Bab. 07

158 84 28
                                    

"Maksud kamu apa, berubah pikiran setelah kemarin setuju?!"

Usai keluarga Presmana pulang. Farhid mengungkit percakapan tadi, napas memburu serta bahu naik turun. Tidak terima istri berubah pikiran tanpa bertukar pikir dengan suami lebih dulu.

Armi melirik anak duduk diam sibuk bergelayut di pikiran, beralih pada suami. "Menikah bulan depan tanpa mempertimbangkan kesiapan mental anak apa itu benar?" Jujur ia tak tahu jalan pikiran suami ke mana.

Kemarin ia setuju lantaran berpikir hanya membicarakan perjodohan tanpa waktu belum di tentukan. Gampangnya, kedua pihak saling mengenal, mengobrol, mencari kecocokan, menerima kelebihan, menerima kekurangan, tahu visi misi menikah bagaimana, barulah diputuskan hari pernikahan.

Lah ini konyol. Baru sekali jumpa, langsung diminta menikah bulan depan. Orang bodoh mana mau berumah tangga tanpa mempertimbangkan risiko melambai-lambai. Ibarat makanan baru setengah matang sudah dimakan.

Jemari kepala keluarga menekan permukaan sofa ruang tamu. "Enam bulan kelamaan!" Terlihat mata lelaki ini memelotot tajam.

"Daripada harus nikah cepat tapi tidak ada kecocokan, terus cerai, itu yang kamu mau?!"

Ini bukan perkara nikah cepat lebih baik, jauh lebih memandang masa depan dengan segala huru-hara itu tidak mudah!

"Aku heran, kenapa kamu bersikeras menjodohkan mereka. Antusias kedua pihak saja kosong!"

Tidak seperti mayoritas pasangan kalau mau menikah tersirat aura kebahagiaan. Ini malah kebalikannya, bukan terdengar kabar bahagia melainkan kabar kapan mereka segera mengakhiri kehidupan di dunia. Baik calon menantu juga anak sama-sama ingin menolak tapi ada hati yang harus dijaga.

Dan suami bersikeras tanpa nurani ingin anak berumah tangga secepatnya. Padahal dari sekian banyak pelamar, suami terlihat pasif pada mereka. Lebih kentara tidak suka anak dilamar banyak orang. Tapi pada Allen sikap suami sangat aktif dominan menggemborkan pria itulah suami idaman.

"Umur Nana sudah pantas menikah, dan saya memilihkan pasangan yang sepadan. Jadi tidak usah mengulur waktu omong kosong dibalik ingin kenal lebih!"

Satu goresan melukai hati, perih. Sakit mendengar serta merasakan fakta umur sudah pantas menikah. Sebentar lagi berkepala tiga, Ayah selalu mewanti-wanti Jena segera menikah tapi dengan pilihannya.

Belum lagi mulut beracun para tetangga, penilaian pada perempuan matang seperti Jena kini di labeli sebagai perawan tua atau paling parah cantik tapi tidak laku. Bukan itu saja, dirinya di cap sok jual mahal, sok cantik, sok pemilih dan menuntut pasangan yang sempurna.

Mereka menilai tanpa tahu isi hati yang bersangkutan, tutup mata pada sudut pandang lain, merasa paling benar tanpa mencari tahu sudut pandang pihak lain.

"Berapa kali aku bilang, jangan balapan sama umur. Jalan tiap orang beda!"

Istri boleh berkata demikian, tapi Farhid mengkhawatirkan masa depan anak jika tidak ada planning jelas ke depan. Bersembunyi dibalik perkataan tadi itu tolol. Anak berumur dua puluh tahun seharusnya bekerja atau kuliah bukan malah tertinggal pendidikan masih di sekolah dasar!

Semua ada aturan, pasti ada kebaikan.

"Sekalian saja umur empat puluh tahun masih lajang dianggap wajar! Silakan mewajarkan apa yang sudah seharusnya. Mau jadi perawan tua, melajang seumur hidup pun silakan! Ini hidupmu bukan?"

TAUT | Kim Mingyu✓Where stories live. Discover now