18. Pelukan hangat

106 6 0
                                    

Kegiatan sehari-hari Flori dan Hasan saat berada di kamar adalah melakukan aktifitas masing-masing. Zona Florenzia adalah di area di mana ranjang berada, sedangkan Hasan di sofa-sofa yang melingkar yang akan Flori lewati saat akan ke kamar mandi.

Baik Hasan ataupun Flori, keduanya sibuk dengan laptop masing-masing. Hasan sedang mendesain gedung besar di laptopnya dengan berbagai macam hitungan secara matematis. Sementara itu, Flori sibuk memeriksa laporan keuangan perusahaannya yang lebih dari sepuluh. Ya, itu membuatnya menjadi salah satu anak konglomerat yang disegani.

Wajah Hasan sangat dekat sekali dengan layar laptop. Perlahan ia tarik kedua tangannya dari kerboard laptop seiring menelisik ilustrasi gedung yang bergerak dan berputar otomatis. Entah kenapa ia ingin sekali mencari tahu kondisi sang nona.

"Ga usah natap-natap gue!" ketus wanita dalam balutan sweater oversize menyemprot kacamata dan mengelapnya.

Jarak Hasan dan Florenzia mencapai delapan meter. Butuh volume lebih agar suara mereka saat bicara bisa terdengar satu sama lain.

Hasan kesulitan menegak ludah. Ia tertangkap basah.

"Saya besok ke Surabaya, non."

"Bodoamat." Florenzia terkekeh sinis seolah ucapan Hasan benar-benar tak berbobot.

"Saya mau bahas sesuatu, non."

Entah kenapa Flori spontan mendorong laptop yang ia simpan di meja portable yang bisa disimpan di kasur.

"Ini serius." Hasan membenarkan duduk menjadi menghadap pada sang nona yang ada di kejauhan. Tadi posisi mereka sama-sama menghadap ke depan.

"Saya di sini bicara sebagai laki-laki, pria, bukan pengawal ataupun ajudan."

"To the point!" ketus Flori setengah melempar kacamata pada meja.

"Saya bakal lakuin kewajiban saya sebagai suami. Non tidak perlu bertanya-tanya dan kebingungan lagi nanti. Ini komitmen saya terhadap diri saya sendiri."

"Meskipun penghasilan saya sedikit, semua untuk non. Adapun saya ingin membiayai ibu dan adik saya, itu harus atas dasar izin non," lanjut Hasan begitu tegas menatap.

"Karena lo mau harta keluarga gu-."

"Tolong berhenti bicara seperti itu di depan ibu saya. Non boleh sepuasnya hina saya, tapi tidak pada ibu dan adik-adik saya. Wallahi, mereka tidak tahu apa-apa." Hasan memperingati tanpa menaikkan volume suara, ataupun berubah dingin. Tapi, ketegasannya tetap mendominasi.

"Ada yang harus diluruskan di sini."

"Ga, ga ada! Lu cuman harus ngerti kalo gue benci banget sama lo! Lo dari dulu selalu hancurin hari gue, bikin masalah sama gue, bahkan sampe bikin hubungan gue hancur!" tukas Flori begitu kukuh menjelaskan tanpa mau ada yang memotong ucapannya.

"Ada, ada yang harus saya luruskan!" tegas Hasan sama tak mau ia diabaikan.

"Apa? Haa?"

"Di malam itu, saya bawa non ke hotel dalam kondisi meracau lemas tidak jelas. Saat di kamar, tiba-tiba non kepanasan, saya ga tahu kenapa." Hasan sedikit mengernyit kala mengingat-ingat kejadian malam itu yang bahkan sulit ia percaya.

"Berarti bener, gue dikasih perangsang sama si brengsek." Flori membatin.

"Saya hantar non ke kamar mandi, saya kasih air. Tiba-tiba non buka semua baju non," ucap Hasan tanpa sedikitpun bermaksud cabul ataupun menelanjangi Florenzia sekarang.

Flori menatap siaga kala melihat Hasan kesulitan menegak ludah. Entah kenapa sekujur tubuhnya ini terasa merinding.

"Non buka baju, telanjang. Non paksa-paksa saya."

The Beautiful Devil is My Lady [TAMAT]Where stories live. Discover now