DF-2

0 0 0
                                    

dengan langkah berat aku memasuki ruang ganti baju yang berada di sebelah kamarku, aku tidak bisa menolak jika yang meminta hal tersebut adalah ibu, bukan karena tidak bisa atau takut. Tapi lebih tepatnya karena ajaran ayah, ayah selalu bilang. “perintah harus dilaksanakan tanpa bertanya, alasan hanya bisa diungkapkan ketika perintah memungkinkan untuk ditolak tapi tidak untuk perintah dari orang tua.” Hidup di prinsip seperti ayah memang berat awalnya, tapi banyak hal yang jadi disiplin ketika dilakukan.

aku mengganti pakaianku dengan baju croptop yang di padupadankan dengan kemeja sebagai outer, serta celana jeans yang sobek dan juga sepatu snaekers, tidak lupa aku juga mengikat rambut pendekku itu. “lo yakin pergi dengan style kaya gitu.” Mulut cerewetnya itu tidak akan berhenti sampai apa yang dia inginkan akan dia dapatkan.
aku menggeleng-gelengkan kepala, “ kenapa gue harus gak yakin? Gue nyaman dengan style gue yang begini.”
“gak, gak bisa. Lo harus ganti celana sobek lo itu dengan rok.”
“gak mau!” jawabku ketus
rey menyatukan kedua tangannya tanda memohon. “ zee, please kali ini aja.”
aku menaikan nada bicara karena sangat kesal. “SUMPAHH! LO NYUSAHIN GUE BANGET!”

aku kembali memasuki ruang ganti baju untuk mengganti celana jeans tersebut dengan rok seperti permintaan Rey. Setelah semua perdebatan yang terjadi kini kami sudah berada dijalan, suasana hening tercipta karena sejujurnya tubuhku saat itu sangat lelah sekali jadi tenaga untuk berbicara aku tidak punya. “lo habis berburu kan? Dapat dokumen yang lo mau?” rey memecahkan keheningan antara kami berdua.
“gue gak mau bahas” aku menjawab sembari teringat kembali kejadian tersebut, aku benci menceritakannya, aku mengubah pandanganku ke arah jendela dan melihat jalanan malam itu.

lima belas menit perjalanan akhirnya kami sampai ke cafe yang berisi teman-teman rey. “lama banget lo, udah jam berapa ni. Sama siapa lo, tumben banget bawa cewe.” tanya temannya yang sebenarnya sudah memperhatikan kami dari pintu masuk cafe.
“sorry guys, kenalin ni pacar gue.”
“sepupu.” Ralatku dengan cepat
“dih, gak bisa diajak kompromi banget.” Jawabnya dengan muka kesal
“untung gue gak percaya lagi sama lo.”

suara itu familiar sekali ditelingaku, tapi aku tidak bisa meingatnya. Apakah sebelum pindah aku mengenalnya? Tapi muka dia sangat asing, entahlah. Teman rey ada enam orang, tiga laki-laki dan tiganya lagi perempuan, sebelum masuk juga ada satu perempuan yang terlihat sangat tidak suka dengan kehadiranku, bahkan sekarang tatapan dia penuh dengan amarah. Satu persatu dari mereka mengenalkan diri.
“kenalin, gue Lefilita Lorvane Adhipura, panggil aja vane.” Marga dia adhipura, salah satu kolega ayah tapi aku yakin dia gak ikut campur atau bahkan dia sama sekali gak tau pekerjaan ayahnya.
“gue pacarnya vane, nama gue Charlos Vasnostra Adwijaya. Kalau Vane biasanya manggil gue ayang kalau lo panggil gue vane aja.” Gue mengganguk, ayah mereka berdua adalah musuh, tapi anaknya saling suka satu sama lain.
“gue Veno Zathruee Edgarsyah, panggil aja-....”
“zath?” reflekku yang langsung bertanya
“hah iya, kok lo tau nama panggilan gue zath?”
aku menggeleng cepat. “gak, gue nebak aja, hehe. Kenalin gue Zevan.”
“nama lo cuman zevan?” tanya perempuan yang tidak memperkenalkan dirinya dan sudah tidak suka denganku. “gak, nama lengkap gue privasi.” Aku menjawab dengan tegas, dengan ekspresi muka yang datar.

sangat terlihat jelas dari ekspresi mukanya yang tidak suka dengan kehadiranku dan mulai mencari celah untuk membuatku tidak nyaman. Satu lagi laki-laki yang dari tadi hanya mendengarkan itu mulai berbicara. “oh iya, gue Steven Graventas Subagja, Vegran.” Aku mengangguk kemudian dia sedikit tersenyum canggung, mungkin diantara yang lain dialah yang paling pendiam tapi mematikan.

aku mulai mencoba bergaul dengan mereka, dengan pembahasan yang untungnya aku pahami. Untungnya lagi teman-teman rey yang ini sedikit cuek jadi mereka tidak terlalu menjadikan aku sorotan tapi tidak dengan perempuan yang bahkan aku tidak tau namanya siapa. “ lo kuliah?” aku yakin perempuan itu bertanya bukan karena basa-basi tapi karena memang kepo saja.
aku hanya mengganguk, “kalau boleh tau eh gak deh kepo hehe, jurusan sama kampusnya apa?” tanya satu perempuan yang tidak lama datang sebelum adannya pembahasan ini, dia adalah Khanza Riverdos Pramono.
“hukum, Universitas Amerta.”
“loh, kita semua juga dari Amerta. Kok gak pernah ketemu ya, eh tapi kelas lo jauh juga si dan kelas hukum punya kantin sendiri kan ya, kayanya gara-gara itu deh.” Dia bertanya tapi dia juga menjawab.

rey menunjuk salah satu temannya. “zath lo bukannya jurusan hukum juga ya?”
“iyaa nih, kok gue gak pernah liat lo ya?”
“gue juga gak pernah liat lo disemester awal.”
zath terdiam sebentar lalu kembali menjawab pertanyaanku. “gue murid pindahan dan masuk sekitar awal semester 3.” Dia sedikit menjelaskan.
“oh, kalau gue kebetulan ngambil kuliah online dan baru aja masuk sekitar satu minggu yang lalu.”

semakin malam, semakin banyak aku mengenal mereka dari cara pandang mereka, dari siapa yang akan mewarisi dan terjun ke dunia yang sama dengan ayahnya. Mereka semua mempunyai perbedaan yang sangat terlihat sekali dipadanganku, apa karena aku tau marga mereka semua jadi terlalu gampang untuk tau secepat itu.

Tidak lama ponselku berdering, ternyata ada panggilan masuk dari Ayah. “sorry, gue angkat telpon bentar ya.” Aku meminta izin untuk pergi keluar menangkat telpon dari ayah.
“iya angkat aja gpp.”
“angkat disini juga gpp.”

sangat terlihat sekali bukan dua perempuan itu, yang pertama Vena yang kedua Shas perempuan yang tidak memperkenalkan dirinya tadi, aku tau karena rey memanggilnya begitu. Aku menatap tajam ke arahnya dan dia berusaha mengubah pandangannya. Kenapa dia tidak bisa membedakan antara privasi dan umum? Entahlah aku segera berjalan keluar dan menangkat telpon dari ayah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dharmaraja Fam'sWhere stories live. Discover now