CHAPTER 37

24K 2.1K 1.2K
                                    

Terbangun ketika matahari sudah terbit, tetapi Joan masih dengan setia bersembunyi di dalam pelukan Elder. Menikmati dekap hangat prianya yang juga baru bangun, menempel bibir Elder pada kening Joan, memeluk Joan seperti tak ingin memulangkan perempuan itu ke rumahnya.

Cahaya matahari masuk, menembus dinding kaca galeri Elder lalu di dalam, kedua orang itu tidur di bawah dengan beralasan karpet berbulu lembut. Di karpet itu juga mereka semalam memadu kasih, bercumbu, menikmati dinginnya suhu malam yang seketika berubah panas, sesak tatkala keduanya berakhir menyatu hingga beberapa kali tanpa jeda.

Elder ingin mengajak Joan ke hotel, sayangnya mereka kepalang bergairah dan tak sanggup lagi meninggalkan galeri. Tapi memang lebih kreatif di situ, karena selain pada karpet di bawah, ada juga meja kayu dan sofa tunggal yang mereka jadikan tempat berkreasi cinta.

"Bisakah kita tinggal bersama saja? Aku tak ingin memulangkanmu..." Berat, deep suara Elder menyapa telinga Joan. Suara khas bangun tidur para pria yang seksi.

Pun Joan tak mau lepaskan, dia balas mesra memeluk leher Elder, mendongak dan mendapati dosen itu masih memejam. Lantas Joan kecup bibir Elder singkat. "Sudah pukul delapan, kau tidak mengajar?" balas tanya Joan, tak ingin menggubris pertanyaan Elder yang sulit untuk ia jawab.

Bukan tak mau tinggal bersama, bukan tak ingin bersama pria yang amat ia cintai, tetapi Joan masih sadar penentangan besar di dalam hubungan mereka. Ia masih sadar akan hal itu.

"Pukul sebelas baru aku memiliki jam mengajar," jawab Elder, suaranya masih berat. Elder tempelkan lagi bibirnya di kening Joan.

"Kau mau sarapan apa, hm? Kita ke apartment dan akan kubuatkan sarapan untukmu." Elder serius, dia ingin membuatkan Joan sarapan. Setidaknya Joan harus tahu, bahwa prianya pun tahu memasak.

"Memangnya kau tahu memasak?" Sembari mengulas senyum Joan bertanya. Rambut Elder dia sisir-sisir naik.

Perlahan Elder membuka mata. Dalam, merah dan sayu Elder menatap Joan, sorotan khas bangun tidur. Sialnya ia justru terlihat seksi.

"Tidak percaya? Mari kita ke apartment—"

"Tidak mau," tolak Joan cepat, ia tertawa hingga Elder langsung dapat menangkap maksud dari tawa wanita itu.

"Tidak mau? Apa kau takut dirimulah yang kujadikan sarapan, um?" Joan semakin tertawa, dia menggeliat dan memberontak karena Elder menggelitik perut serta ketiaknya.

Elder lalu setuju untuk mengantar Joan pulang setelah ia mengumpulkan niatnya banyak-banyak. Segar dan sejuk udara pagi menerjang kulit mereka, erat pula Joan memeluk Elder dari belakang, mengobrol santai selama mereka menuju ke rumah Joan. Sesekali Elder mengecup punggung tangan Joan, ia satukan jemari mereka dan menahannya di dada sembari terus mengendarai motornya dengan laju sedang.

Di belakang, senyum Joan tercipta dan ia bersandar pada bahu lebar Elder. Jika ini akan berakhir menyakitkan, setidaknya biarkan mereka bersama dulu meski hanya sementara. Bila semua ini hanya akan membuatnya menimba lebih banyak rasa sakit hebat, setidaknya biarkan semua ini jangan dulu lebih cepat berlalu. Setidaknya biarlah sementara mereka tetap seperti ini.

Tak mengapa bila kemesraan ini tak berakhir di altar pernikahan, Joan sadar ia bukan wanita yang pantas untuk mendapatkan hal semembahagiakan serta seterhormat itu dari Elder. Menjadi pasangan Elder adalah impian banyak wanita, dan Joan tahu ia bukan salah satu yang pantas.

Benar Elder akan menentang balik semua orang, tetapi jikalau mereka memang tak ditakdirkan bersama, Joan tak bisa memaksa untuk itu. Ia tahu pihak Elder menginginkan kualitas, bukan sampah.

Sampai kini mereka di depan rumah Joan. Pintunya ditutup seperti biasa, Jonas sudah pergi ke sekolah dan mungkin ibu Joan sedang memasak di dapur, pikir Joan.

SECONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang