1. Perpisahan Adalah Dasar Kehidupan

68.5K 5.3K 1.3K
                                    


Hai guys!
Yang kalian baca ini adalah ceritanya Marvin dari Diamond Gang Universe, ya.

Ceritanya nanti akan terbit dengan judul "Kota Para Pecundang"

Di novel "Kota Para Pecundang" nanti tidak hanya berisi cerita Marvin, tapi ada tiga cerita dari tiga penulis yang berbeda-beda. Aku, Kak Adel, dan ada Kak Erisca.

Nah, di lapak ini khusus untuk cerita Marvin, ya, guysssss

****

Di dunia ini, perpisahan mungkin menjadi warna paling dasar yang akan selalu terlibat di kehidupan manusia. Sekeras apa pun kita menghindarinya, ia akan selalu tampak di depan mata. Tak ada yang sanggup mengelak. Perpisahan adalah hal yang mutlak. Siapa pun bisa disasar. Ia adalah peluru yang paling menyakitkan. Yang apabila mengenai seseorang, lukanya bisa saja abadi, sampai raganya mati.

Marvin, laki-laki yang kini bersimpuh di samping gundukan tanah itu hanya mampu menatap hampa sebuah nisan yang sudah usang di hadapannya. Entah perjanjian apa yang Tuhan berikan sampai ia memilih untuk lahir ke dunia tanpa seseorang yang seharusnya menemaninya bertumbuh. Ia bahkan belum sempat mencicip masakan dari tangan wanita itu. Atau sekadar memeluk tubuh yang hangat itu pun, Marvin tidak pernah. Kehadirannya di dunia ini masih menjadi hal yang paling ia sesali. Jika dulu ia tak pernah memilih untuk dilahirkan, wanita itu tentu masih bisa tersenyum hingga sekarang. Kehadirannya yang dinantikan, justru merenggut nyawa seseorang.

Marvin tahu itu bukan salahnya. Namun, anak mana yang tidak menyesal bila mengalami hal yang sama dengan dirinya?

"Kali ini nggak dateng sama abang, Bun." Laki-laki itu mengukir senyum tipis. "Dia pasti ngajak ke sini lagi kalau Bunda ulang tahun."

Marvin mungkin benci dengan perayaan ulang tahun. Tapi tidak untuk tanggal lahir Gentari, bundanya. Bahkan hingga usianya yang kini menginjak angka dua puluh tahun, ia masih selalu berharap kalau Gentari bisa ikut hadir dan meniup lilin ulang tahun yang selalu ia siapkan. Kenyataannya, harapan itu akan tidak akan sampai ke langit sana. Keinginannya akan selalu jatuh diterpa angin, lalu mengendap ke lapisan bumi yang paling dasar.

Dua puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sudah selama itu pun, Marvin masih belum menerima fakta bahwa ia memang tak bisa lari ke rengkuhan Gentari. Ia tak akan bisa merasakan hangatnya kasih sayang ibu. Karena sejak dia membuka matanya untuk melihat dunia, wanita itu sudah tidak ada.


***


Selama ini, Marvin selalu menganggap bahwa Galvin–ayahnya–adalah sosok yang kejam dan tak pernah adil dalam membagi kasih sayang antara dirinya dan saudara kembarnya, Marvel. Namun, sore itu, Marvin semakin tahu bahwa Galvin memang tidak lebih dari seorang pria yang merindukan istri dan anak-anaknya. Semenjak ia dan Marvel pergi mengenyam pendidikan ke luar kota, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Dulu, Galvin bisa saja mencari pengganti Gentari. Akan tetapi, ayahnya itu lebih memilih untuk tetap sendiri. Sebab, Galvin selalu bilang bahwa cintanya kepada Gentari tak akan pernah terbagi kepada siapa pun, selain ke anak-anak mereka. Tak hanya itu, ayahnya juga paham bahwa Marvin dan Marvel pasti tak pernah setuju untuk menerima orang baru.

