5. Sleman Hari Itu

12K 1.5K 262
                                    

Marvin tahu bahwa ketika dia menginjakkan kaki kembali di perantauan, ia akan kembali berteman dengan kesepian. Bukan. Bukan manusia-manusia di bumi yang tidak menemaninya, tapi ia yang memilih untuk menjauh dari mereka. Terkadang, manusia memang butuh waktunya untuk sendiri. Namun, apabila mereka sudah nyaman dengan kesendirian, maka akan sulit untuk keluar dari sana. Itulah yang Marvin rasakan sekarang. Dia sudah mencoba untuk beradaptasi dengan teman-teman di kelasnya, berusaha dekat dengan mereka. Namun, bukan kesenangan yang dia dapatkan, justru energi yang habis setiap kali ia mencoba mengakrabkan diri. Dari sana Marvin sadar bahwa kepribadiannya yang dulu social butterfly sudah tidak berlaku di area kampus. Tak apa, hidup dengan teman yang lebih sedikit juga tak membuatnya mati.

"Besok kalau Ayah pulang kerja, mau dibawain apa?"

"Nisa mau kebab turki, Yah!"

"Pesanan diterima. Kebab turki untuk Tuan Putri."

Sepenggal percakapan itu tidak sengaja Marvin dengar saat ia tengah asyik menikmati makan malamnya di angkringan Mas Eko. Tepat di sebelah angkringan yang dia kunjungi, terdapat warung pecel lele yang tengah didatangi oleh seorang pria paruh baya beserta putri kecilnya yang berumur kisaran tujuh tahun. Mereka terlihat berdiri dan mengantre bersama pembeli lainnya yang lumayan ramai.

Mungkin bagi orang lain, percakapan tersebut merupakan hal yang lumrah ditanyakan oleh seorang ayah kepada anaknya. Namun, bagi dirinya yang tidak pernah merasakan itu saat kecil, hatinya tersentil hingga mulutnya berhenti mengunyah saat itu juga. Tangan kanannya bergerak mengambil gelas kaca berisikan teh panas yang masih penuh. Setelah meniupnya sebentar, ia pun segera menyeruput teh itu secara perlahan. Rasa hangat sontak menyelimuti tenggorokan dan perutnya.

Sepasang mata beriris gelap itu memandang ke sekitar jalanan. Cahaya yang remang-remang, deru motor yang tidak pernah berhenti terdengar, hawa dingin yang menyejukkan membuat pikirannya bernostalgia pada beberapa tahun yang lalu. Saat itu, ia masih menjadi remaja dengan pribadi yang ceria dan selalu ingin membuat orang lain tertawa. Lain halnya dengan sekarang. Rasa-rasanya Marvin yang dulu sudah mati, digantikan dengan Marvin yang lebih suka menutup diri dari sekitarnya.

"Jadi kangen Marvel." Satu kalimat itu ia ucapkan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sial, dia begitu cengeng sekarang. Padahal baru tadi sore berpisah dengan kakaknya.


***


Dua minggu sudah berlalu sejak Marvin mengajak Ranya berkenalan. Hari ini, mereka kembali duduk di atas motor lagi, melaju ke suatu tempat yang Ranya minta. Ada beberapa barang yang habis di tempat fotokopinya. Untuk itu, dia mengajak Marvin untuk membelinya.

Ada banyak hal yang terjadi selama dua minggu ini. Mulai dari Marvin yang selalu datang untuk mencetak segala macam tugas di kiosnya, Abah yang beberapa kali mengatakan kalau dia tidak suka dengan Marvin, dan terakhir, Ranya yang mulai terbiasa dengan kehadiran laki-laki itu.

Marvin bilang, pagi ini dia tidak ada kelas. Makanya dia ingin menemani Ranya untuk membeli kebutuhan kios. Marvin selalu suka saat ia kembali mendapatkan tamu yang di jok belakang motornya. Dan Ranyalah yang paling sering mengisinya.

"Nggak pernah se-happy ini kalau naik motor, Nya," celetuk Marvin dengan agak berteriak karena suara bising di jalan raya.

"Kenapa gitu?"

"Lebih happy aja dua minggu ini."

"Karena?"

"Karena si Juju dapet tamu cewek lucu."

Ranya yang seketika paham itu pun tertawa. Ia memukul pundak Marvin lalu mencubitnya ringan. Laki-laki itu mengaduh kesakitan dengan nada lebay. Padahal jelas-jelas Ranya melakukannya tanpa kekuatan.

Setelah menetralkan tawanya karena melihat wajah blushing Ranya dari kaca spion, Marvin pun berkata, "Mau beli es cendol dulu, nggak? Gue tahu tempat es cendol yang paling enak di sini. Yang ada nangkanya banyak."

"Boleh," jawab Ranya tanpa banyak pikir. "Kok tahu aku suka cendol?"

"Nebak aja," balas Marvin. "Kelihatan dari muka," lanjutnya.

"Hah?" Ranya tidak mengerti. Apa hubungannya muka dengan suka cendol? "Mukaku mirip cendol, gitu?"

"Bukan gue yang bilang, ya," seloroh Marvin yang disusul dengan gelak tawa puasnya.

"Tengil banget, sih!" Lagi, Ranya mencubit lengan Marvin. Kali ini agak kencang sampai membuat beberapa pengendara lain menoleh ke arah mereka. Ranya sempat malu karena hal itu. Namun, tak berselang lama setelah itu, dia justru ikut tertawa bersama Marvin. Entahlah, semenjak ada laki-laki itu, ia menjadi lebih sering tertawa. Seolah masalah yang membelenggunya kemarin tidak ada apa-apanya untuk menghentikan tawa itu.

***

Spam ❤️

Spam ❤️

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.
Kota Para Pecundang: Marvin AlgaraWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu