Part 4

42 18 20
                                    

"Tadi Bunda dapet telfon dari sekolah, katanya Juan mukul temen Juan dikantin, bener?"

Dengan setelah piyama kororo, Juan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan dari Clara. "Iya. Tapi Juan ada alasan nya, kok, Bun."

"Mau ada alasan nya atau pun nggak ada alasan nya, Juan tetep enggak boleh mukul orang kayak gitu, sayang. Kan Juan bisa selesaikan masalah Juan sama dia secara baik-baik, jangan pakai kekerasan."

"Meskipun dia rendahin keluarga Juan? Apa Juan harus diem aja pas dia jelekin Bunda sama Papa?" Juan kembali berbicara setelah melihat Clara yang hanya terdiam tanpa suara. "Papa tau soal ini, Bun?"

Clara menggeleng, lantas menangkup kedua pipi Juan yang terlihat mengembang. "Sayang, Bunda pernah bilang, kan, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Mau teman Juan ngatain Juan, Papa, ataupun Bunda, Juan cukup diam aja, ya? Diam bukan berarti pengecut, sayang. Biarin dia ngomong sesuka dia, karena yang dia omongin bukan kebenaran nya. Toh, kita juga nggak merasa dirugikan sama sekali."

"Tapi Juan enggak suka," cicit Juan.

Perempuan berwajah cantik itu mengusap kepala anaknya. Ia tahu bagaimana kehidupan anaknya dulu, ia sangat tahu. Maka dari itu, sebisa mungkin ia memberikan kebahagiaan penuh untuknya.

"Enggak usah didenger. Biarin aja dia ngomong sampe mulutnya capek. Nanti juga berhenti sendiri. Sekarang Juan fokus aja sama apa yang lagi Juan perjuangin. Bunda sama Papa bakal selalu jadi pendukung nomor 1 buat Juan."

Juan memeluk Clara, menyimpan kepalanya di bahu Clara. "Bunda.. jangan gini, Juan takut." Elusan dikepala belakang nya dari Clara dapat Juan rasakan, kelembutan yang selalu ia dambakan. "Juan takut diri Juan jadi serakah gara-gara kasih sayang dari kalian."

"Juan .. " Clara memeluk Juan erat, menyalurkan kasih sayang pada anak sulung nya itu. "Masih takut, hm? Enggak apa-apa, sayang, enggak bakal terjadi apa-apa. Kita memang enggak selamanya selalu ada disisi Juan, tapi selama kita masih berada disekitaran Juan, kita bakal selalu berusaha kasih yang terbaik buat kebahagiaan Juan."

Juan melepaskan pelukan nya, menatap lekat-lekat tepat dikedua bola mata Clara. "Bun," ucapnya. "Dari sekian banyak anak dipanti asuhan, kenapa Juan yang Bunda ambil?"

Pertanyaan dari Juan berhasil membawa ingatan Clara ke beberapa tahun silam. Pertemuan pertama nya setelah lama tak jumpa, justru menjadi pertemuan terakhir untuknya. Sebuah pesan yang sudah menjadi firasat bahwa akan terjadi sesuatu dikemudian hari.

"Kamu satu-satunya yang Mbak percaya, Ra. Kalau nanti ada sesuatu yang terjadi, Mbak titip anak-anak Mbak, ya. Maaf kalau Mbak selalu merepotkan kamu."

Clara menatap tak suka ke arah Kinan —kakak tiri nya. "Mbak ngomong apa, sih? Jangan ngawur, deh. Clara enggak suka. Mbak itu enggak merepotkan Clara sama sekali."

"Mbak titip anak-anak Mbak, ya. Mereka masih kecil, Mbak enggak mau mereka sedih kalau enggak ada Mbak."

Mendengar penuturan kakaknya yang semakin kemana-mana, Clara segera kembali mengangkat suara. "Kalau Mbak bilang gitu terus, Clara nggak mau ketemu lagi sama Mbak." Jawaban dari Clara justru mengundang kekehan dari Kinan, membuat Clara memandang nya sinis. "Aku serius, Mbak. Kita udah 3 tahun enggak ketemu dan pas ketemu Mbak malah bilang kayak gini, siapa yang enggak kesel, coba?"

Clara menghela napas, mengeluarkan kesal dari hembusan napas nya. "Aku mau ngasih tau kabar bahagia aku, tapi Mbak malah bikin aku nggak mood."

Protesan itu sukses membuat Kinan tergelak ditempat. Bahkan meja cafe yang sedang ditempat oleh mereka berdua terasa berisik akibat pukulan darinya. "Aduh, ya ampun." Kinan menyeka sudut matanya. "Cowok mana, sih, yang mau nikahin adikku? Punya apa dia sampe berani nikah sama kamu?" canda nya yang berhasil membuat Clara semakin kesal.

Ambivalence [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang