujio yang terkadang perlu pukulan keras dulu sebelum bekerja kini berputar. Lalu, "APAAA?" Teriakannya terdengar membahana.

***

"Fujio?" Lagi-lagi Tsukasa menegurnya ketika mereka belajar bersama lagi di atap keesokan sorenya, tapi kali ini Fujio tidak tertidur melainkan melamun.

"Kau kenapa lagi?" Tsukasa mengamati ekspresi sahabatnya, mencoba menebak pikirannya. Toh hampir dua tahun belakangan ini waktunya banyak dihabiskannya untuk menebak pikiran Fujio, menjaganya tetap di jalan yang lurus, dan menjaganya tetap aman. Sedapat mungkin Tsukasa berusaha menghindarkan Fujio dari konflik, demi semua orang di Oya juga.

"Tidak apa-apa!" Fujio memalingkan muka.

"Tak usah membohongiku." Tsukasa masih mengawasi sahabatnya, "Kalau kau berwajah seperti itu artinya sedang ada sesuatu dalam pikiranmu."

Fujio menggeleng, nyaris membantah lagi, tapi kemudian berpikir sejenak, dan sepasang mata hitamnya membalas tatapan si pirang. "Kau.. apakah bisa kupercaya?"

"Ha?"

"Sudahlah." Fujio kembali memandang ke bawah.

"Hei, yang benar saja!" Tsukasa menonjok bahu sahabatnya dengan lembut. "Katakan padaku, jangan sampai aku cari tahu sendiri, karena aku pasti akan tahu."

"Ha?" Ganti Fujio yang bertanya.

"Aku pasti akan cari tahu apa pun yang terjadi padamu." Sahut Tsukasa.

"Ini tentang Sakata." Jawab Fujio akhirnya.

"Dia..? Menyusahkanmu lagi?" Tebak Tsukasa, "Tunggu, kurasa bukan itu masalahnya." Si pirang itu tampak seperti pura-pura berpikir sejenak, lalu berkata lagi, "Memberimu bekal makanan?"

Fujio langsung terlonjak, "Ha?? Bagaimana kau tahu?? Kau ini dukun ya??"

"Ngaco!" Gerutu Tsukasa dibilang dukun. "Tentu saja aku tahu karena reaksinya kemarin saat Jamuo memberikan titipan makanan dari gadis kepadaku."

"Reaksinya? Memang bagaimana reaksinya?"

"Dia.. mengawasimu." Jawab sahabatnya, "Sampai lama. Sedetik pun tak berpaling. Aku ada disitu. Aku melihatnya."

"Ya, dia--"

"Kenapa? Bekalnya sudah kadaluarsa lagi?" Putus Tsukasa, tersenyum menggoda sahabatnya, "Kau sakit perut?"

"Ngaco!" Bentak Fujio sambil bangun, "Tidak jadi cerita, deh!"

"Oi!" Protes Tsukasa, ikut bangun.

"Tidak jadi!" Balas Fujio.

"Hei, katakan padaku--"

"Tidak!"

Dan berujung dengan keduanya kembali saling memukul dengan main-main.

***



Love is IronyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang