1. Teman Sepi

673 112 5
                                    

Melodi yang dihasilkan dari petikan senar itu menjadi candu bagi Rian. Tangannya seakan tidak mau berhenti untuk terus bergerak, telinganya seakan tidak ingin berpisah dari suara yang indah. Ingin lagi, lagi, dan lagi sampai ia menemukan lelahnya sendiri.

Matanya terpejam, menikmati melodi yang memecah ruang sepi. Namun, di pikirannya ternyata lebih berisik. Dipenuhi memori yang membuatnya lelah secara mental dan fisik. Hingga tanpa sadar, tangannya menghasilkan nada sumbang bersamaan dengan matanya yang perlahan mengeluarkan bening kristal.

Tangannya berhenti bergerak, mata basahnya perlahan terbuka, menghasilkan raut sayu dan sendu. Sulit. Sulit sekali untuk melupakan setiap teriakan berisi umpatan dari kedua orang tuanya. Semua itu meninggalkan bekas yang sepertinya tidak akan pernah hilang dan semua itu membuatnya lelah. Hari-harinya tidak pernah lagi menarik. Orang-orang selalu melihatnya baik-baik saja, tanpa tau kehidupan yang ia jalani sebenarnya begitu berantakan. Ia lelah selalu bertanya kepada Tuhan. Mengapa dirinya tidak bisa mengecap bahagia? mengapa dirinya tidak pernah menemukan ketenangan? mengapa keluarganya tidak lagi hangat? mengapa dirinya lahir di keluarga ini dan tidak di keluarga lain yang lebih harmonis?

"Lupain, Yan. Lo ngga perlu inget semua itu," gumamnya.

Dirinya lupa. Semakin keras kita mencoba untuk melupakan sesuatu, semakin kita memikirkannya secara tidak sadar. Itu hanya akan membuatnya semakin melekat di ingatan.

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. Dengan segera ia mengusap lelehan di sudut matanya. Untuk saat ini Ia akan menyimpannya sendiri hingga nanti dirinya sudah tidak tahan lagi.

"Udah belum sih? Rokok gue udah habis hampir sebungkus dan lo masih belum puas mainin tuh gitar?"

Pertanyaan dengan intonasi tinggi itu keluar dari bibir Damar. Namanya memang sesuai dengan sosoknya yang seperti sumber cahaya. Selalu membangkitkan suasana dan menciptakan bahagia. Hingga Rian diam-diam sering mengucap syukur karena diberikan kesempatan untuk bersahabat dengan orang sehangat Damar.

"Masih pengen main, ni gitar suaranya enak. Mana cantik banget, dipeluk juga nyaman."

Damar berdecak pelan. "Susah ya sama orang yang suka gitar, sekalian pacarin aja tuh gitar!"

"Ya ini lagi pacaran, Bang Maha juga bilang kalau mau pro main gitar, ya gitarnya harus dipacarin!"

Damar memutar bola matanya malas. Dirinya memang tau apa yang dimaksud berpacaran dengan gitar. Tapi tetap saja, ini bukan waktu yang tepat untuk menuruti ucapan Rian. "Sekolah udah mau ditutup woi! Makannya suruh bokap lo beliin satu yang bagus! Nanti pacaran sepuasnya sama gitar di rumah! Tau anak demen gitar kok gamau dibeliin, lagian duit bokap lo kan banyak!"

Rian bangkit dan meletakkan gitar akustik itu ke tempat asalnya. Lihat, gitar coklat itu sangat anggun begitu di letakkan pada stand gitar. Gitar itu seperti berteriak meminta untuk dimainkan. Wajah Rian berubah masam karena sudah waktunya berpisah dengan si kesayangan.

"Lo kan tau sendiri, bokap gue ngga pernah setuju kalau gue aktif di musik, apalagi disuruh beliin gitar, yang ada gue kena gampar!"

"Iya juga sih.. ah gapapa lahh, pake aja tuh gitar sekolah, terus rajin-rajin manggung bareng gue, upahnya bisa lo tabung pake beli gitar sendiri! Gimana ide gue?! Beuh lo emang harus bersyukur punya temen kaya gue!"

Rian tersenyum tipis, sejak dulu ia percaya bahwa Tuhan mempertemukannya dengan seseorang itu pasti memiliki alasan. Seperti Damar yang dipertemukan dengannya untuk menghangatkan hidupnya yang terlampau dingin. Damar menjadi salah satu dari beberapa alasan yang membuatnya kuat dalam menghadapi semua masalahnya. Ah... Rian sepertinya tidak akan berani berbicara seperti ini secara langsung pada Damar. Nanti anak itu akan bertingkah aneh dengan kepercayaan diri yang memuncak. Rian akan tambah repot nantinya.

Sesaat Yang DinantiWhere stories live. Discover now