CHAPTER 26 : °Disappointed Medicine°

50 10 5
                                    

Happy reading and enjoy! 💗

>>>

"Apalagi sih, gue udah lapor ke lo masih kurang yakin?" Nea menggerutu sebal pada Abizar yang kini duduk di depannya. Mereka berdua berada di kantin pada istirahat jam pertama.

"Gue belum yakin sebelum lo punya bukti kalau Fikri emang beneran makan gorengan lo." Abizar masih santai dengan menyeruput es teh manisnya.

Nea menggeram pelan. Sial, dirinya lupa memotret misting kemarin. Setidaknya itu bisa menjadi bukti kuat. Atau foto bersama Fikri sambil memakan gorengan? Ah, rasanya mustahil.

"Mendingan lo cabut jabatan aja dah jadi ketos. Malu-maluin tau gak?"

"Dih, malah ngehina," ucap Abizar cuek.

"Ya habisnya lo jadi ketos ngeselin. Miris banget yang nyoblos elo." perlahan Nea mengecilkan suaranya, "Padahal sikap aslinya yang waktu di perpus jauh banget dari kata ketos."

Abizar sedikit mencondongkan badannya. "Lo bilang apa barusan?"

"Enggak!"

Abizar menunjuk Nea, "Lagian lo juga pasti nyoblos gue'kan? Nah, sekarang ngaku alasan lo nyoblos gue kenapa?"

Nea mendelik tajam, "Harus banget gue kasih tahu?"

Abizar mengangguk-anggukan sebagai respon. "Wajib."

Nea mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke dagu. Seolah berpikir, "Karena wajah lo tuh bikin orang-orang kasihan. Jadi, gue nyoblos lo karena kasihan."

Abizar dibuat dongkol. Yang benar saja wajah tampannya bak dewa yunani itu terlihat menyedihkan.

Nea beranjak berdiri, "Gue nggak mau tahu. Pokoknya challenge gue selesai, oke? Oke dong." Nea melenggang pergi seraya bersenandung ria.

Abizar menatap kepegian gadis itu sambil tersenyum penuh kemenangan. "Enggak segampang itu, Nea."

***

Seperti biasa suasana pasar ramai di sore-sore begini. Fikri berjalan santai menuju ruko Mamanya yang tengah berjualan.

Matanya mengedar ke segala arah. Hingga menangkap seseorang yang tak asing di depan sana. Gadis berambut sebahu memakai seragam yang sama seperti Fikri, tas biru yang digendong gadis itu membuat Fikri semakin yakin.

Fikri melangkah mendekat pada gadis itu.

"Lovysa?"

Lovysa menoleh terkejut menatap Fikri. Dirinya sedang memilih berbagai sayur-sayuran.

"K-kamu Fik?" Lovysa tergagap dan berusaha setenang mungkin.

"Lagi belanja? Sama siapa, Sa?" Fikri tersenyum, sesekali melihat-lihat ke tempat jualan yang kini dikerumuni banyak orang.

"Sam-"

"Udah, beres Lov belanjanya?"

Belum sempat Lovysa menyelesaikan ucapannya, seorang pemuda yang seumuran Fikri datang dan merangkul Lovysa.

Fikri yang melihat itu seketika hatinya terasa dijatuhi bebatuan. Mengingat kejadian di parkiran sekolah pada saat itu, wajah cowok di depannya persis sama. Oh, bukankah temannya Lovysa yang membantu mencari hadiah untuk Fikri?

Gadis itu berusaha melepas rangkulannya, "Kenalin Fik, ini Panji."

Fikri berubah datar menatap keduanya.

"Oh, jadi lo Fikri? Btw, habede, ya." Panji menepuk bahu kiri Fikri.

Fikri lantas mengusap bahu yang bekas ditepuk Panji. Layaknya kotoran yang hinggap.

"Ayo pulang Lov, Mama udah nunggu bahan-bahannya. Katanya kamu mau belajar masak?" Panji menarik tangan Lovysa untuk pergi dari sana.

Keduanya pergi meninggalkan Fikri yang mematung sendirian. Dan gadis itu sama sekali tidak memberinya penjelasan langsung.

Fikri merasa ada yang sesak di dalam dadanya. Aneh. Entah perasaan apa yang Fikri rasakan saat ini. Entah kenapa kejadian tadi membuat Fikri merasa ... sakit.

***

"Fikri, kamu dengar Mama'kan?"

"Apa Ma?" Fikri masih fokus menatap kosong ke arah aquarium kecil di atas meja ruang tamu seraya lesehan.

Fridda yang melihat itu mengerut kening. Tidak biasanya putra sulungnya itu diam setelah beberapa jam.

"Rencananya besok kamu harus ketemu lagi dengan perempuan cantik waktu itu. Kamu udah mulai suka'kan sama dia?" tanya Fridda sedikit berharap.

"Fikri enggak suka, Ma. Fikri enggak suka cewek," sahut Fikri ngelantur.

Kedua mata Fridda melebar, "Astaghfirullah, Jadi kamu sukanya sama cowok?"

"Enggak juga." Fikri menatap Fridda yang tengah sibuk dengan ponselnya. Lantas Fikri ikut naik duduk di kursi. "Harusnya tuh, Mama yang cari cowok."

Mendengar penuturan anaknya Fridda menyimpan ponselnya. "Mama udah kepala empat, Fik mana ada yang mau sama Mama," Fridda tersenyum simpul.

"Ma, Fikri ikhlas banget kalau misal Mama mau menikah lagi. Kalau emang itu ngebuat Mama bahagia, Fikri akan jauh lebih bahagia, Ma," Fikri mengusap lengan Mamanya penuh kasih sayang.

Jujur, selama ini Fikri ingin sekali melihat Fridda bahagia selama dirinya masih ada. Tak jarang Fridda selalu menangisi kepergian Farhan-suaminya yang pergi bersama wanita lain.

Kedua bola mata Fridda memanas, Ia tidak menyangka anak satu-satunya itu sudah dewasa tanpa sosok Ayah disampingnya. Untuk bisa sampai dititik ini tidaklah mudah. Fridda harus banting tulang demi menghidupi dirinya dan putranya.

"Mama minta maaf, Nak." Fridda memeluk erat putranya sambil bercucuran air mata. "Mama selalu maksa kamu buat menuhin keinginan Mama. Sekarang Mama akan serahkan calon mantu Mama sesuai pilihan kamu."

"Fikri maunya calon ayah, bukan calon mantu, Ma," ucap Fikri hingga mendapat cubitan kecil dari Fridda.

Rasanya sudah lama Fikri tidak merasakan pelukan hangat dari seorang ibu. Dan kini Fikri bisa merasakannya lagi.

- To be continued -

Pengen banget ya, punya Mama yang bisa diajak curhat, bercanda sama ketawa bareng 😢

Jangan sedih ya, teman-teman😉💗 Tetap semangat buat yang udah ga punya Mama atau Mama nya masih ada tapi cuek. Pokoknya jangan pernah berhenti berdo'a buat kedua ortu kalian, yachh!!😍

Terimakasih sudah membaca dan meluangkan waktunya 💗

°Senin 19 Februari 2024.°

Sorry, I'm not romantic Where stories live. Discover now