4/4

216 41 7
                                    

Satu bulan kemudian.

Joanna bangun jam lima seperti biasa. Dia bersiap-siap selama setengah jam saja. Karena tas dan pakaian kerja sudah disiapkan sejak malam.

"Kok buru-buru? Masih gelap, sarapannya belum matang. Kakakmu belum turun juga."

"Aku mau naik taksi saja. Kasihan Kakak."

"Ya sudah Ibu antar ke depan."

"Tidak usah, Bu! Taksinya sudah di depan kok. Aku berangkat sekarang. Aku sarapan roti saja!"

Joanna membuka kulkas. Meraih dua roti isi abon yang ada di dalam. Kemudian dimasukkan pada tas.

"Hati-hati!"

"Siap!"

Joanna berlari keluar rumah. Sebab dia memang ingin berangkat lebih pagi dari biasa. Agar Jeffrey tidak mengantar dirinya. Karena dia agak merasa bersalah juga.

Selama satu bulan ini Jeffrey harus bangun lebih pagi dari biasa. Menyetir berjam-jam untuk mengantar dirinya. Sebab sampai sekarang, Sandi belum mendapat supir yang dapat dipercaya. Karena minggu lalu memang sudah ada supir yang sudah dipekerjakan. Namun baru setengah hari kerja, dia langsung ketahuan mencuri miniatur sepeda yang ada di ruang keluarga.

Setengah jam kemudian Jeffrey keluar dari kamar. Dia langsung menuruni tangga dan menuju ruang makan. Sebab biasanya, Joanna akan menunggu di sana. Sembari membantu Liana membungkus sarapan. Karena mereka akan sarapan di jalan.

"Joanna mana, Ma?"

"Loh, tidak bilang dia? Sudah naik taksi dia. Sudah dari tadi juga. Aku kira kamu sudah tahu."

Jeffrey yang mendengar itu jelas kecewa
Dia langsung mendial nomor Joanna. Namun sayangnya tidak diangkat oleh adiknya. Sepertinya sengaja. Karena semalam, Joanna memang bilang jika dia tidak mau diantar oleh Jeffrey lagi saat kerja. Namun Jeffrey jelas menolak karena takut dia kenapa-kenapa. Dia agak trauma adiknya diganggu orang setelah insiden perundungan di kantor sebelumnya.

"Kalian bertengkar? Tidak, kan?"

Jeffrey menggeleng pelan. Membuat Liana merasa lega. Sebab dia takut jika kedua anaknya berperang.

6. 50 PM

Jeffrey baru saja selesai makan malam dan terus saja menatap pintu depan. Sebab Joanna tidak kunjung pulang. Padahal kata bosnya, dia sudah pulang sejak dua jam sebelumnya.

"Macet, Jeff. Ini weekend."

Ucap Sandi saat melihat Jeffrey yang sejak tadi gelisah. Berbeda dengan Liana yang tampak biasa saja. Sebab tadi, Joanna sempat mengatakan jika jalanan ramai dan dia mungkin akan terlambat pulang.

"Yakali sampai dua jam."

Jeffrey langsung mengutak-atik ponselnya. Lalu mendial nomor Joanna. Kemudian mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo? Sudah sampai mana?"

Sudah dekat, Kak. Di depan ada kecelakaan. Jadi lama. Macet juga.

"Masih lama? Aku jemput, ya? Naik motor biar cepat."

Jeffrey langsung bangkit dari kursi. Lalu menuju garasi. Sebab dia berniat memakai motor matic yang biasa dipakai supirnya jika kehabisan bensin.

Masih. Ya sudah aku turun di sini kalau begitu. Bawa helm dua. Nanti ditilang, banyak polisi soalnya.

"Iya!"

Lima belas menit kemudian Jeffrey berhasil menemukan Joanna. Mereka bertemu di trotoar dekat lampu merah. Dengan Joanna yang bergegas naik motor dan memakai helm juga.

"Sudah lapar? Mau makan di luar?"

"Boleh. Tapi jangan di mall, make upku sudah luntur soalnya. Hehe."

"Hm, dasar!"

Jeffrey ikut terkekeh seperti adiknya. Lalu melajukan motor dengan pelan. Sembari berpikir mau makan di mana.

Hingga akhirnya mereka berhenti di restoran ramen yang ada di dekat lampu merah. Tidak hanya Joanna yang makan. Namun Jeffrey juga. Sebab dia masih lapar karena sejak tadi hanya makan sedikit karena tidak nafsu makan.
 
"Enak?"

"Enak."

Jeffrey menatap Joanna yang sedang makan dengan lahap. Sesekali dia juga tersedak karena makan dengan tergesa. Membuat Jeffrey terus saja menyodorkan air dan menegurnya untuk pelan-pelan.

"Pelan-pelan! Mienya tidak akan lari! Tadi kenapa berangkat sendiri?"

"Hehehe, aku kasihan kalau kakak mengantarku setiap hari."

"Kan aku sudah bilang kalau aku tidak keberatan!?"

"Tapi aku yang keberatan. Aku merasa bersalah karena kakak harus bangun lebih pagi dari biasa dan menyetir dua jam untuk kerja. Aku sudah berencana untuk ngekos saja. Benar kata Mama, capek juga lama-lama kalau tempat kerja kejauhan."

"Ngekos?"

"Iya, kenapa?"

"Mamamu tidak akan setuju!"

"Iya sih, makanya bantu bujuk!"

"Ogah! Lebih baik kamu resign saja! Cari kerjaan yang lebih dekat! Temanku banyak yang punya——"

"Ogah! Aku tidak mau dapat kerjaan dari orang dalam lagi! Bisa-bisa dibully lagi!"

Joanna menatap Jeffrey sinis. Lalu lanjut makan lagi. Sebab dia tidak suka akan usulan Jeffrey.

Setelah tiba di rumah, Joanna langsung menemui ibunya yang sedang menonton di ruang keluarga. Dengan suaminya. Diikuti oleh Jeffrey di belakang juga.

"Ma, aku mau bicara."

"Baru pulang? Sudah makan?"

"Sudah. Aku mau bicara, Ma."

"Bicara saja, ini kan sudah bicara? Ada apa memang?"

"Aku mau ngekos."

"TIDAK! TIDAK BOLEH!"

"Tuh, kan! Dibilang juga apa!"

Joanna menatap Jeffrey sinis. Namun dia tidak mau menyerah saat ini. Sebab dia tiba-tiba ingin hidup mandiri. Apalagi jika dihitung-hitung, biaya naik taksi saat pulang mahal sekali.

"Ma, please——aku juga mau belajar hidup mandiri. Boleh, ya? Ya? Ya? Aku janji akan pulang setiap weekend. Dekat juga. Mama bisa sering datang kalau kangen tiba-tiba. Boleh, ya??? Aku capek tahu kalau harus PP berjam-jam."

Liana yang melihat Joanna tampak lelah tentu mulai iba. Akhirnya dia mengangguk singkat. Membuat Joanna tersenyum kegirangan.

Sedangkan Jeffrey tampak tidak suka. Dia bahkan langsung pergi ke kamar tanpa mengatakan apa-apa. Membuat Joanna dan yang lain kebingungan. Sebab selama ini, Jeffrey tidak pernah berlaku demikian.

40 comments for next chapter!!!

Tbc...

CURE MY PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang