Chapter 9

89 13 0
                                    

Total: 1,9k words.

: : : : : : :

Happy Reading

: : : : : : :

Genap dua hari Young dan Soojin menghindari sang bunda—atau lebih tepatnya menghindari asupan cerita yang Sooyeon tuturkan setiap hari. Apa alasannya? Entahlah, Sooyeon baru akan menanyakan hal tersebut pada dua buah hatinya.

"Karena kisahnya sedih."

Pernyataan ini dengan cepat diamini oleh Young.

"Dua teman mereka meninggal, dan mereka bahkan tidak bisa pulang. Soojin tidak suka mereka bersedih." Wajah Soojin berangsur muram, memberengut. "Orang ganteng tidak boleh sedih."

Nah, kalau yang ini Young tidak terima. "Terus orang jelek boleh sedih, begitu?"

Saudarinya mengangguk. "Iya, contohnya kau."

Adegan saling pelotot pun terjadi. Bila dilukiskan dalam komik, mungkin akan tampak kilatan listrik dari kedua mata Young dan Soojin. Sang bunda segera turun tangan melerai keduanya, tepat sesaat sebelum perang baru lainnya pecah di rumah mereka.

"Tapi mama, cerita itu akan happy ending, kan?"

"Yah, tergantung dari perspektif mana kau memandang itu." Sooyeon lantas berjongkok, menyejajarkan tinggi dengan Young dan Soojin. Dielusnya sayang dua pucuk kepala anak kembarnya. Dengan lembut ia melanjutkan, "Nak, hidup tak selalu tentang hal-hal menyenangkan saja. Beberapa hal mungkin tak berjalan baik, tapi satu hal yang perlu kalian tahu, Tuhan selalu cinta umatnya. Tuhan tak membenci kita dengan memberi kita masalah. Justru itu bukti cinta-Nya. Seperti ujian akhir semester. Itu mungkin sulit, tapi kalian akan naik kelas kalau lulus, bukan?"

Dua anaknya mengangguk.

"Ujian hidup juga sama saja. Ia akan datang kepada siapa pun, namun ia tak akan datang tanpa alasan. Tuhan barangkali menyiapkan hadiah yang istimewa setelahnya. Selalu ada mendung dari balik cerahnya langit. Pelangi mungkin akan datang usai hujan badai, begitu juga hal baik yang akan datang usai musibah. Kalian paham, kan?"

Young dan Soojin, keduanya memandang sang bunda nyaris tak berkedip.

"Apa, mama? Bisa ulangi?"

~ ~ ~

Pagi itu langit yang menaungi Laut Kuning nampak terang benderang. Fauna kembali beraktivitas seperti sedia kala. Ombak di laut pun berayun tenang, seolah lupa jika ia sempat mengamuk hebat kemarin sore. Lupa bahwa ia telah membuat satu pulau kecil dengan segelintir penghuni porak-poranda. Lupa bahwa ia telah menelan dua nyawa yang berharga.

Dua remaja duduk bersisian dalam hening. Cukup lama Soobin mencuri pandang pada Taehyun, menyaksikan yang lebih muda masih mematung—entah merenungi apa. Remaja jangkung itu bergerak tak nyaman pada posisinya. Kalau boleh jujur, Soobin merasa jika di antara mereka berlima, ia paling tidak dekat dengan Taehyun. Mereka hanya saling bertukar obrolan saat bersama yang lain. Soobin sangat ingin memutus belenggu kecanggungan di antara mereka berdua, namun bingung mesti memulai dari mana.

Usai melirik Taehyun untuk yang keberkian kali, Soobin lantas berdeham pelan—berusaha melemaskan pita suara. "Uhh.. anu.. Tae—"

"Teman-teman!"

Itu suara Yeonjun.

Soobin tak tahu harus merutuk atau berterima kasih, sebab Yeonjun menyelamatkannya dari sunyi yang menyiksa. Namun lelaki itu pula yang jadi penyebab ritual pengakrabannya dengan Taehyun batal.

Survivor: A Cup Of Sea || TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang