"Cepat panggil Pak Modin!" Setengah berteriak Mbah Sumi menghardik Mas Bambang yang berdiri bengong di tengah ruangan.
"I ..., iya Mbah. Tapi ..." Mas Bambang tergagap.
"Tapi apa?!" Sentak Mbah Sumi.
"Apa tidak sebaiknya Joko saja yang menjemput Pak Modin? Soalnya ...,"
"Bodoh! Kau tak lihat kondisi adikmu itu seperti apa?!"
"Bukan begitu Mbah, tapi aku ndak bisa nyetir mobil. Kan lebih cepat kalau jemput Pak Modinnya pakai mobil."
" Kau kan punya kaki? Apa gunanya kakimu itu?! Cepat! Lari ke desa! Jemput Pak Modin!"
Mas Bambangpun langsung ngibrit lari keluar pondok, sementara aku masih terus meraung menangisi Romlah dan juga bayiku yang kini entah berada dimana.
"Sabar Le, nyebut. Sini, biar kulihat dulu keadaan istrimu itu," dengan suara lembut Mbak Sumi mencoba membujukku yang masih terus saja memeluk tubuh Romlah.
"Mbah ...! Romlah Mbah ...! Tolong selamatkan istriku Mbah. Dan bayiku ..., dimana anakku Mbah ...?" Jeritku sambil mengguncang tubuh Romlah yang diam tak bergerak sama sekali.
"Iya. Mbah akan coba membantumu semampu Mbah. Sini, biar kulihat dulu keadaan istrimu. Soal anakmu, percayalah. Anakmu pasti selamat. Biar nanti Pak Modin bersama warga yang mencarinya," Mbah Sumi lagi lagi mencoba membujukku.
Aku tau, kata kata yang beliau ucapkan itu hanya untuk menenangkanku. Namun tak urung kulepaskan juga pelukanku dari tubuh Romlah, agar Mbah Sumi bisa segera memeriksanya.
Lemas terasa sekujur tubuhku, melihat istriku yang terbujur diam diatas dipan. Seluruh sendi dan tulangku seolah tak mampu lagi menopang beban tubuhku, hingga aku hanya bisa duduk mengelesot di lantai tanah.
"Bersyukurlah," ujar Mbah Sumi setelah memeriksa keadaan Romlah. "Istrimu hanya pingsan. Bisa tolong kauambilkan air hangat? Biar kubersihkan tubuh istrimu ini. Sekalian segelas air putih kalau ada."
Aku mengangguk. Lalu berusaha bangkit dan melangkah sempoyongan keluar dari dalam bilik menuju tungku dapur. Pandangan mataku langsung tertuju pada bangkai ketiga ekor anjingku yang tergeletak tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan itu. Kembali air mataku meleleh jatuh. Mereka adalah hewan hewan peliharaan yang selama ini setia menemani kami di pondok yang sunyi ini. Dan kini mereka harus mengalami nasib yang sangat tragis hanya demi membela kami. Entah makhluk apa yang tega berbuat sekeji itu terhadap hewan hewan piaraanku itu.
Tersuruk suruk aku lalu melangkah menuju ke gentong air yang berada disamping tungku. Dengan tangan gemetar, kuambil air dari dalam gentong itu dengan menggunakan gayung, kutuang kedalam ember, lalu kucampur dengan sedikit air panas dari dalam termos. Segelas air minum hangat juga kupersiapkan. Semua lalu kubawa masuk kedalam bilik.
Saat aku kembali memasuki bilik, ternyata Romlah sudah sadar. Ia menatapku dengan tatapan nanar, tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Pandangan matanya terlihat kosong, pertanda kalau ia masih sangat syok dengan kejadian buruk yang baru saja dialaminya.
"Romlah, maafkan aku sayang. Aku ...," tak mampu melanjutkan kata kataku, segera kuletakkan ember di lantai, lalu kembali kupeluk Romlah yang masih diam mematung itu.
"Anak kita Bang ...," hanya itu bisikan lirih yang keluar dari bibir Romlah, sebelum ia kembali jatuh pingsan dalam pelukanku.
Dari luar pondok terdengar suara ribut ribut. Rupanya Mas Bambang telah kembali bersama Pak Modin dan Pak Bayan. Juga beberapa warga yang peduli dengan musibah yang menimpaku.
"Mas Joko, bisa kita bicara sebentar diluar?" Ujar Pak Modin setelah sesaat melihat kondisi istriku yang masih pingsan. Aku sempat menatap ragu pada laki laki setengah baya itu. Berat rasanya untuk meninggalkan Romlah dalam keadaan seperti itu. Namun keselamatan anakku juga tak bisa kukesampingkan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Kayu Di Tengah Ladang [Short Story Kedhung Jati 3]
HorrorKembali ke desa bermaksud untuk memulai kehidupan baru setelah usaha yang digelutinya di kota hancur tak bersisa, Joko bersama Romlah sang istri yang tengah hamil tua, justru mengalami berbagai hal ganjil yang tidak saja meresahkan, tapi juga mengan...