3. Meledak Juga

692 117 44
                                    

Hema melangkah terburu-buru di lorong rumah sakit, menuju satu ruang rawat inap di mana Mahesa berada. Di tengah meeting bersama pihak penerbitan, Hema mendapat telepon dari Nata—sahabat Hema, sekaligus guru Mahesa. Nata bilang Mahesa terlibat perkelahian hebat dan harus ditangani tenaga medis. Dalam perjalanannya, Hema sudah memberitahu Thalia dan perempuan itu mengatakan akan segera datang.

Sesampainya di depan ruang rawat inap, Hema disambut Nata yang sedang bertelepon ria entah dengan siapa. Hema minta Nata menjelaskan kronologi kejadian, sedetail-detailnya, dan tak lama setelahnya Nata pamitan.

Sesaat, tangan Hema bergeming di pegangan pintu, ada helaan napas panjang terembus. Ia membuka pintu perlahan, lalu terlihatlah Mahesa dan keadaan memprihatinkannya; perban membebat kepala, luka lebam tampak jelas di wajah dan lengan—benar kata Nata, anak ini habis mati-matian bela harga diri seseorang. Melihat Mahesa, Hema selalu merasa bahwa anak itu benar-benar cerminan dirinya di masa muda. Kenaifan dan beraninya sama.

"Pa?" Mahesa yang duduk bersandar pada kepala ranjang ulas senyum tipis begitu mendapati presensi sang ayah. Remaja lelaki itu meringis saat Hema menepuk pelan bahunya. "Maaf, Pa."

"Kenapa minta maaf?"

"Esa gagal ngontrol emosi."

"Yang penting nyawa gak lepas."

"Hampir, sih."

"Tapi itu kepala gak pecah, 'kan?"

"Aku mati dong kalau sampe pecah." Mahesa terkekeh, tetapi sejurus kemudian meringis lantaran luka pada sudut bibirnya tertarik dan terasa ngilu. "Aku beneran minta maaf, Pa. Soalnya dia ngotot mau tau Manda di mana, jadi aku tonjok aja. Dia bilang mau tanggung jawab, tapi emang bentuk tanggung jawabnya gimana? Mau nikahin Manda? Mana sudi Manda nikah sama orang yang hancurin masa depannya. Gila dia, Pa."

Hema lagi-lagi tersenyum. Ketimbang dengan Thalia yang adalah mamanya, Mahesa memang cenderung lebih dekat dengan Hema. Bagaimana cara ayah Hema membesarkan Hema, ia tiru itu dalam membesarkan Mahesa. Ia membebaskan Mahesa melakukan apa pun yang disuka. Namun, selalu memberitahu konsekuensi dari setiap keputusan yang mau Mahesa ambil. Hema menghargai setiap keputusan sang putra, mendengar dan anggap penting pendapatnya. Hema harap Mahesa tumbuh jadi pribadi yang percaya diri seperti dirinya, dulu.

"Bilang aja, Sa," kata Hema yang tahu Mahesa sedang ragu untuk ungkapkan sesuatu. "Lima menit nggak ngomong, Papa bakal balik nih," canda lelaki itu.

"Jelek banget ngancemnya," cibir Mahesa, tetapi buru-buru ia lepas tanya serius yang sejak lama bikin penasaran, "Kenapa Papa enggak protes apa-apa pas Esa bilang mau tanggung jawab soal Manda? Esa bahkan tau kalau keputusan itu gegabah dan kekanak-kanakan banget, tapi kenapa Papa enggak protes dan malah ikut bantuin aku ngurusin dia?"

"Karena Papa pernah ada di posisi kamu. Posisi yang persis. Papa kenal seseorang kayak Manda, dan kalau kamu beneran sayang sama dia, ya stay di sisi dia, Sa. Jangan kejauhan mikirin tanggung jawab dalam bentuk menikahi, soalnya kamu nikahin dia pun emang udah mampu ngasih makan? Gak perlu sejauh itu. Untuk sekarang kamu cuma harus mendampingi dia, pelan-pelan kasih dia pengertian kalau dia gak sendiri. Kamu ada di sana kalau dia butuh."

"Terus sekarang Manda-nya Papa apa kabar? Dia hidup dengan baik, 'kan?"

Hema mengangguk, tetapi sekilas, kegetiran tampak di matanya. "Dia hidup dengan baik dan bahagia."

"Esa harap Manda-nya Esa bisa kayak Manda-nya Papa. Bisa pulih kayak dulu. Rasanya remuk banget lihat dia kehilangan tawa. Sakit banget karena dia pernah bilang gak mau hidup lagi."

Tahu, Hema tahu betul bagaimana rasanya melihat perempuan yang dicinta putus asa. Bagaimana perih hati lantaran tak kuasa melakukan apa-apa. Dada Hema bahkan masih berdenyut sakit tiap kali mengingat raut muram sang kekasih di masa lalu saat mengatakan, "Mau nyerah, Hem. Aku mau mati aja. Gak mau hidup lagi."

[✓] Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang