13. Secret & Switch

276 45 3
                                    

Arctic Golf Club Jakarta merupakan anak cabang perusahaan bidang olahraga Arcticland yang berpusat di Singapur. Pemiliknya tak lain dan tak bukan adalah ayah dari mantan kekasihnya sendiri---Maven Bimantara.

Bukan sekali dua kali ia mendatangi tempat itu sejak dirinya dan Maven memutuskan untuk berpacaran saat masuk tahun terakhir middle school. Mereka putus secara baik-baik di tahun pertama perempuan itu menjadi siswi Saintama International High School. Perpisahan di antara keduanya tak lantas menjadi penghalang atas rasa sukanya terhadap olahraga dan lapangan golf.

"Hi, Belle! Didn't expect to meet you here." Ia menyapa seorang gadis berpakaian olahraga serba putih yang sepertinya sudah sangat siap untuk memulai permainan.

"Nice to see you, G."

"Are you alone?"

"N-no, I just came with my family." Perempuan itu tampak seperti salah tingkah.

Gabriel tersenyum. Ia melihat sekelompok manusia penting bersama pramugolf Arctic yang ditugasi untuk mendampingi mereka tak jauh dari posisinya berdiri. "Enjoy your family time then!" ujarnya.

Yssabelle mengangguk. "You too," balasnya singkat sebelum pergi.

Tak ada yang perlu mereka bicarakan, pertemuan itu semata-mata memang karena kebetulan dan sudah sepatutnya mereka segera mengakhiri percakapan demi kepentingan masing-masing.

Hari itu Gabriel bukan datang untuk bermain golf, melainkan bertemu dengan seseorang yang memintanya datang sejak awal libur semester. Jadi, alih-alih meminta petugas menyiapkan keperluannya, gadis itu justru mempertanyakan keberadaan tuan muda Arctic yang langsung ditanggapi oleh seorang perempuan berkulit tan bername tag Saski. "Nona Gabriel, Tuan Muda sudah menunggu anda di sana."

Gabriel mengikuti tangan Saski yang menunjuk sebuah driving range di sisi kanan.

Laki-laki itu berkali-kali memukul bola golf dengan gerakan asal tanpa didampingi seorang pramugolf. Terlihat tak begitu menikmati permainan yang hanya berupa latihan mengayun dan memukul. Gerakannya langsung berhenti begitu menyadari kehadiran Gabriel di sana. Gadis yang ia tunggu-tunggu.

"Gue pikir lo bisa bawa Quinn ke sini. Gak tahunya enggak, ya?" tanyanya, melihat Gabriel hanya berdiri seorang diri di belakangnya.

"Lo bisa sendiri bawa dia ke sini. Gak perlu lewat perantara gue. Sekarang mau lo apa?"

Mata sipit laki-laki itu semakin tak terlihat di tengah cuaca pagi yang cukup terik ditambah lengkungan senyum yang tak hanya melibatkan bibir. "Sebenernya gue cuma pengen diajarin main golf aja sih. Tapi, lo malah gak bisa ajak dia ke sini."

Gabriel sedikit harus mendongak untuk melihat wajah laki-laki setinggi 180 senti itu. "Gak masuk akal. Lo punya puluhan professional trainer di sini, gak perlu minta Quinn jauh-jauh ngajarin lo!" balasnya dengan nada sebal.

Noah memandanginya pura-pura sedih. "Tapi gue gak nyaman."

Sebagai manusia penyuka kickboxing dan taekwondo, Noah memang tak terlalu berbakat di dunia golf. Laki-laki itu lebih memilih untuk menghajar samsak seharian penuh daripada mempelajari cara memukul bola dengan benar. Meski begitu, kemampuannya dalam bermain golf tidak bisa dikatakan buruk karena bagaimana pun ia terlahir sebagai putra pemilik perusahaan olahraga terbesar di Singapur. Meski tak berteman sejak kecil, Gabriel tahu Noah menjajal bermacam-macam bidang olahraga sejak masih anak-anak.

Semua yang laki-laki itu ucapkan tadi hanyalah omong kosong. Noah tak benar-benar buta dalam pukulan dan ayunan.

