CDD-7 [HARAPAN BARU]

15.1K 854 1
                                    

"Mas, bisa bicara sebentar?"

Di sejuknya cuaca sore hari, sosok Gus Zidan yang tengah menikmati langit yang hampir senja dari taman pondok pesantren yang berada di sisi lapangan luas yang di gunakan untuk apel pagi, dan kadang beralih fungsi menjadi lapangan olahraga.

Ashilla datang dan mengajaknya berbincang. Entah mengapa sang adik yang biasanya ceriwis, dan jahil itu tiba-tiba datang dengan wajah seriusnya.

Ia menoleh ke kiri, dimana sang adik berdiri di sampingnya. "Ada apa dek?"

Raut wajahnya terlihat penuh khawatir, "Mas ndak mau cerita apa pun ke Shilla?"

Gus Zidan tersenyum gemas, dan mengusap pucuk kepala sang adik yang berbalut hijab instant hijau armi dan cadar yang serupa. "Cerita apa dek? Apa kamu kangen di bacain dongeng?" tanyanya seraya terkekeh melihat Ashilla yang menggerutu sebal.

"Mas. Shilla lagi ndak bercanda lho,"

Gus Zidan menghentikan tawanya, "Inggih, ada apa dek?"

"Perjodohan dengan Ning Khilma. Apakah Mas baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh kehati-hatian, seolah khawatir sang kakak akan terluka karena ucapannya.

Gus Zidan tidak langsung menjawab. Tidak ada yang baik-baik saja dengan hatinya sejak dulu.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti ini dek?"

Ashilla tampak menghela napas. Kedua matanya menatap sang kakak dengan serius, "Mas masih ndak mau jujur?" Ashilla lalu membuang wajah ke arah lain, "Mas, kenapa dari dulu selalu menyimpan segalanya sendirian?" gumamnya.

"Duduk dulu sini," Gus Zidan meraih tangan sang adik, dan membawanya duduk di atas kursi taman di dekat tempat mereka berdiri.

"Kamu mau Mas jujur?" tanyanya lembut.

Ashilla mengangguk, meski wajahnya masih menatap ke arah lain.

Gus Zidan menghela napas, menengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai berubah menjadi semburat jingga. "Mas mencintai orang lain sejak dulu dek," Ya, pada akhirnya ia setuju untuk bercerita kepada sang adik. Ashilla-nya kini sudah dewasa, ia sudah peka akan sekitarnya, termasuk menyadari keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja.

Ashilla menoleh cepat ke arah Gus Zidan yang menatap langit jingga dengan nanar. "Kenapa Mas ndak menolak perjodohan dengan Ning Khilma?"

Gus Zidan tersenyum getir, menolehkan kepala ke arah Ashilla yang duduk menyamping ke arahnya. "Percuma dek. Bagaimana pun, hidup harus tetap berjalan, kan?"

"Mas ... " Ashilla baru pertama kali melihat sang kakak yang terlihat hancur seperti ini, hatinya ikut sesak.

Gus Zidan tersenyum getir, tak lagi menatap langit senja, ia menunduk menatap rumlut hijau di bawah kakinya. "Perempuan itu sudah memiliki suami dek,"

Ashilla diam, menunggu sang kakak melanjutkan ucapannya. Meluapkan semua perasaan yang selama ini di pendamnya. "Apa pantas Mas terus mencintai yang jelas-jelas milik oramg lain?" Gus Zidan menatap Ashilla dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Selama ini, Mas sudah mencoba melupakan. Tapi tetap ndak bisa. Mas tahu, mas akan jadi orang jahat dengan memutuskan menikahi Ning Khilma sebagai pelarian dari perasaan Mas yang salah ini,"

Kakak-beradik itu saling terdiam selama beberapa saat. Sebelum akhirnya sang adik membuka suara, “Mas, apa Shilla mengenal orang itu?”

Lagi, Gus Zidan tersenyum getir seraya menatap langit senja. Menghalau air matanya yang siap jatuh. “Iya. Dek, Mas bingung sekarang. Apa memang perjodohan ini adalah jalan dari Allah agar Mas bisa melupakan perempuan itu?”

Ashilla menatap sang kakak. Jelas sekali, orang yang selalu bersikap tenang tampak sangat gelisah dan sedih. Ia bertanya-tanya dalam hati, tentang
siapa perempuan yang begitu di cintai Mas Zidan-nya itu?

“Mas sudah istikharah?”

Gus Zidan mengangguk. “Sudah. Tapi bukan wajah Ning Khilma yang muncul, melainkan wajah perempuan itu. Mas benar-benar bingung dek,”

Ashilla pun sama bingungnya. Ia lantas menggenggam tangan sang kakak. Mendengar dari mulut Mas Zidan saja sudah membuatnya bingung, apalagi Mas Zidan yang mengalami segala kerumitan itu. Jika memang perempuan itu sudah menikah, mengapa wajah perempuan itu yang muncul di mimpi Mas Zidan? Tidak mungkin Allah memberikan petunjuk tanpa maksud yang jelas.

"Kamu pasti bingung juga kan, dek?"

Ashilla mengangguk. "Jujur Mas, Shilla terkejut dengan perjodohan Mas dan Ning Khilma. Kalau boleh jujur, Shilla awalnya ingin mendekatkan Mas dengan seseorang,"

Gus Zidan tertawa, menatap sang adik dengan jahil, "Owalah, kamu ini dek. Malah mau mencarikam jodoh untuk Mas, padahal kamu saja masih sendiri,"

Ashilla mendengkus sebal mendengar tawa sang kakak yang mulai terdengar. Dalam hati, ia lega karena sang kakak kembali tertawa, meski mungkin luka di hatinya terus menganga. "Shilla serius Mas,"

"Coba, mas mau dengar. Siapa orangnya? Jangan-jangan kamu mau menjodohkan Mas dengan Mbak santri yang kalau kata Gus Malik 'kinyis-kinyis' gitu. Kamu ini ada-ada saja," ia kembali tertawa.

"Bukan Mas. Tapi dengan Mbak Ayana."

Gus Zidan menatap sang adik, keningnya mengerut begitu nama Ayana di seret dalam pembicaraan mereka. Gus Zidan masih terdiam dengan kerutan yang semakin dalam di keningnya. Ia berpikir apakah Ashilla tidak salah berbicara? Ayana sudah menikah!

“Kamu ini bercandanya sudah kelewatan dek. Kamu mau mendekatkan Mas dengan Mbak Ayana? Istighfar dek! Mbak Ayana sudah menikah!” serunya. Kepalanya sudah benar-benar pusing dengan perjodohan dengan orang yang tidak di cintainya, dan sekarang Ashilla malah semakin membuat kepalanya pusing.

"Mas, Shilla ndak bercanda." Ashilla berseru sedikit kesal karena kakaknya sedari tadi terus mengira dirinya tidak serius. Memangnya Ashilla ini pelawak lucu sampai semua perkataannya di anggap bercanda.

Gus Zidan menatap sang adik dengan kening yang mengerut, "Ya Allah dek. Bagaimana bisa kamu menjodohkan Mas dengan perempuan yang sudah bersuami?"

Astaga.

Gus Zidan memijat pelipisnya, Ashilla ini benar-benar tidak masuk akal!

"Mas. Mbak Ayana dan Mas Azka sudah bercerai!"

Gus Zidan menggelengkan kepalanya, "Dek, cukup. Bercandamu kelewatan!" tekannya.

Ashilla menarik pergelangan sang kakak yang hendak pergi. “Mas tunggu!” Ia membuka aplikasi dengan ikon burung terbang mencari nama akun seseorang, dan menunjukkan sebuah postingan akun. Ia menunjukkan foto unggahan Ayana kepada sang kakak.

Disana ada foto pernikahan Ayana bersama sang suami, dan satu foto sebuah surat cerai. Di postingan itu Ayana juga menyertakan ungkapan kekecewaan yang ia rasakan kepada Azka.

"Mbak Ayana sudah bercerai Mas. Sejak ia datang kemari, Mbak Ayana dan Mas Azka sudah tidak lagi bersama," jelasnya seraya memasukkan kembali ponsel miliknya ke kantong gamis yang ia kenakan.

Gus Zidan terkejut. Namun setelah di pikir-pikir jika memang Ayana dan Azka masih bersama, mengapa Ayana memilih tinggal di Asrama para ustadzah, dan meninggalkan suaminya sendirian? Kenapa ia baru kepikiran sekarang?

Benar, selama ini ia hanya fokus untuk melupakan Ayana tanpa mengerti yang sebenarnya terjadi.

Bolehkan sekarang ia mengejarnya?
Bolehkah sekarang ia berjuang secara terang-terangan?

“Ummah, dan Abah tahu?”

Ashilla mengangguk. “Tahu, karena Ummah pernah bertanya mengapa Mbak Ayana datang sendirian tanpa Mas Azka, jadi saya menceritakan semuanya,”

Jadi, hanya dirinya yang tidak tahu mengenai ini?

Tiba-tiba senyum lebar terbit di wajah Gus Zidan yang semula murung, membuat Ashilla mengernyitkan kening. "Mas, orang yang Mas ceritakan itu Mbak Ayana ya?" tebaknya. Tebakannya di benarkan dengan anggukkan dari sang kakak.

Ashilla terkekeh pelan. Ya ampun, jadi kakaknya ini mengira Mbak Ayana masih bersuami, makanya selama ini uring-uringan sendiri?

Astaga ....

CINTA DALAM DIAM [PROSES PENERBITAN] Where stories live. Discover now