17. First Kiss

40 12 2
                                    

Dia tersenyum hingga aku dapat melihat matanya yang besar itu ikut mekengkung karena senyuman manisnya.

"Pohon kenanga."

Kenanga, ya? Aku memerhatikan lukisan itu kembali dengan lebih seksama. Aku merasakan berbagai macam perasaan bercampur menjadi satu. Ada sedikit kerinduan, senang, sedih, dan mungkin... cinta?

Entahlah, aku tak begitu paham tentang seni.

"Kenapa?" Naveen ikut menunduk untuk melihat objek yang kini kulihat. Lantas menatapku. "Serem, ya? Pohon kenanga?"

Mata kami bertemu. Aku tersenyum dan menggeleng. "Nggak, kok."

Dia balas tersenyum padaku, dan mengusap pelan kepalaku. Aku baru tahu kebiasaannya mengusap rambut seseorang.

"Baru kali ini, ada yang bilang gitu." Naveen mengambil sebuah kursi yang masih tertutup di tempatnya itu, dan meletakkannya di depanku.

Badannya memang menghadap padaku. Tapi arah matanya itu seperti sedanh terhanyut dalam lukisan yang dibuatnya sendiri.

"Lucu, ya? Orang-orang itu gampang menilai sesuatu sembarangan, tanpa mencari tahu makna dari sesuatu yang mereka nilai." Naveen bergumam.

Kini, aku dapat melihat sisi dewasa Naveen yang sebelumnya tak pernah kulhat. Kukira Naveen hanyalah orang yang ceroboh dan petakilan. Tapi ternyata dia juga punya sisi yang seperti ini.

Ah, iya. Baru saja Naveen berkata seperti itu. Aku langsung tersadar bahwa aku adalah salah satu orang yang dimaksud Naveen. Kamu tidak salah Naveen. Hidup ini memang benar-benar sebuah lelucon. Jadi haruskah aku tersinggung sekarang?

"Kenapa ketawa?"

Dia tahu ternyata. Aku hanya tersenyum, tapi tak apa jika dia pikir itu adalah tawa.

"Nggak papa." Aku menjawab Naveen singkat. "Kenapa pohon kenanga?"

Naveen terdiam sebentar. Bibirnya yang cantik perlahan melengkung ke atas. Netra coklatnya tak beralih dari lukisan yang telah diselesaikan itu.

"Karena dia mirip gue."

Aku mengernyit bingung. Maksudnya apa? Kenapa pohon harus di samakan dengan orang? Ah, meskipun tak masalah jika di analogikan seperti itu. Tapi setidaknya tolong beri tahu secara jelas agar orang yang mendengarnya bisa memahaminya.

Dia beralih menatapku. Lalu kotak makan yang berada di pangkuanku. Dia menatapku dan kotak itu bergantian. Aku lupa! Karena terlalu asik memandangi lukisannya. Aku jadi melupakan makan siang yang diberikan Naveen.

"Kenapa nggak dimakan?" Naveen bertanya sinis.

Aku menunduk. "Ini dimakan, kok," Lirihku. Lantas segera menyendok makanan itu.

"Dihabisin."

Lagi-lagi setelah mengatakan itu dia mengusap kepalaku. Kenapa dia hobi sekali memegang kepala orang seperti itu?

Aku merasa tak enak karena makan sendirian. Sedangkan Naveen—pemilik asli dari makanan ini saja hanya duduk diam seraya nemperhatikanku. Memangnya aku anak kecik, sampai-sampai maka  saja harus diperhatikan, seolah takut kalau aku tak menghabiskan makanannya.

Karena itu, tanganku tiba-tiba bergerak sendiri demi menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Aku hanya basa-basi saja saat melakukannya. Namun tak kusangka dia benar-benar membuka mulutnya untukku, dan memakan suapan itu dengan mulutnya.

"Kok di makan?!" Aku yang terkejut spontan meprotesnya. Aku berani bertaruh kalau kata-kata itu keluar sendiri dari mulutku tanpa sempat kupikirkan.

"Kan lo duluan yang nyuapin."

[ √ ] KENANGA(N) | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang