2. You and I

861 118 34
                                    

Hema menghentikan langkah di ambang pintu dapur, untuk kali ke sekian berhasil dibuat heran oleh tingkah sang istri. Pasalnya Thalia yang jarang sekali memasak di pagi hari, sudah semingguan ini tumben selalu bangun lebih dulu dari Hema dan mau menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Hema senang, tetapi di balik itu merasa penasaran. Belasan tahun mereka menikah, Hema telah terbiasa menjadi pihak yang kerap melakukan pekerjaan rumah. Hema tak keberatan dan tak malu walaupun terkadang ipar-iparnya berkomentar kurang mengenakan. Hema bersikap demikian bukan tanda tunduk pada Thalia, melainkan karena memahami perempuannya. Thalia berasal dari keluarga berkecukupan, tumbuh di tengah-tengah kemewahan, sehingga kepribadiannya menjadi sedikit manja.

Kendati begitu, Thalia tidak pernah menganggap Hema lebih rendah. Ia menaruh rasa hormat tinggi-tinggi pada suaminya. Thalia akan selalu mencintai Hema dengan penuh puja, dan Hema juga akan selalu mencintai Thalia dengan luas pemaklumannya.

Mereka hanyalah dua individu yang berusaha keras saling melengkapi.

Thalia mengibas-ibaskan tangan di depan wajah supaya aroma dari masakan dalam wajan masuki indra penciuman. Namun, pekikan Thalia tiba-tiba mengudara lantaran sepasang lengan tanpa aba-aba melingkari pinggangnya. Thalia sontak sedikit menoleh, lalu sekonyong-konyong mengecup pipi Hema yang bersandar di bahu kanannya. "Morning, Bear."

Hema berbisik, "Kamu kenapa, sih?" Lantas satu kecupan disematkannya ke pundak Thalia. "Lately kamu agak beda. Kamu gak kenapa-napa, 'kan?"

Thalia terkekeh sembari mengusap jari Hema yang bertaut di perutnya. "Aku abis diceramahin Mas Abi, Bear. Dia bilang aku terlalu sibuk ngurusin kerjaan sampai-sampai lupa ngurusin kamu sama Esa. Lama-lama kamu bisa kabur, katanya. Maaf ya, Hema. Selama kita nikah malah lebih banyak kamu yang ngurusin rumah. Makasih juga karena kamu gak pernah protes soal itu. But from now on I'll trying hard to be good wifey and mommy. I'm promise." Thalia memejam sejenak saat tenggorokannya mendadak terasa perih. Ia juga mengerjap-ngerjap demi mengenyahkan genangan air mata.

"Kita udah pernah bahas ini lho, Tha. Dan Aku udah sering bilang kalau aku gapapa, 'kan? Aku nerima kamu tuh seutuhnya. Baik-buruk kamu, semua, aku cinta. Sejauh ini kita baik-baik aja dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Selama kita bersedia saling memahami, kita bakal baik-baik aja." Hema melepaskan pelukan hanya untuk menarik lembut bahu Thalia supaya menghadap ke arahnya. Hema menatap lekat-lekat mata perempuan yang pendarkan binar nelangsa itu. "Aku seneng kalau kamu mau berubah jadi lebih baik, tapi aku nggak suka kamu punya prasangka aku bakal pergi karena kamu adalah kamu yang sekarang. Tha, gapapa. Aku gapapa."

"Kamu dari dulu selalu gitu, selalu bilang enggak apa-apa mulu, deh."

"Karena aku emang baik-baik aja. Aku, kamu, dan rutinitas kita yang sekarang tuh gak pernah jadi masalah buatku." Hema menumpukkan kedua tangan pada pinggiran meja kabinet, mengunci pinggang sang istri dalam dekapan longgarnya. Ia ulas senyum lembut dan mengangguk pelan guna meyakinkan Thalia kalau ia betulan baik-baik saja. "Dan siapa bilang kamu bukan good wifey? You already be, Tha. Cuma, kalau kamu mau berusaha jadi makin baik, go ahead, be better-but do it because it's a thing that you want to do and makes you happy, not because you're afraid of losing me. Paham, ya?"

Thalia mengangguk, kemudian maju demi memeluk Hema. Dua bulir air mata luruh ke pipi, tetapi buru-buru Thalia menyekanya. Thalia mau sekali mempercayai kata-kata Hema, tetapi pagi ini hal itu terasa sulit dilakukan.
"Aku diundang ke birthday party-nya Tante Diana," kata Thalia sebelum mengurai pelukan, "temenin, ya?"

"Kapan?"

"Nanti malam."

Hema meringis kecil, dan Thalia tahu sekali gesture tubuh tersebut adalah indikasi Hema tak bisa menemaninya.

[✓] Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang