12. Jangan Luka

301 66 19
                                    

Satu minggu telah berlalu sejak Thalia mengklaim Hema sebagai pacar. Sejak hari itu tidak sedetik pun Hema lalui tanpa memikirkan Thalia. Pemuda itu menyulam rindu setiap malam, lalu meleburkannya di keesokan pagi saat Thalia dengan semena-mena tautkan jemari mereka. Gelenyar asing selalu menyebar di aliran darah Hema tiap kali ia dan Thalia berjalan bersisian di koridor yang sepi, menuju ruang guru untuk memulangkan setumpuk buku paket. Dengan sengaja Thalia akan menyenggol pelan bahu Hema, kemudian keduanya berakhir saling senggol sambil mengulum senyum. Seminggu yang semarak oleh euforia.

Tak ada diskusi untuk merahasiakan hubungan, kesepakatan itu tercipta dengan sendirinya. Thalia tidak coba menutup-nutupi, tetapi tak koar-koar juga, membiarkan segalanya mengalir seadanya. Sementara Hema sendiri akan sedikit menahan diri saat Jere memperhatikan. Hema menghargai perasaan sang sahabat. Namun, demi Tuhan, Hema merasa kisah romansa ini lebih mendebarkan ketika hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Orang-orang di sekitar mereka mana bakal sadar kalau di banyak momen, mata Hema dan Thalia yang saling lirik mampu meledakkan suka cita di masing-masing dada mereka. Seperti sekarang, Hema yang sedang bermain bola di lapangan berhasil mencetak angka, fokusnya langsung berlarian mencari-cari keberadaan Thalia. Dan begitu Hema bisa menemukan Thalia menonton dari depan kelas X IPA 2, detik itu juga melambai tangannya.

Begitu jam olahraga habis, Hema dan kawan-kawan sekelasnya serempak membubarkan diri dari lapangan. Beberapa siswa pergi ke kantin untuk membeli pemuas dahaga, sementara sisanya langsung ke kelas untuk ganti pakaian. Saat langkah Jere, Reyhan, dan Nata berbelok ke arah kantin, Hema yang mengekor di belakang mereka tiba-tiba melipir ke arah lain. Ia menghampiri Thalia. Thalia-nya.

Thalia masih berdiri di depan kelas, mengobrol dengan Widia sembari mengunyah permen karet. Dan saat ekor mata gadis itu tanpa sengaja melihat kehadiran Hema, langsung terulas senyumannya. Dengan centil Thalia sedikit memiringkan kepala dan menarik lebih lebar sudut-sudut bibir. Dari jarak yang masih lumayan jauh, disuguhi tingkah manis Thalia begitu, Hema sukses dibuat tergelak. Makin cepat Hema melangkah, tidak sabar menatap rupa cantik itu lebih dekat.

Widia sebagai satu-satunya orang yang peka kalau Hema dan Thalia menjalin kisah romansa pun menjadi tahu diri sekali lagi. Widia beringsut pamitan, memberi mereka waktu berduaan.

Hema berdeham begitu punggungnya menyandar ke dinding, berdiri persis di samping Thalia. Menempel bahu mereka. Untuk sekian menit tak ada yang bersuara, kompak diam sambil menatap lapangan yang mulai ramai selepas bel tanda istirahat berbunyi.

"Nggak ke kantin, Tha?" Akhirnya suara Hema memecah kesenyapan. Pemuda itu menoleh, kontan lihat bagian samping wajah Thalia yang nyaris sempurna. Langsung terbit senyumannya kala Thalia menoleh juga, menyatukan tatapan mereka. Itu, rona merah yang samar-samar menggores pipi putih Thalia, Hema amat suka. Warnanya laksana apel ranum yang tak perlu dicicip untuk tahu semanis apa rasanya. "Kenapa?"

Ditanya demikian, alih-alih berikan balasan, Thalia malah mengangkat tangan; mengusap keringat di dahi Hema. "Aku nemu surat lagi, Hem."

"Di kolong meja?"

Thalia mengangguk.

"Reza lagi?"

Thalia menggeleng, membuat Hema kontan menghela napas. Konsekuensi punya pacar cantik ya begini, setiap hari dilanda cemburu. Padahal Thalia baru seminggu wara-wiri di sekolah ini, tetapi jumlah siswa yang kepincut pesonanya sudah tidak terhitung jari. Kepala Hema cenat-cenut setiap kali Thalia menyodorkan amplop-amplop berisi surat cinta, dari para pemuja Thalia. Mereka yang mengungkapkan perasaan lewat tulisan kebanyakan teman seangkatan, sedangkan para kakak kelas lebih berani, langsung bilang di depan mata Thalia. Hema bingung harus bangga atau cemas, karena bisa dibilang dia sekarang memacari salah satu siswi famous.

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now