10. Hasan ✖️ Florenzia

103 8 0
                                    


Hasan terperanjat di kasurnya sampai-sampai selimut melayang bebas. Ia berlari secepat kilat menuju kamar mandi, menggosok gigi tak lebih satu menit, itu pun ia gelisah karena terasa lama baginya. Ia mengambil jaket yang menggantung di pintu apartemen, memakainya dengan sigap. Tiga wanita yang sedang lesehan di sana ia abaikan.

Asih bertanya anaknya kenapa, namun tak digubris. Anaknya malah menjinjing sepatu, lalu berlari keluar apartemen tanpa memakai alas kaki.

"Hasaan! Solat subuuh!" teriak Asih frustasi menatap kepergian anaknya.

"Nanti minggu maak!"

"Ari maneeeh!"

(Ari kamuuu!)

Hasan menggerutu selama menaiki motor butut yang ia beli seharga lima juta. Ia benar-benar kesiangan.

"Pake acara telat segala, sih. Kudu benerin aer di kamar bi Ratih padahal!" ucap Hasan kehilangan harap.

"Hasan, besok bawa lagi obat gosoknya. Anak saya kakinya cepet enakan."

"Anjiing! Poho, obat si non!" pekik Hasan tepat di pertigaan lampu merah, berhenti paling depan.

(Anjiing! Lupa, obat si non!)

Pria tampan berkulit coklat tua itu meringis frustasi melihat jalanan besar yang padat akan kendaraan, sedangkan ia harus putar balik.

Melewati sisi rumah yang begitu luas ini Hasan berlari menuju salah satu pintu, asalkan jangan pintu utama depan dan pintu utama kanan kiri. Ia harus ke pintu belakang.

Ini baru jam 8 pagi, dari jam 4 pagi Flori sudah selesai melakukan rapat online dengan salah satu kampus S2 nya di Amerika. Ia yang sedang duduk di ujung balkon terheran mendengar suara heboh di bawah.

"Mbak! Saya telat, mbak. Abis begadang. Euu... tuan Raffi nanyain saya, ga?" tanya Hasan berdiri tak tenang di bawah balkon yang jauh begitu tinggi di atas. Ia berbicara dengan pelayan yang sedang menyebor tanaman di dinding luar.

"Kayaknya tuan masih tidur."

"Ga nanyain, sih. Cuman, itu kamar mandi bi Ratih kasian. Mereka pada mandi di WC luar kamar."

"Ouuh... aduh, iya."

"Tapi, nyonya ada?"

"Ada, baru bangun. Lagi maen sama anak harimau di dapur belakang."

"Ouhh, iya. Makasih, ya, bi. Aku permisi dulu." Hasan bergegas mencari nyonya besar.

Wanita yang memakai kemeja formal, namun bawahannya memakai celana sangat pendek itu menunduk menatap pergelangan kakinya yang dibungkus plester besar. Perlahan bibir ranum merah muda itu menyeringai lebar seiring menyandarkan sisi kepala pada pagar besi. Ia saksikan kepergian pria berkulit eksotis itu dengan hati gembira.

Di ruang berkumpul yang begitu luas, di dekat foyer, Florenzia menangis di atas sofa gagah dan gendut. Ia cengkeram ujung betisnya, ia menggeliat kesakitan ke kanan ke kiri.

"Huuuuu! Sakiiiit!"

"Yaa ampuun! Florii! Sayang, kenapa?!" pekik Karina berlari menurunkan anak harimau yang sejak tadi dalam gendongan.

"Bundaaa! Huhuuu! Kaki akuuu." Flori mencebik sedih.

"Ssuut. Iya, iya. Bentar lagi Hasan dateng, kok."

"Bohong! Mana buktinya? Terus, ini kaki aku gimana nasibnyaa? Aku ga mau diamputasii."

"Whuus! Enak aja amputasi! Cangkemnya dijaga!" kejut Karina, menepis tangan di udara, lalu duduk di samping sang anak.

The Beautiful Devil is My Lady [TAMAT]Where stories live. Discover now