18; tidak ada tangisan

581 39 14
                                    

Karena Retya di rumah, Girta jadi tidak bisa fokus menyelesaikan lilin pesanan. Entah kenapa, dia meminta lebih—dia mau berinteraksi lagi, dia mau memperhatikan istrinya. Tapi tentu, keinginan itu tidak akan terkabul. Retya sekarang sedang menonton acara ragam di TV, tidak sambil mengunyah apa-apa sebab pikirannya sendiri sudah melayang ke mana-mana.

"Kenapa curi-curi pandang mulu?"

Girta akhirnya berhenti melirik. Dia tertangkap basah.

"Lilin-lilin kamu kan belom selese."

Lantas, Girta memutar kursi rodanya, kini tak lagi menghadap meja penuh lilin, tapi menghadap sofa yang tengah diduduki Retya. Namun, tatapan penuh harapnya tidak berbalas, gadis itu masih senantiasa memusatkan atensi ke layar alih-alih ke dirinya.

"Mm, Ret. Aku tau aku nggak seharusnya minta macem-macem, apalagi setelah aku nyakitin kamu. Tapi," Girta menjeda sesaat, lalu menyambung lagi, "Aku boleh nggak pegang perut kamu? Di situ kan ada anak aku. Aku pengen aja ngerasain tanda-tanda dia hidup di sana. Aku pengen denger suaranya, aku pengen denger gimana dia nendang-nendang atau—"

"—nggak," tegas Retya, tanpa repot-repot menoleh, "Aku nggak sudi."

"Haruskah pake kata-kata sekasar itu?"

"Kenapa?" Akhirnya, Retya menengok, "Nggak terima?"

"Aku minta baik-baik. Emang aku semenjijikkan itu apa?"

"Iya," tandas Retya sebelum berdiri dan mendekat ke tempat Girta, "Aku jijik banget tau nggak? Aku jijik dengan fakta bahwa aku yang sempet mikir masa depan aku bakal bahagia sama kamu, ternyata malah berubah jadi mimpi buruk dalam sekejap. Aku mikir berulang-ulang. Apa iya aku harus maafin kamu? Apa iya aku harus maklumin kamu? Kalo kamu ditekan keluarga kamu, kenapa kamu nggak nolak? Kenapa kamu nggak tunggu sampe bener-bener cinta baru nikahin aku? Sampe sekarang, kita belum bicarain ini. Kita belum bahas apa alesan kamu sebenernya."

Girta tertegun, tapi dia kembali meluaskan kesabarannya, "Bener. Aku ditekan keluarga aku buat nikah sama kamu buat ningkatin derajat ekonomi kita. Bener. Harusnya aku bisa nolak mereka atau berusaha nggak ngelukain perasaan kamu. Alesannya? Aku sendiri nggak tau apa alesannya, yang jelas aku ngerasa yakin buat ngabisin sisa umurku, sisa hidupku, sama kamu."

"Omong kosong," desis Retya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, lantas memandangi Girta dengan tatapan penuh pesakitan. "Jago banget kamu ngomong, Ta. Aku aja sampe terbuai dulu. Ternyata, sampe sekarang pun masih nomersatuin omongan kamu, ya. Gimana bisa kamu bilang kamu sendiri nggak tau alesannya? Tiba-tiba bilang kalo kamu yakin sehidup semati sama aku? Orang waras mana yang mau percaya sama lanturanmu itu? Oke, dulu aku bego, tapi sekarang aku harus lebih ati-ati, kan? Aku masih trust issue. Bagiku, apa pun omongan kamu serasa nggak nyata."

"Tapi, terlepas dari semua kesalahan aku, aku masih punya hak sebagai seorang ayah, Ret. Aku berhak di peran itu."

Retya mendengkus, "Maksud kamu soal kamu berhak nyentuh perut aku? Jadi, kamu maksa kalo aku harusnya kasih ijin?"

Girta sadar dia tidak tahu diri, tapi ini demi harapan membuncah dalam hatinya. Sehingga dia mengangguk lemah, "Plis. Segitu teganya kamu—"

"—aku balikin. Segitu teganya kamu? Nikahin aku, kasih aku anak, tapi kamu lakuin tanpa dasar cinta sama sekali?"

"Nggak sama sekali, Ret!" Akhirnya, Girta turut terpancing, amarahnya tiba-tiba meluap begitu saja. Dia bahkan, untuk pertama kali, membentak Retya. "Kamu nggak tau! Kamu nggak tau kalo saat itu aku udah suka! Meskipun, belum utuh, tapi rasa suka itu udah ada!"

"Bohong!"

"Dari mana kamu bisa nyimpulin aku bohong?! Kamu itu cuma liat dari satu sisi! Kamu cuma berpaku sama semua laporan Revka tanpa mau cross-check dulu! Oke, aku salah! Aku seratus persen salah karna udah manfaatin kamu! Tapi, tolong, masa nggak ada secuil aja belas kasih kamu, sih?!"

Kindle a Candle [✓]Where stories live. Discover now