Lagipula, anak pengusaha mana yang tidak diajari main golf sejak masih muda? Noah pasti bercanda.

Gabriel mengambil stick lain dari tas golf yang diletakkan tak jauh dari mereka. Melakukan sedikit pemanasan sebelum memulai swing dan memukul bola sesuai teknik yang ia kuasai sejak lama. Niat awalnya memang tak ingin bermain golf, bahkan pakaiannya sama sekali bukan pakaian untuk melakukan kegiatan ini. Namun apa boleh buat, tangannya terlalu gatal ingin menyentuh besi pemukul.

Suara tepuk tangan mengiringi pukulannya.

Perempuan itu berbalik melihat Noah yang menatapnya penuh kagum. Tetapi alih-alih merasa tersanjung, tatapan itu justru membuatnya jengah.

"Gimana kalau lo aja yang ajarin gue main golf? Yaa ... hitung-hitung sebagai ganti rugi karena lo gak bawa Quinn ke sini."

"Bagian mana yang lo merasa dirugikan? Gue gak pernah janjiin apa-apa." Gabriel merasakan tangan berotot Noah melingkari pinggangnya, membuatnya kaget setengah mati, takut manusia-manusia di sekeliling mereka melihat apa yang tengah terjadi. "N-no? What you doing?"

"Lepas, Noah!"

"Gimana?" tanyanya ulang, tak peduli dengan ketidaknyamanan Gabriel yang terus meronta minta dilepaskan.

"Gue gak mau. Lo gak akan bisa dapatin apa yang lo mau dari gue, No."

"Termasuk kalau gue kasih tahu Quinn soal kartu itu?" Noah mendekatkan kepalanya ke telinga Gabriel yang lebih pendek darinya. Menurunkan volume suara menjadi setengah berbisik dengan nada yang lebih sensual. "Atau ... lo pengen semua orang tahu tentang hubungan gelap lo itu?"

"Don't you dare, Noah!"

"Come on, G! Lo juga pasti penasaran kan sama reaksi mereka?"

Noah menuntunnya menuju sebuah golf cart yang terparkir di sana.

Gabriel baru sadar bahwa hari itu, kawasan driving range jauh lebih sepi dari pada hari biasanya. Tempat itu hampir seluruhnya kosong tanpa penyewa seperti sengaja ditutup untuk kepentingan pribadi.

"Mereka gak boleh tahu dan lo gak bisa kasih tahu Quinn soal ini, lo gak boleh macam-macam sama dia!"

"You wanna be a superhero?" sahut Noah sambil mengemudikan golf cart dengan tenang. Mata sipitnya sudah dilapisi kacamata hitam agar tak terlalu merasa terganggu dengan cahaya matahari yang menerpanya.

Gabriel tak menanggapi candaannya yang tahu tempat. "Maven pasti ngasih tahu lo, kan?"

"Uh-hum. Dan gue mau lo serahin semua akses itu ke gue!"

Golf cart yang dikendarai Noah bergerak mengelilingi lapangan luas selagi keduanya sibuk bernegosiasi. Gabriel tahu Noah bukan pribadi yang mudah menyerah. Apa yang dia ingin selalu harus ia dapat dan tak mudah untuk menukarnya dengan sesuatu yang lain.

"Apa saja asal bukan kartu itu dan Quinn," putus gadis itu pada akhirnya. Biar bagaimana pun rahasianya tetap harus menjadi rahasia. Rae tetap akan menjadi prioritas tertinggi untuk Gabriel selain kartu Saintama yang posisinya hampir sejajar.

"Serius?!"

Meski terhalang kacamata hitam, Gabriel bisa menebak kalau mata Noah sekarang sedang berbinar-binar sangking senangnya. Membayangkan apa yang akan bisa ditukar dengan rahasia, Gabriel memejamkan mata, mengangguki kesenangan laki-laki itu.

Noah pura-pura berpikir dengan keras. Golf cartnya dibiarkan berhenti di tengah-tengah lapangan hijau yang luas demi memberinya waktu untuk mengetuk-ngetuk bibir selama hampir satu menit.

"Gue mau ... tubuh lo."

***

Bekasi, 14 Juli 2023

Who Killed My G? (END)Where stories live. Discover now