16. Hasan sabar.

76 8 0
                                    

Ibu dari Flori membawa baju tidur di tangan. Ia simpan baju itu di sisa ruang kosong di kasur anaknya. Flori masih tak sadarkan diri, bahkan sekarang tubuhnya diselimuti karena mulai menggigil. Kening Florenzia sudah titempeli alat peredaran panas bermotif bunga-bunga.

Raffi tampak tak sabar menyaksikan Hasan yang tak kunjung berhenti mencabut pecahan kaca dari telapak kaki itu. Saat ia tanya apakah masih lama, Hasan menjawab yakin kalau ini tinggal sebentar lagi.

Hasan memakai kaca pembesar tuk memeriksa lebih jeli. Sepertinya sudah tak ada lagi pecahan kaca. Ia pun merapikan peralatan pada tempat yang seharusnya untuk dicuci.

"I-ini kompresnya," ucap Asih tergopoh lemas memasuki kamar dengan nampan berisi baskom dan handuk kecil.

"Maak? Euu... sini Hasan bantu." Hasan bergegas membantu sang ibu. Ada raut cemas dan sedih di wajahnya. Ibunya sudah renta.

"Sudah dikompres, bu, pakai ini." Karina buka suara. Ia duduk menyandar pada ranjang sembari membelai kepala Flori.

"O-oohh... it-itu kompres modern yang di iklan, yaa?" timpal Asih sangat malu-malu dan hati-hati berucap.

"Iya, bu, betul."

"Bu Asih repot-repot ke sini malem-malem. Ini jam satu, lho." Karina menatap cemas. Usia Asih cocok jadi usia ibunya.

"Ya ampun, neng, ga papaa." Asih menggeleng.

Baru saja Hasan diam sebentar, pekerjaan sudah diambil alih oleh mertuanya. Kini mertuanya lah yang membalut kasa di kedua kaki Florenzia yang sudah diberi obat merah dan dibersihkan.

Karina menunjuk Hasan, lalu menunjuk kursi. Dengan sigap Hasan menuntun ibunya ke kejauhan di mana terdapat sofa mengelilingi meja dan karpet. Ia suruh ibunya beristirahat. Satu pelayan membawa teh hangat untuk ibunya. Itu perintah dari Karina.

"Kalian berantem apa sampe gini?" tanya Raffi memasang plester. Raut wajahnya begitu dingin menakutkan.

"Saya pulang beda mobil, tuan. Non juga langsung ke kamar, saya ke mushola. Saat saya mau hantar kado-kado itu, non ga buka pintu kamar terus. Lalu, saya lihat darah keluar pintu. Di sana saya baru tahu." Hasan berlutut di depan ibunya. Ia beri pijatan di betis dan paha ibunya yang sudah tua renta ini.

"T-tuan boleh cek CCTV."

"Ck! Bikin onar terus! Apa ga capek?!" ucap Raffi menggerutu sembari membersihkan tangan lewat air hangat yang dikucurkan dari teko oleh pelayan.

Asih hanya bisa diam tanpa berani buka suara. Ia takut pada majikan anaknya.

"Ssuut. Maass.... udah, laah..." ucap Karina memelas. Ia mendekap kepala anaknya dengan tanpa tenaga.

"Hufft..." 

Flori yang sedari tadi tidur tak tenang pun kini mulai nyenyak. Kini aksesori di tubuhnya mulai dicopot satu per satu. Saat ibunya menelisik baju yang dipakainya ini tuk mencari celah, ayahnya memerintah sang ibu untuk berhenti.

"Beb, ga usah diganti sama kamu. Biar suaminya yang ganti." Raffi memerintah.

Kalimat yang Hasan dengar berhasil membuatnya terkesiap dan terperangan sekaligus. Padahal bisa dilakukan oleh pelayan dan biasanya memang begitu.

"Tapi, m—."

"Jam lima pagi kita harus ke US lihat si bungsu debat depan banyak menteri-menteri dunia," ucap Raffi mengingatkan istrinya sembari berdiri membuka dua kancing kemejanya yang paling atas.

Hasan tak bisa berbuat apapun selain patuh pada perintah majikannya. Yang menggajinya adalah Raffi. Raffi sudah banyak memberi peluang sukses untuk dirinya.

The Beautiful Devil is My Lady [TAMAT]Where stories live. Discover now