Sudah sepuluh menit lamanya Marvin hanya berdiri di ambang pintu. Ia diam-diam mengamati punggung ayahnya yang bergetar. Marvin tahu betul kalau Galvin menangis. Ia juga bisa melihat ada sehelai pakaian di tangan pria itu. Pakaian Gentari. Kebiasaan ayahnya ternyata tidak pernah hilang. Bila merasa rindu yang teramat dalam kepada seseorang yang bahkan raganya saja sudah melebur dengan tanah, Galvin akan mengambil pakaian Gentari untuk dipeluk, dibawa menangis. Begitulah cara Galvin memuaskan perasaan rindunya. Yang Marvin tahu, pakaian itu adalah pakaian yang digunakan Gentari untuk yang terakhir kali. Galvin juga tak pernah membiarkan siapa pun untuk mencucinya. Katanya, aroma Gentari akan hilang bila pakaian itu dicuci.

Beberapa saat kemudian, Marvin akhirnya memberanikan diri untuk mematri langkahnya menuju Galvin yang duduk di sisi kasur dengan posisi menghadap ke jendela. Kehadirannya cukup mengejutkan pria itu. Ayahnya buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipi. Marvin tersenyum tipis melihatnya lalu ikut duduk di samping ayahnya.

Hening. Tak ada percakapan yang langsung terjadi di antara keduanya. Pasangan ayah dan anak itu masih sama-sama bergelut dengan pikiran mereka. Semesta mungkin tahu kalau mereka tengah memikirkan hal yang serupa.

"Rasa rindu yang paling menyakitkan itu ketika kita sudah tidak memiliki cara untuk menemui orang yang menjadi penyebab perasaan itu muncul, Nak," celetuk Galvin, memecah keheningan di antara keduanya.

Marvin tertawa samar. Ia ikut merasa miris dengan nasib yang menimpa keluarga mereka. Kata 'seandainya' mungkin sudah terlalu sering mereka lontarkan. Buktinya, khayalan itu akan selalu berakhir sebagai khayalan. Mereka tidak punya kesempatan untuk mengubah takdir yang sudah berjalan. Kenyataan bahwa keluarga kecil mereka tak pernah direngkuh oleh seorang wanita yang seharusnya menjelma sebagai ibu, akan selalu menelan pahit keinginan mereka.

"Dan... ikhlas yang paling dalam itu ketika kita sudah tidak berangan-angan," timpal Marvin.

Galvin menghela napas panjang lalu melingkarkan lengannya di pundak Marvin, merangkul anak bungsunya itu. "Orang-orang yang masih bisa hidup tanpa ibu... mereka keren. Termasuk kamu sama abangmu."

"Karena Ayah juga keren." Marvin ikut merangkul pundak ayahnya. Kehangatan sederhana seperti inilah yang dulunya hampir tidak pernah Marvin dapatkan. Semenjak mereka memutuskan untuk tidak saling egois, perlahan apa yang Marvin dambakan mulai terwujudkan. Hubungannya dengan ayah dan kakaknya kini semakin menghangat. Ia bersyukur karena ternyata semuanya belum terlambat.

"Tidak. Sampai saat ini, Ayah masih menyesal karena tidak bisa memahami kalian. Maafkan sifat keras Ayah selama ini, ya?" Mata pria itu kembali berkaca-kaca kala mengingat kesalahannya selama ini. Ia sadar bahwa tindakannya selama ini berhasil merusak mental kedua anaknya, sehingga menimbulkan keretakan yang cukup parah di keluarga mereka. Beruntung semesta masih mengizinkannya untuk memperbaiki itu semua, meski rasa bersalah masih tak kunjung hilang dari sudut hatinya.

"Semua manusia pasti memiliki kekeliruan, Yah. Tapi, dari kekeliruan itulah mereka belajar dan berkembang," seloroh Marvin yang membuat Galvin tak mampu lagi menahan tangisnya.

"Waktu berjalan terlalu cepat sampai Ayah nggak sadar kalau kalian ternyata sudah besar." Galvin mengusap wajahnya yang basah lalu memeluk hangat tubuh anaknya. Rasanya baru kemarin ia menyaksikan anak-anaknya lahir ke dunia. Baru kemarin juga dia berusaha untuk terus berjuang membesarkan Marvin dan Marvel tanpa didampingi Gentari. Dan baru kemarin juga mereka mengalami perang dingin karena keegoisan masing-masing.


***

1000 komen untuk lanzuuttttttt 😻😻😻

Kota Para Pecundang: Marvin AlgaraWhere stories live. Discover now