1. Dunia Terlalu Luas untuk Kujelajahi.

39 10 6
                                    

Komet mengantarkan harapan yang seseorang ucapkan ketika melihatnya melintasi langit. Setidaknya begitulah yang orang-orang katakan tentang si bintang jatuh yang sebenarnya bukanlah bintang. Begitu pula Kereta Komet, yang mengantarkan seorang anak manusia menuju dunia baru yang belum pernah ia tapaki.

---

Aku hidup di masa ketika perjalanan ruang angkasa begitu mudah. Ketujuh planet di sistem suryaku, Lancia, bisa didatangi hanya dengan duduk di sebuah kereta berkecepatan sub-cahaya --tidak menyentuh angka kecepatan cahaya, tetapi kecepatannya sungguh cepat. Bahkan, dengan pesawat dan kapal bertenaga materi hiper, sistem surya seberang bisa dicapai dalam beberapa kali kedipan mata.

Sayangnya, aku tak pernah menginjakkan kakiku di dunia seberang. Sungguh nasib yang buruk, bukan?

Aku hanya diam di kamarku ketika malam tiba. Seperti biasanya, hari ini ayah sedang di rumah. Ayahku seorang yang begitu sibuk. Dari delapan hari yang ada di kalender, dia hanya sempat pulang selama tiga hari di akhir pekan.

Ayah sedang berada di balkon dengan sebuah teleskop tua yang usang. Sementara aku diam di atas tempat tidur sembari merasakan udara dingin dari pintu yang terbuka.

Di atas tanganku, ada sebuah buku yang kertasnya sudah menguning. Di masa ini, kertas begitu jarang digunakan. Aku pikir, buku ini diciptakan oleh generasi kakekku.

"Buky, Crivi, Dobro, Estu ...."

Aku melihat sekilas, Ayah sedang menoleh ke arahku ketika aku membacakan beberapa nama yang tercatat di buku. Di buku yang kupegang, terdapat sebuah gambar yang menunjukkan urutan orbit sistem surya Lancia, dan nama yang kusebutkan adalah nama-nama planet dari urutan terdalam hingga lebih luar.

Aku melanjutkan bacaanku sebelumnya. "Fita, Glagoly, Hyr, dan ... komet."

"Komet bukan nama planet," timpal Ayah.

"Tapi gambarnya ada di buku ini," balasku.

Pria berjanggut tipis itu menghampiriku dari kursi kayunya. "Tetap saja, komet bukan planet."

"Ayah, bagaimana rupa komet?" tanyaku.

Ternyata Ayah tidak menghampiri tempat tidurku. Dia mengambil sebuah kain yang biasa dipakai untuk membersihkan lensa teleskopnya, sama sekali tak menengok ke arahku. "Bentuknya seperti yang kaulihat di buku."

"Seperti Kereta Komet?" tanyaku, menanyakan sesuatu yang baru aku dengar dari saluran televisi yang memotong film kartun tadi siang. Kereta Komet, katanya sebuah kendaraan yang bisa melaju sangat cepat, sehingga mudah bagi orang-orang di Lancia untuk bepergian bahkan sampai ke Hyr, planet paling ujung.

"Jadi kau sudah tahu beritanya?" tanya Ayah. "Tapi bukan. Kereta Komet itu kereta, komet itu komet. Kau bisa baca di halaman lain buku itu."

"Ah, buku ini sudah kuno. Dobro saja masih terlihat tandus, padahal sekarang sudah mulai hijau.

"Oh, sudah hijau ya?" Ayah malah kembali ke balkon.

"Seharusnya Ayah tahu. Ayah kan seorang astronom."

"Karena Ayah astronom, Ayah tidak tahu berita terbaru."

Aku menutup buku dan menaruhnya di atas sebuah meja kayu. Meja ini juga kuno, katanya Ayah mendapatkannya dari rumah Kakek ketika dia akan pindah rumah dulu. Aku menghampiri Ayah di balkon, ikut memandangi langit berbintang yang aku pikir pemandangan palsu.

"Ayah, dari tujuh planet di Lancia, Ayah pernah ke mana saja?"

Pandangan Ayah sama sekali tak menoleh. Diintipnya sebuah lubang di ujung kecil teleskop berwarna putih itu. "Ayah lahir di Fita, terus pindah ke Buky sampai sekarang."

Comet TrainWhere stories live. Discover now