FARAH : 18

6.7K 409 7
                                    

"Gue masih nggak ngerti deh Far," kata Kanya. "Kok Kak Kevin jadi kayak gitu?"

"Gue nggak tahu," jawab gue lemas. "Mungkin karena pergaulannya disana."

"Bukannya lebih baik lo telpon nyokap bokap lo?" kata Kanya. Ia membetulkan letak kacamata minusnya yang tidak pernah absen dari hidungnya yang kecil mancung.

"Mm, gimana ya," kata gue bingung. "Gue...gamau aja bikin mereka khawatir."

"Ya ampun, Far!" kata Kanya. "Lo gimana sih? Ini nih udah gawat banget. Liat aja muka lo tuh, pipi lo. Setahu gue, Kak Kipli gabakal gituin lo, bentakin aja gapernah kan."

"Mungkin lo bener," gue merebahkan diri di atas matras Kanya. "Gue akan coba, tapi minimal, gue harus masuk sekolah besok."

"Yaudah deh, Far," Kanya memberikan selimut untuk gue. "Lo nginep aja dulu disini, sampe lo bisa balik lagi ke rumah."

"Lo sahabat gue yang terbaik, Nya," kata gue sambil tersenyum. "Thanks berat." Gue menutup mata gue perlahan bersiap untuk terlelap.

"Btw," gue sempet dengar Kanya berbisik pelan, membuat gue bingung setengah mati.

"Asal gue nggak liat lo sama Keenan lagi, hati gue udah tenang."

*

Oh, God!

Udah jam berapa nih?!

Gue celingukan mencari angkot buat ke sekolah, nyatanya, semuanya udah penuh.

Gue udah ngelambai-lambai sampai memamerkan gaya paling aduhai, tetep aja angkot jalan terus. Abang-abangnya juga bilang, "Maap neng, penuh!"

Gue mengecek jarum jam di pergelangan tangan yang nggak berhenti-berhenti juga. Sudah jam 7 kurang 10 menit!!!

Ah, tega bener dah Kanya.

Gue melihat sebuah motor yang melaju cukup kencang, dan gue hapal banget tuh wajah bonceng berbonceng.

Arga Gaga sama Mayat Hidup!

"Woy!!!" gue berteriak.

Semua orang menoleh ke gue, sampai-sampai motor itu juga berhenti.

Gue berlari sampe ke ujung jalan tempat sepasang kekasih di atas motor itu menatap gue dengan tampang ketakutan.

"Anterin gue!"

Arga tampak sangat kaget, sementara tuh mayat hidup, ya, as usual, no expression.

"Ta...tapi..." Arga tampak sangat bingung antara memilih untuk mengantarku atau Keenan.

"Udah jangan lama." Gue mendorong badan Keenan yang ringkih untuk maju lebih ke depan, dadanya menempel pada punggung Arga. Gue duduk di belakang Keenan dengan memaksa.

Jadilah cengtri (bonceng tiga) yang sangat aneh. Arga, Keenan, dan gue, dalam satu jok motor bebek Arga.

"Ayo, gece, Ga!!!" teriak gue.

"Iya, iya! Pegangan ya!!!" sahut Arga yang langsung menancap gas keras-keras.

Kontan, gue memeluk leher Keenan tanpa sengaja. Tapi, kalau gue nggak meluk, entar bisa jatuh.

Milih nyawa hilang atau meluk Keenan?

Bodo amat, yang penting gue nggak telat!!!

*

Nyaris sekali gerbang ditutup, saat Arga memaksa masuk seakan-akan kami hanya sepotong triplek yang tipis. Andai saja Arga tidak selihai itu, kami bisa terjepit pintu gerbang.

Hello, Keenan! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang