🌸 6 🌸

165 26 4
                                    

Barangkali mengunjungi Naru di pagi hari kini telah menjadi kebiasaan baru bagi Hinata. Tanpa sadar dia mulai menikmati interaksi di antara mereka. Benarkah? Mungkin saja. Pasalnya dia tetap terlihat santai dan rutin mendatangi Naru di rumah sebelah, meskipun perjumpaan mereka kerap diwarnai selisih pendapat, adu argumen, bahkan perang ejekan. Lantas si pria berambut kuning? Entah dia akan semarah apa atas tindakan nekad Hinata.

Padahal sebelumnya, pintu selalu terkunci dari dalam. Dan ternyata, Naru dengan sengaja membiarkan pintu tidak dikunci. Alasannya? Demi menghargai pak tua Hiashi. Beliau sering memberi kudapan, minuman herbal, malah hasil kebunnya juga dibagi. Semua barang-barang sogokan itu, dititipkan sama putri semata wayangnya. Ya, si Hinata.

Pak Hiashi punya rencana tersembunyi. Sedari awal dia bertemu dengan Naru, si bapak sudah kepincut. Maksudnya dijadikan menantu, jodoh buat si anak satu-satunya. Jelas saja terpesona, sudah tampan, banyak duitnya pula. Siapa yang mau menolak? Oleh karena itu, si bapak tengah gencar-gencarnya mendorong Hinata agar bisa lebih dekat dengan si penyewa tampan. Lantas sang putri yang lugu, tanpa tahu niat terselubung ayahnya, menerima begitu saja setiap kali diberi perintah.

Kali ini Hinata pun berada di rumah sebelah. Setelah dia melewati bingkai pintu, yang Hinata dapati adalah kesunyian. Tangannya membawa kotak bekal bertingkat, dibungkus menggunakan selembar kain katun. Apalagi kalau bukan sajian sarapan pagi untuk si penyewa resek. Lalu, karena di dalam terlihat sangat sepi, Hinata celangak-celinguk demi meneliti ruang-ruang yang ada, mencari sosok Naru. Kakinya menapak dengan lambat, seakan dia bertujuan memata-matai si penghuni rumah.

Kini dia berdiri tepat di depan sebuah kamar yang pintunya terbuka penuh, Hinata yakin betul ini adalah kamar Naru. Mengingat dua kamar lainnya berukuran lebih kecil. Walau diselimuti keraguan, Hinata tetap memilih masuk.

Dia seketika menjadi takjub akan desain dan isi ruangan yang terbilang ramai, namun bernilai estetis. Kelopak matanya terbelalak, netra kelabunya yang cantik menatap intens dinding-dinding hitam dan putih yang dihiasi banyak pigura. Tertata rapi, indah dan tak bosan dipandang. Ada potret kuil Kiyomizudera, daun momoji berguguran, bukit-bukit hijau, juga foto seorang wanita tua yang tengah sembahyang khusyuk di kuil.

Hinata menaruh perlahan bungkusan bekal tadi ke atas meja yang terletak di sisi jendela. Dia langsung mendekati ranjang ketika menemukan sebuah kotak besar di sana. Sesudah diamati, terdapat sepaket lengkap peralatan melukis. Berbagai jenis cat, bentuk kuas, palet warna, easel, kertas sampai kanvas, semuanya ada.

Tingginya rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, menarik Hinata untuk duduk di kasur dan memerhatikan dari jarak dekat. Dia mengambil satu-persatu benda tersebut. Lalu seiring tanda tanya di benak, dahinya pun mengernyit. "Mau diapakan barang-barang sampah begini? Enggak jelas dasar! Jadi yang begini dikumpulkan? Aku benar 'kan, dia pengangguran. Kamarnya pun berantakan." Padahal tadinya dia terpukau, masih ingat 'kan? Bukan Hinata namanya kalau tidak lain di mulut lain di hati.

"Mana yang sampah?!" bariton si pemilik kamar mengejutkan Hinata, dalam dan berat. Ala-ala penyanyi pop dengan suara seksi yang lembut. Muka Hinata kelihatan lucu sekarang. Serba bulat, mulai dari bentuk wajah, mata, mulut sampai hidung mungilnya juga jadi bulat. Maklum, dia barusan kaget, gara-gara kehadiran Naru yang mendadak. Bulat-bulat begitu, Hinata tetap manis. Sebenarnya ... selain menyebalkan, terkadang Hinata kelihatan lucu di matanya.

"Bilang-bilang dong kalau mau datang. Bikin takut, tahu?!"

"Jangan alasan! Siapa yang suruh masuk ke sini? Sudah minta izin memangnya? Tidak sopan main nyelonong sendiri. Pegang-pegang barang orang lagi. Balikin ke tempatnya, enggak?!"

"Nih! Dibalikin." Karena kesal, Hinata mengempas kuas-kuas yang dia pegang tadi ke kotak. Bibirnya dimajukan, sambil melirik-lirik sinis ke Naru.

"Pelan-pelan, dong! Ya ampun ... mahal itu belinya. Kalau patah bagaimna?"

"Banyak di pasar loak, aku beliin deh. Satu kardus isinya kuas semua. Tenang, enggak perlu takut. Tapi ini belum patah, Jadi jangan lebay minta diganti." Balik lagi adu argumen, itu terus yang mereka perbuat saat bertemu. Kemudian Hinata menjauh dari ranjang, dia beringsut ke meja di dekat jendela. Tempat dia menaruh kotak bekal tadi. "Harus dihabiskan! Aku susah payah masaknya."

"Masak apa?" saat ini Naru masih bertelanjang dada, hanya mengenakan celana panjang berbahan kaus. Rambut pirangnya basah, masih dia keringkan menggunakan handuk.

"Sup daging sama tumis sayur, jamurnya sengaja kutambah. Karena Ayah bilang kamu sangat suka jamur, enggak pedas juga."

"Benaran aman 'kan?"

"Enggak percaya banget sih?!"

"Perutku masih mulas sampai sekarang. Nasi kari buatanmu tempo hari sangat pedas. Kamu pikir aku bercanda?!" lalu Naru melempar handuknya di keranjang di samping lemari. Dia menghampiri tempat Hinata berdiri, mengambil kotak bekal dan memindahkannya ke lantai berlapis karpet jerami. Dia sendiri duduk beralaskan zabuton. "Duduk sini! Buat apa berdiri di situ? Mau jadi pengawal?" biar kesal, Hinata tetap mendaratkan bokongnya di sebelah Naru. "Duduk di sini sampai aku selesai makan!"

"Iya, iya ... cape debat. Terserah mau apa, yang penting tugasku siap. Yang cepat makannya, aku enggak mau ketemu Bong ho sekarang. Malu-maluin."

"Salah sendiri. Makanya jangan suka masuk sembarangan ke rumah orang. Sial 'kan jadinya."

"Dia yang aneh, kok aku yang disalahkan. Masa menonton film begituan di rumah orang?"

"Sangkal saja terus. Kamu itu asisten, harusnya menurut sama atasan. Dikasih tahu sedikit, menyerocosnya malah panjang. Bisa diam dulu 'kan? Aku enggak jadi makan dari tadi. Kalau makanannya dingin, aku enggak mau makan!"

"Ya tinggal makan, kok begitu doang jadi ribet. Tapi pakai dulu bajumu."

"Bodoh amatlah! Enggak ada orang juga." Naru langsung menyendok kuah sup dan menyeruputnya.

"Aku ini apa? Enggak dianggap?"

"Roh halus sejenis sadako! Enggak kelihatan wujudnya." Sontak Hinata memukul pundak Naru dengan pembungkus bekal. Tapi tekstur kain yang tipis itu sama sekali tak menimbulkan efek apapun di badannya, hingga kejengkelan Hinata kian bertambah.

Ada cerita dibalik keakraban keduanya. Tentu tidak terjadi begitu saja tanpa alasan kuat. Akibat kecerobohan Hinata, mereka terpaksa membentuk kesepakatan.

Bersambung...

Uninvited Neighbor ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