15. Takut.

77 9 0
                                    


Pria itu berdiri di depan wastafel. Ia begitu datar menatap pantulan dirinya yang memakai jas hitam berpolet pink elegan. Sebagai laki-laki miskin yang dididik secara tradisional, Hasan hanya ingin menikah dengan wanita yang levelnya sama. Ia tak mau menikah dengan wanita dari keturunan berada, apalagi kaya raya seperti istrinya sekarang. Semua orang menganggap ia numpang.

"Iraha, nya, bisa cerai ejeung non?" batin Hasan menyugar rambut.

(Kapan, ya, bisa cerai sama non?)

"Maenya we teu cerai? Bingung oge!"

(Masa iya ga cerai? Bingung juga!)

Hasan merapikan jasnya sebelum ia keluar dari toilet. Sebelum ia melewati pintu, wanita cantik bertubuh langsing dan pendek menghadang berani. Seperti biasa, ia diberi tatapan tajam menusuk.

"Maksud lo apa? Haa?! Mau bikin gue malu?" desak Flori menggebrak pintu yang terbuka.

Hasan tak mundur, tak juga memasang wajah yang bisa dikasihani. Baginya, ini adalah tugas langsung dari sang tuan.

"Tamu-tamu nunggu." Hasan tak menyeramkan, tak juga menyedihkan. Sesabar mungkin ia tanggapi sang nona.

"Lo tahu, ga? Haa? Gue tu benciii banget sama lo!" bengis Flori tak meninggikan volume suara.

"Lo bikin gue putus sama Angelo. Lu bikin Angelo ditembak, lo dari dulu selalu lapor-lapor gue ama Angelo ke baba!"

"Ouuuh. Haha. Dan sekarang lo berhasil nikah sama gue. Itu? Itu tujuan lo?" imbuh Flori berkacak pinggang bersama kekehan sinis nan mengintimidasi.

Tangan besar itu menangkup bahu dang mendorong sang empunya agar mundur dan berputar. Mereka harus kembali ke ruangan. Sesuai dugaan, sang empunya menolak. Kini pukulan kasar yang Hasan terima di kedua tangan.

Flori marah. Ia dorong dua tangan besar itu, ia pukul kuat. Ia tak suka diperintah, apalagi oleh Hasan, seorang ajudan, pesuruh, babu.

"Kita harus sambut tamu, non."

"Ga usah pegang-pegang gue! Lu tu cuma babu! Gua majikan lo! Lo tu cuma anjing yang bisa makan kalo dikasih sama majikannya!" geram Flori menunjuk wajah tampan suaminya. Suaminya? Tidak, baginya Hasan tetap seorang ajudan.

"Denger! Sampai kapan pun gua ga rela nikah sama lo!"

"Cowok miskin, matre, ga tahu diri!" cerca Flori menatap nyalang seolah ingin memakan Hasan hidup-hidup.

"Balik, non!" tegas Hasan tanpa ba-bi-bu memutar tubuh Flori dan setengah mendorongnya agar menginjak lorong. Flori sempat limbung, namun ia lihai mengendalikan.

"Aaakh!"

"Eergh! Lepasin guee! Tangan lo kasar! Jijik!"

Hasan terperanjat mendapati Asih berdiri di ujung lorong. Tubuhnya tegap dan mematung. Entah, ia tak tahu harus apa.

Wajah Flori yang membengis geram sontak mendongak pada Hasan yang entah kenapa diam. Lama ia menelisik Hasan yang membeku menatap pada satu titik, perlahan ia menatap ke arah tersebut.

Asih berdiri dengan kondisi yang renta dan lemas. Jika tanpa riasan, semua orang bisa lihat betapa pucatnya wajah itu. Sayang sekali kedipan mata tak bisa bohong.

"Ekhem! Ada apa ibu Asih ke sini? Ibu Asih nguping?" ucap Flori tak merasa tertangkap basah.

"Ini, anak ibu Asih, Hasan, dia cowok bajingan." Flori terus menatap angkuh pada Asih. Tangannya menunjuk wajah Hasan yang jauh lebih tinggi.

"Maafin anak saya, non."

"Jangan bertengkar seperti itu. Kalian harus sama-sama dewasa, apalagi kalian sudah menikah." Asih tak bisa menghilangkan logat Sunda-nya. Ia begitu rendah hati dan sabar.

The Beautiful Devil is My Lady [TAMAT]Where stories live. Discover now