Tentang Kegagalan Disa

11 2 0
                                    

Terkadang Disa bertanya-tanya, mengapa ya ia ditempatkan pada posisi seperti sekarang ini? Posisi dimana Disa merasa tidak ada tanda-tanda keberhasilan yang akan Disa dapatkan. Ia sudah terlalu capek dengan segala bentuk kegagalan yang ia alami.

"Kak, jadinya mau lanjut kuliah dimana? Cari-cari deh Kak jalur mandiri mana yang masih buka, atau Kakak mau langsung ke swasta aja?"

Ibunya sejak kemarin sudah melontarkan pertanyaan itu terus-terusan. Disa semakin merasa tak pantas. Bahkan untuk sekedar memandang wajah Ibunya. Untuk menjawab pun rasanya sudah tak sanggup.

Mencoba untuk bicara dengan jelas tanpa adanya getaran menahan tangis, Disa menjawab Ibunya. "Ada kok Bu yang masih buka. Beberapa ada yang jalur pakai tes lagi sama pakai skor tes ku sebelumnya."

"Dimana itu Kak? Luar kota kah?"

"Masih dalam kota kok Bu."

"Kakak mau coba?"

Entahlah, untuk kembali bersuara saja Disa rasanya tak sanggup. "Mahal Bu tapi kalau jalur mandiri. Jurusannya juga Kakak bingung mau ambil apa."

Ibunya menghela napas. "Kalau mau coba nggak papa Kak. Maksimalkan dulu apa yang masih bisa dilakukan. Berapa bayarnya Kak? Sama kayak jalur mandiri sebelumnya kah? Mau daftar mandiri mana aja Kak?"

"Beda-beda Bu. Kalau yang PTN ini, bayarnya dua ratus lima puluh ribu. Kalau yang ini, tiga ratus ribu. Mahal Bu.." Disa menjawab sambil menunjukkan daftar PTN mana saja yang masih memungkinkan untuk ia coba daftar, yaitu masih berada di dalam kota.

"Kakak masih mau coba tapi kan?"

Dari lubuk hati yang paling dalam, Disa sejujurnya masih ingin mencoba. Di sisi lain, Disa tak mau merepotkan orang tuanya lagi dengan mengeluarkan biaya pendaftaran mandiri. Disa diam kurang lebih lima menit lamanya. Sampai akhirnya Sang Mama kembali bersuara.

"Kalau mau coba nggak papa Kak. Nanti Ibu bilangin Bapak. Dua-duanya aja dicoba Kak, siapa tau rejekinya Kakak bisa lolos."

"Iya.. Bu. Nanti daftarnya pakai uang Disa aja. Tabungan Disa masih ada, cukup buat daftar dua-duanya."

Percayalah, Disa mendaftar jalur mandiri ini bukan berarti Disa orang kaya raya. Disa hanya sedang berusaha untuk tetap bisa mencapai apa yang diinginkannya sejak lama. Mungkin jika orang-orang tahu tentang ini, mereka akan menganggap Disa anak yang menyusahkan kedua orangtuanya.

"Pakai uang Ibu juga nggak papa Kak, Ibu masih ada."

"Nggak perlu Bu, pakai punya Disa aja."

"Iya, ya sudah. Nanti kalau sudah mau mulai daftar, bilang ya. Biar Ibu sama Bapak temani."

Disa hanya mengangguk. Pagi itu, Disa sarapan dengan pikiran berkecamuk. Andaikan kepalanya bisa meledak, mungkin bisa meledak saat itu juga.

Sorenya, Disa memutuskan untuk mulai mendaftar. Didampingi dengan kedua orangtuanya yang setia membantu Disa mengisi pendaftaran.

"Sudah Kak?" tanya Bapak.

"Iya Pak, besok Disa mau ke bank buat bayar. Pendaftarannya dilanjut besok, tadi cuma daftar buat dapat kode pembayaran."

Bapak mengangguk. "Besok Bapak antar. Jam berapa Kak?"

"Jam delapan, bank udah buka Pak?"

"Sudah. Besok jam sembilan Bapak antar ya?"

Disa tersenyum. "Iya, Pak."

Ibunya mengusap pundak anak gadisnya. "Adek udah selesai mandi tuh, kamu buruan mandi. Habis itu gantian Bapak."

D I S AWhere stories live. Discover now