Keputusan Terberat

101 8 2
                                    

"Kamu yakin ingin mengundurkan diri?" Tanya dokter Haikal, yang saat ini berperan sebagai konsulen Haris di poli internal. Beliau bertanya dengan nada terkejut sekaligus kecewa.

Haris mengangguk perlahan, mencoba tegar. Ini keputusan yang tidak akan ia sesali.

"Tapi kamu kan masih bisa mengusahakan beasiswa, Ris. Kalau kamu berhenti, maka percuma saja kamu kuliah di Fakultas Kedokteran. Saya ingin kamu berfikir ulang tentang keputusanmu ini!"

Haris yang tadinya mencoba kuat, ternyata begitu sulit. Ini pilihan yang sangat berat, di antara impian atau cintanya pada Aisyah.

"Saya tahu, dok. Mungkin keputusan saya sangat mengecewakan, tapi saya tidak punya pilihan lain. Jika saya masih terus melanjutkan pendidikan kedokteran ini, maka istri saya akan terus bekerja, bahkan mungkin merelakan diri untuk berhenti kuliah demi cari uang untuk biaya semester saya di sini. Saya tidak mau dia berkorban sejauh itu, dok." Jelas Haris dengan tertunduk, mencoba menahan sesak yang begitu menyiksa.

Dokter Haikal merasa prihatin, namun ia juga tidak bisa membantu mengingat biaya koas memang sangat mahal. Pada akhirnya ia hanya bisa berpasrah pada keputusan Haris meskipun sejujurnya ia kecewa karena Haris dokter muda terbaik selama menjadi anak didiknya.

"Baiklah, apa pun itu, saya berharap kamu bisa tetap melanjutkan koas suatu hari nanti. Pasti ada kesempatan yang Allah kasih, saya percaya tidak ada usaha yang sia-sia."

Haris mengangguk, masih mencoba kuat untuk menyembunyikan kekalutannya. Dalam hati ia hanya terus meyakinkan diri bahwa semua kesulitan ini bukan penyebab pernikahannya, andai pun ia tidak menikah dengan Aisyah ia juga belum tentu mampu melanjutkan koas, karena tidak ada dukungan biaya dari orangtua.

***

Hari itu Haris menjaga Aisyah yang masih dirawat di rumah sakit. Meskipun sudah cukup baik tapi dokter belum membolehkannya pulang.

"Mas yakin mendapatkan cuti hari ini? Katanya tidak ada hari libur selama koas?"

Haris tertawa, sambil mengambil nampan berisi makan siang untuk pasien yang baru saja diantar oleh petugas dapur ke bangsal.

"Kalau caranya begitu, ketika ada koas yang sakit harus tetap bekerja dong?" Balik tanya Haris dan hanya dijawab dengan tawa malu oleh Aisyah.

"Ayo makan dulu, biar cepat sembuh."

"Aaa!"

Dengan tersenyum malu Aisyah melahap sendok demi sendok yang Haris sodorkan.

"Terima kasih ya mas, sudah merawatku. Aku merasa sangat bersyukur."

Haris tersenyum, "Tidak gratis loh ini, ada jatah yang harus ditambah nanti."

Aisyah tertawa, namun tawa itu seketika hilang saat seorang wanita dengan kemeja mencolok dan berkacamata hitam tiba-tiba masuk ruang rawat. Wanita paruh baya dengan rambut sebahu yang sedikit bergelombang, lipstik merah tebal juga jam tangan dan tas mahal dalam genggaman. Sesaat Aisyah merasa seperti melihat seorang artis.

Tidak hanya Aisyah, Haris justru lebih terkejut karena wanita itu adalah ibunya. Sosok yang bisa dihitung jari berapa kali ia temui semasa hidupnya.

Wanita itu bernama Ratih, dia lekas melepas kacamata dan berjalan menghampiri Haris sambil membawa selembar kertas. Tanpa basa-basi ia lekas merobak kertas tersebut dan ia buang di hadapan Haris.

Seketika suasana dingin mencekam. Aisyah yang tidak tahu apa-apa hanya bisa melotot penuh kebingungan.

"Apa-apa an ini? Kamu ingin menghancurkan impian yang sudah kamu bangun selama ini?" Suara Ratih lantang, namun Haris memilih diam tidak menghiraukan.

Sekali Seumur Hidup (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang