4. Caranya

5.2K 290 8
                                    

Mobil itu melaju menuju butik indah di salah satu jalan utama di mana Ina dan Nara mengabiskan banyak waktu.

"Kontrak model habis, Nar," ucap Ina yang masih memegang kendali pada mobilnya.

Mendengar pernyataan itu lantas Nara memandang Ina, berfikir kenapa wanita ini melaporkan sesuatu yang tidak perlu Nara tahu dan tentu saja bukan ranah Nara untuk membantu.

"Ketauan nih gue?"

Perhitungan Nara tepat, pasti ada sesuatu yang diinginkan Ina darinya.

Kekehan Ina mengakhiri perjalan mereka. "Jadi model buat bulan depan dong, sekali aja," pinta wanita cantik yang kini rambutnya dikuncir rapih. Genggaman tangan yang erat membuat Nara tidak beranjak dari kursi penumpang.

"Kalau gue jadi modelnya yang make up-in siapa?"

"Make up sendiri."

"Nggak modal, anjir," balas Nara yang kini balik menggenggam tangan boss-nya tersebut.

"Ya?" bujuk Ina dengan sungguh, "ada baju yang baru gue design dan bakal cocok sama lo, gue pengen banget lo yang pakai, ya? Please?"

Nara tidak bisa menolak wanita yang memohon kepadanya dengan binar mata penuh harapan, terlebih lagi Nara sadar Ina adalah pemilik butik tempat ia bekerja, namun dibading perasaan itu, rasa syukur dan sayang Nara kepada Ina jauh lebih besar.

Setelah anggukan kepala yang diterima, kini sang wanita pergi meninggalkan Nara di dalam mobil dengan senyum bahagianya.

Pemikiran yang melayang kebelakang menjawab pertanyaan mengapa Ina Adiyaksa begitu spesial, mengapa rasa sayang Gama tidak ada habisnya untuk kekasihnya itu, wanita dengan banyak pesona yang Nara temui, wanita itu juga yang bantu menarik dirinya keluar dari lingkaran kesakitan.

"Tungguin, Kak," panggil Nara yang berlari kecil mengejar Ina di depannya. "Nanti pulang mau gue traktir, nggak?" Senyum manis itu tercipta. "Yang mahal nggak apa-apa," tutupnya.

Kebahagiaan Ina semakin tidak terbendung hingga cubitan pipi untuk Nara diberikannya. Bersyukur bukan hanya milik Nara tetapi Ina pun merasakan hal yang sama, seperti memiliki adik, hidup menjadi anak tunggal membuatnya sedikit kesepian, dengan hadirnya Nara ia bisa mewarnai harinya, menjadikan Nara tempat cerita juga membagi bebannya di dunia fashion yang ia geluti, terlebih Nara juga selalu menjadi penengah antara dirinya dan Gama.

...

Sibuk yang hampir membuat lupa bahwa pagi tadi Nara telah bertemu dengan masa lalu yang dengan susah payah ia hindari, terbiasa berpura-pura menyibukkan diri sampai saat ini Nara mencari kegiatan seperti membaca banyaknya referensi dan ide dari artikel di halaman komputernya.

Lembaran design yang gagal membuatnya sedikit frustasi.

Tangannya mengambil ponsel yang tergeletak di meja kerja, menekan nomer yang akan ia hubungi.

Makian yang terdengar dari Nara membuat pria di ujung panggilan tertawa, rasanya ingin meledek langsung di hadapan si narator, mengucapkan kembali kata pamungkas yang pernah rertutur dari mulut dusta seorang Naraya Adisthi.

"Udah marahnya?" tanya pria di ujung panggilan.

"Belum!"

"Ya udah lanjut, gue dengerin."

Nara melanjutkan susunan kalimatnya, tentang rasa terkejut bahwa pagi tadi ia telah bertemu Arjuna dan menyebabkan pekerjaannya tidak berjalan lancar hingga siang ini, tentang Arjuna yang tinggal di sebelah kamarnya terlebih lagi tentang bahasa formal yang dipakai membuat wanita berambut panjang ini kesal dan merasa kasihan.

fine line [END]Where stories live. Discover now