Perjodohan Keluarga Atmojo

32 2 0
                                    


Raden Mas Jauhar Kanda Atmojo

Saya harap kamu membaca surat yang saya kirimkan ini.

Hidup saya sedang di pertaruhkan.

Saya tidak ingin menjual kehidupan saya dengan perjodohan antara keluargamu dengan keluarga saya.

Tolong sampaikan permohonan saya kepada keluarga Atmojo yang terhormat, agar menghentikan perjodohan ini.

Raden Ajeng Airizia De Van Houthler.

Bandung, 15 Juni 1973.

"Saya tidak mengerti mengapa gadis itu sangat bersikeras menolak perjodohan ini kang mas?" tanya Jauhar.  Sedikit tersenyum menatap Kang Mas Raka, saudara sebapaknya yang tengah terduduk di  kursi kayu halaman rumahnya. 

"Terima kasih, Bi!" selanya ketika Bi Ningrum, pembantu rumah tangga Jauhar datang menaruh dua cangkir kopi di meja mereka. 

"Saya tidak tahu pasti Har, tapi gadis itu sangat menginginkan perjodohan ini di batalkan," sahut Kang Mas Raka. Ia mengambil secangkir kopi di hadapannya lalu meneguknya perlahan.

Jauhar tersenyum. Ia melipat kembali surat yang di tulis Airizia, perempuan berdarah Sunda yang berkali-kali mengiriminya surat. Jauhar hanya tersenyum berkali-kali setiap kali surat dari gadis itu sampai di tangannya melalui Kang Mas Raka.

Perjodohan mereka memang sudah di sampaikan 5 tahun yang lalu oleh keluarga Atmojo yang sengaja berkunjung kerumah keluarga Airizia di Bandung tempo lalu. Sayangnya, Jauhar saat itu sedang menangani pasien darurat di rumah sakit besar yang ada di Kota Yogyakarta dan Airizia sedang menempuh pendidikan di Belanda. Keduanya sama-sama tidak bertemu kala kedua keluarganya mengikat perjodohan. Namun, saat kabar tersebut sampai di telinga Airizia, gadis berusia 22 tahun yang sedang menempuh pendidikan di Belanda itu tidak tinggal diam.

Jauhar menaruh surat milik Airizia ke dalam kotak besar, tempatnya menaruh semua surat yang Airizia kirimkan setiap bulannya dari lima tahun yang lalu. Sekitar seribu surat yang terhitung berada di dalam kotak tersebut, menjadi tanda jika gadis Bandung itu tidak menginginkan perjodohannya.

"Lagi pula saya tidak pernah menerima perjodohan ini," kata Jauhar, ia tertawa kecil saat memasukan surat tersebut ke dalam kotak.

"Bagaimana dengan pasien rumah sakitmu hari ini?" Pertanyaan yang Kang Mas Raka lontarkan menjadi pengalih perhatian Jauhar. Ia segera menatap wajah Kang Mas Raka saat saudara tertuanya bertanya.

"Semakin hari rumah sakit semakin ramai, saya bisa saja menyerah kapanpun saya sudah tidak sanggup," ucapnya.

"Kamu anak hebat Har," ucap Kang Mas Raka, Jauhar menatapnya penuh.

"Karenanya Alm Bapak mempercayakan rumah sakit keluarga kita kepada kamu dari sekian banyaknya anak beliau." 

"Kang Mas ini selalu melebih-lebihkan segalanya." Perkataan Kang Mas Raka memang seharusnya mendapat selaan spontan dari Jauhar. 

Keluarga Atmojo memang keturunan bangsawan terkaya pada masa itu. Ayahnya Bendara Raden Mas Cahyo Atmojo  merupakan pemilik perusahaan tambang mas dan rumah sakit Sampoerna Atmojo, rumah sakit terbesar di Jakarta dari tahun 1925.  

Jauhar merupakan anak ke tiga dari tujuh bersaudara di keluarga Atmojo. Ibunya seorang putri dari prajurit jepang yang sempat menetap di Tanah Air.  Selama masa hidupnya, Raden Mas Cahyo memiliki tujuh putra dan dua istri.  Nayumi Tanaka, perempuan kelahiran jepang yang di nikahinya merupakan ibu dari Jauhar. Sayangnya, Nayumi meninggal dunia saat melahirkan Jauhar. Semasa kecilnya Jauhar di besarkan oleh Bi Ningrum, pembantu rumah tangga keluarga Nayumi Tanaka yang masih bekerja hingga saat ini.

"Rumah sakit itu milikmu Kang Mas, saya hanya bekerja sebagai dokter bukan pemilik rumah sakit itu. "  Mendengar perkataan adiknya, Kang Mas Raka tertawa terbahak-bahak hingga gelak tawanya terdengar seisi Rumah Tanaka.

"Saya bukan pemilik kekayaan dari ayah, Har. Kalaupun ada anak yang berhak memiliki kekayaan Ayah, itu Mas Satrio," tegasnya. Sebagai anak pertama di keluarga Atmojo, Raden Mas Satrio  memang sudah seharusnya menjadi pewaris sah dari kekayaan Atmojo bersaudara. Hanya saja, Mas Satrio memilih melanjutkan pendidikan profesornya di Kanada. Katanya, ia ingin menjadi seorang dosen Universitas Negeri di Tanah Air, ketimbang menjadi seorang pewaris keluarga Atmojo. Sedangkan putra keduanya, Raden Mas Brama adalah seorang tunarungu.

Dan anak ketiganya, Kang Mas Raka memilih hidup sebagai tentara.

"Akan lebih baik, jika Raden Mas Satrio menjadi pewaris keluarga kita." Kang Mas Raka tersenyum, ia mengangguk pelan.

"Saya pergi dulu. Sepertinya saya sudah di tunggu di kantor dan saya permisi Har," ucapnya. Ia berdiri seraya mengambil topi militernya. Laki-laki itu menemui Jauhar dengan seragam militer. Jauhar tersenyum saat Kang Mas memberi hormat padanya.

"Padahal saya warga biasa," tuturnya. Ia melambaikan tangan saat melihat Kang Mas Raka memasuki mobil dinasnya.

"Jangan lupa untuk pergi menemui gadis itu," ucap Kang Mas Raka yang masih terngiang jelas di telinga Jauhar. 

"Lagi pula perjodohan ini tidak akan pernah terjadi, saya terlalu sibuk dengan orang-orang sakit di rumah sakit, tidak ada waktu untuk mengurusi perjodohan."

"Meskipun saya semakin tua."


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Potret Kang Mas Raka dan Raden Mas Jauhar Tahun 1970

"Meskipun saya bukan terlahir dari ibu yang sama dengan Kang Mas Raka, Raden Mas dan Ananda lain, tapi darah yang mengalir di urat nadi saya adalah darah persaudaraan yang erat dengan mereka. Saya adalah keluarga mereka, saya adalah penanggung jawab dari kehidupan mereka dan saya adalah pihak yang paling di tuntut untuk melindungi mereka. "

Raden Mas Jauhar Kanda Atmojo

JAUHAR 1980Where stories live. Discover now