6. ENMESHED YORE

258 46 6
                                    

Di luar toko, mereka memandang lurus ke dalam. Meskipun yang bisa dilihat hanya cahaya minim yang bersumber dari lampu etalase. Kira-kira hampir dua jam mereka seperti ini.

"Ah," keluh Sui, merasa bosan. "Sudahlah, kita tinggalkan saja mereka. Aku yakin tidak terjadi apa-apa."

"Maksudmu seperti apa?" tanya Jugo, terdengar ambigu. "Kau berharap terjadi sesuatu pada mereka di dalam sana?"

Sui menggeleng kepala, lalu berdecak lidah. "Tidak mungkin tidak terjadi apa-apa di dalam sana. Ruangan itu pasti sesak bagi dua orang berbeda gender."

"Kau berharap apa dari orang yang patah hati? Perasaannya mungkin belum habis di orang lama."

Sui mengedipkan mata berkali-kali, memandang tidak percaya ke arah Jugo. Merasa dirinya konyol, kalimat itu menghancurkan ekspetasi. Sebenarnya, dia menyarankan lelaki asing itu untuk bertemu Hinata di dapur. Meskipun tampak curiga di awal, karena tahu bahwa gadis itu tidak memiliki banyak teman laki-laki. Entah kenapa dia ingin membantu menghibur dengan menyempatkan waktu yang cocok.

"Ya, kau benar Jugo," katanya. "Ayo kita pergi, lelaki itu juga mengatakan ingin bertemu dan memesan kue ulang tahun untuk kekasihnya. Kenapa aku merasa jahat sekarang, ya?"

Mereka mengambil langkah, berjalan beriringan santai di malam hari agak menenangkan penat setelah bekerja. Jugo merasa lebih tentram dan bugar, ketika menghirup suasana malam di sekitar. Walaupun yang terdengar suara orang-orang yang lalu lalang.

"Kau memotong ucapannya dan langsung mendorong pria itu untuk bertemu Hinata. Kalau dia tahu besok, aku pikir dia akan memarahimu Sui."

Lelaki itu tampak menghindar, mengibas tangannya. Jugo mengamati dan itu membuat Sui tidak percaya diri. "Ah sudahlah ... kau semakin membuatku merasa bersalah. Ayo kita minum bir hari ini, sudah lama kita tidak minum bersama. Untungnya kita tidak bersama Hinata hari ini."

"Kalau dia ada, mungkin kita tidak dibiarkan pulang. Perempuan itu agak gila kalau sudah minum alkohol. Aku tidak sanggup mengatasinya."

◊◊◊◊

Pukul menunjukkan 02.00 pagi. Ini merupakan waktu terlama yang pernah ia habiskan di dalam toko. Rasa khawatir dan tidak nyaman sekaligus baru disadari, sebab ada orang lain yang sedang bersamanya di sini. Hinata bisa saja berdalih, bahwa dia tidak meminta untuk ditemani sampai seperti ini.

Tetapi, selama mereka bersama. Naruto tidak banyak berbicara, bahkan ketika Hinata melamun guna menenangkan, lelaki itu tidak mengganggu. Untuk menghilangkan rasa jenuh, terkadang dia mengamati bahan kue di dapur dan mesin oven yang berisi adonan namun tidak menyala.

Terkadang dia tanpa sadar mengindahkan gerak-gerik Naruto. Dan ketika mata mereka bertemu, Hinata menemukan pergerakan kecil yang ditahan, seperti ̶ ̶ ingin bertanya karena penasaran namun enggan. Sudah dipastikan bahwa alasan itu semua adalah karena dirinya.

"Apa kau pengangguran?"

"Apa?" hardik Naruto, merasa tidak terima dengan kalimat tersebut. Sudah tahu bahwa dia seorang casting director. "Pertanyaanmu terlalu basi!" katanya. "Setidaknya seperti; apa kau tidak bekerja besok? Pulanglah dan segera beristirahat."

Muram durja berganti, ia memutar bola mata bosan. "Aku tidak minta untuk ditemani, tapi ...,"

Naruto berbalik, berjalan menghampiri namun memberi jarak di antara mereka. Ini tidak nyaman, sedikit gerah berada di ruangan ini. Baru disadarinya beberapa menit lalu kalau mereka hanya berdua di dalam dapur. Meskipun tidak panas, karena mesin dimatikan dan AC dibiarkan menyala. Tetap saja, orang ketiga adalah setan. Oleh karena itu, dia memilih menelusuri peralatan dapur dan melihat alat-alat atau bahan masak, guna menenangkan pikiran.

"Tapi apa?" ulang lelaki itu.

"Kau tidak perlu menemaniku sampai seperti ini, 'kan?"

Dia tersenyum miris, terkesan memaksa. Membatin sejenak, berharap apa dia pada gadis yang perlawanannya ingin membuat bergeming. "Entahlah, aku pikir aku memang harus di sini sampai hatimu membaik." Maka, salah satu cara yang harus dilakukan adalah melembutkan nada suara. Mungkin setiap lisan yang dicampur sedikit dengan perasaan dapat meluluhkan lawan bicara.

"Begitu ya?" Hinata berdiri, menepuk celananya. "Sebagai ucapan terimakasih, kau kemari untuk memesan roti, 'kan? Katakan saja roti jenis apa yang kau mau, cake juga tidak masalah. Setidaknya aku tidak memiliki utang budi padamu."

Sepertinya mulai hari ini dia mendapatkan pelajaran. Berbicara dengan nada lembut pada orang yang hatinya agak keras tidak terlalu buruk, meskipun mengalah pada diri sendiri.

"Sebenarnya aku ingin memesan cake ulang tahun, dan kebetulan aku menemukan toko roti ini ketika pulang kerja. Siapa sangka bahwa kau bekerja di sini."

Gadis itu mengamati pergerakan kecil yang mencolok di matanya.

Pembohong.

Lelaki itu berbohong. Padahal dia bertanya apa yang diinginkan oleh Naruto. Namun dia mendapat penjelasan yang lama mencapai jawaban. Pergerakan mata sesaat yang melihat ke arah kiri lalu ke arahnya, tetapi dia merespons itu dengan wajah datar.

"Aku pikir kau sengaja ingin bertemu denganku," jawab Hinata dengan percaya diri. "Tapi tidak masalah, katakan saja apa yang kau mau."

"Aku ingin memesan kue ulang tahun yang terbaik di toko ini. Untuk kekasih ̶ ̶"

"Oh," sela gadis itu. Seolah-olah tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya. Bukan bermaksud dari awal berharap, seorang lelaki tidak ingin membuang waktu sia-sia pada seorang perempuan. Seperti apa yang baru saja dilakukan Naruto padanya.

Inilah alasannya. Kenapa tidak boleh salah mengartikan kebaikan seorang lelaki. Bisa jadi dia berbuat baik ke semua orang.

"Jika tidak terlalu buru-buru, kau bisa datang lusa untuk mengambil kuenya."

"Secepat itu?" Agak sulit dipercaya, padahal suasana hati gadis itu belum dikatakan cukup baik. "Kau tidak perlu memaksakan diri."

Mengerti maksud dari ucapan lelaki itu. Hinata bergeming sesaat. "Kau takut karena perasaanku yang baru patah hati ini menghancurkan cita rasa kue pada yang aku buat?" Tidak ada jawaban beberapa detik, ia pun berkata, "Aku tidak sebodoh itu, lagi pula aku pemilik toko ini dan harus profesional."

Naruto menggaruk kepalanya, tampak seperti orang bodoh. Mendadak bingung dengan dirinya sendiri. Sepertinya kilah penuh dusta yang dikatakan olehnya membuatnya menerkam penyesalan.

"Ah, hahaha ... sepertinya aku berubah pikiran." Dia berbalik arah, sampai pada depan pintu berhenti karena tangan menarik kerah belakang bajunya. Tersenyum kikuk, karena melihat senyuman mengerikan dari Hinata.

"Kau pikir bisa menipuku?" Terdengar lembut namun mampu membuat merinding. "Coba jelaskan kau ingin memesan kue seperti apa untuk kekasihmu? Apa kau harus berbohong dengan alasan kebetulan bertemu tokoku? Atau kau ingin meminta kue gratis padaku, hah?"

"Aku bisa jelaskan! Sungguh!"

◊◊◊◊

Keesokan paginya, Jugo menemukan toko roti baru saja dibuka. Toko roti lebih lambat dibuka dari jam berkerja. Hal ini membuatnya sedikit khawatir. Jika kemarin persediaan roti berkurang, kini jadwal toko buka tidak tepat pada waktunya. Terlihat beberapa pegawai baru memasang apron dan langsung melayani pelanggan yang masuk dengan tergesa.

Meskipun sedikit sulit menetralisir pikiran akibat banyak minum semalam, namun suasana toko yang padat membuatnya harus bersikap profesional. Ia beralih mengambil bagian kasir, melihat dua orang pegawai baru masuk ke dalam dapur.

"Hei," Karui menepuk punggung Jugo dengan tenaga. tergelak sesaat ketika lelaki itu meringis sakit. "Persediaan hari ini kembali normal, sepertinya Hinata-san mulai membaik."

"Begitu ya?" Jugo mengedipkan mata berkali-kali, berusaha mengingat percakapan dengan Suigetsu kemarin. Pula ia berpikir positif, tidak mungkin suasana hati cepat berubah hanya karena lelaki pirang kemarin.

"Kenapa kau bersikap aneh begitu?"

"Bukan apa-apa." Menggaruk tengkuk lehernya, masih mencoba berpikir keras. Jugo berdecak lidah dan dibuat buat dengan isi kepalanya. "Tidak-tidak ... mungkin kemarin dia berkeluh kesah," gumamnya. 

Enmeshed YoreHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin