05

588 108 34
                                    

Dua ribu lima ratus sembilan puluh meter di atas permukaan laut; tidak setinggi puncak hati Kaila. Dan, Weda berhasil mencapainya, malam itu; puncak gunung prau, setelah tempo hari Arya dan Favian—rekan sesama pengurus BEM-nya dulu—datang, menjabarkan rencana pendakian.

Padahal, Weda sudah ada rencana pulang ke kampung halaman. Tapi, karena Davin juga setuju untuk turut serta, ditambah bujuk rayu temannya yang mengatakan, "Kaila juga ikut," maka, Weda tunda kepulangannya, yang mana ia sesalkan kini.

Karena, agaknya, Weda naik untuk dijatuhkan, agar patahnya sungguhan.

Weda melihat Favian dan Sela berbagi kemesraan sepanjang track pendakian. Weda melihat Arya sedang berusaha memenangkan hati Adinda dengan sejuta tipu muslihat yang mematikan.

Dan, satu hal lagi; Kaila, Weda beri seratus lima puluh mililiter cokelat panas dalam cangkir, setara dua liter keringat saat Weda bertahan agar tidak tergelincir.

Naas, cairan itu berakhir di lambung milik Davin.

"Makasih, tapi sorry gue alergi cokelat," ucap Kaila, kemudian menggeser cangkir dalam genggamannya ke dalam genggaman Davin karena saat itu Weda sudah menggenggam cangkir yang lain.

Weda hanya mengulas senyum, sedikit merasa miris lantaran tidak mengetahui informasi sepenting itu soal Kaila. Namun, Kaila tetap minum kopi buatan Davin saat pagi, padahal Weda tahu perempuan itu bisa tidak tidur dua hari kalau minum kopi.

Maka, Weda segera menanak nasi dan juga hati. Agar makin matang saja nanti waktu patah hati.

"Makasih."

Balasan Kaila kala diberi sesuatu oleh Weda selalu terdengar sewajarnya. Senyum manis Kaila untuk Weda juga sekedarnya. Tidak ada imbuhan semacam pujian atau suapan mie instan seperti yang Kaila berikan pada Davin. Padahal ketimbang menyeduh kopi, pekerjaan menanak nasi jauh lebih menguras energi, terlebih jika dilakukan oleh seorang laki-laki.

"Kembali."

Iya, agaknya Weda pun ingin cepat-cepat kembali.

Turun lalu pergi.

Manusia paling bodoh adalah ia yang tidak tahu kapan harus beristirahat atau barangkali menyerah. Dan, Weda tidak mau menjadi manusia paling bodoh itu.

Cukup sudah menyiksa hati dengan tetap berada di sisi Kaila saat perempuan itu punya seseorang yang diharapkan untuk berada di sisinya. Mungkin Weda bisa bersaing dengan laki-laki manapun yang menyukai Kaila, tetapi lain cerita apabila Weda harus bersaing dengan laki-laki yang disukai Kaila.

Tentang Kaila yang menyukai seseorang, itu memang baru asumsi pribadi Weda.

"Kai."

"Iya?"

"Boleh gue nanya sesuatu?"

Kalau mau tahu pastinya, Weda tentu harus dengar penjelasan Kaila. Kesempatan untuk bertemu dan duduk berdua mungkin tidak akan pernah lagi ada. Hanya sekarang, saat mereka terpaksa singgah di tukang tambal ban pinggir jalan karena ban motor Weda bocor di perjalanan pulang sehabis pendakian.

Momen duduk berdua itu ada karena Rona yang semula dibonceng Weda tiba-tiba dapat telepon kalau ibunya kembali harus dibawa rawat inap dan ia harus segera pulang. Weda dengan keadaan ban motornya yang memerlukan waktu lama untuk ditambal tidak mungkin mengantar pulang Rona secepat yang diharapkan.

Maka, Kaila mengalah, mempersilakan Rona dibonceng Davin, mempersilakan mereka berdua pulang duluan sementara Kaila di sini membersamai Weda dengan sukarela. Favian dan Sela juga sudah melaju jauh di depan, tidak tahu menahu mengenai insiden yang dialami Weda dan Rona.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 16, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

METANOIA 2 [END]Where stories live. Discover now