4. Terlambat?

656 109 35
                                    

Pada akhirnya Hema kalah oleh rasa tidak percaya diri. Seumur-umur ia dan Thalia bersama, baru sekarang ia tahan berlama-lama tidak berbicara dengan perempuannya. Akan tetapi Thalia akan selalu jadi Thalia yang berusaha memulai obrolan demi mencairkan kebekuan suasana di antara mereka. Thalia punya seribu cara meluluhkan Hema, sayangnya kali ini Hema tak memberikan celah hangat tangan Thalia mendekapnya. Hema mencipta sedikit jarak, kini lebih senang bertemankan sepi ketimbang duduk berdua dengan Thalia yang padahal adalah kegiatan favoritnya.

Sejenak, Hema butuh sejenak pergi dari segala sumber luka yang kikis kepercayaan dirinya. Hema perlu menata kembali percaya pada diri sendiri yang compang-camping. Ia mau jeda untuk merawat laranya.

"Ternyata cinta bisa berubah rasa ya, Hem. Dari yang awalnya menggebu, bisa jadi lebih calm dan kemudian yang tersisa hanyalah komitmen aja." Suara Reyhan menyeruak di antara gaduhnya hujan yang mulai mereda.

Malam itu, ditemani tiga gelas kopi dan sekotak martabak manis, Hema berbagi cerita perihal prahara yang menimpa pernikahannya, kepada dua sahabat karibnya sejak kecil; Reyhan dan Nata. Di gazebo yang terletak di halaman belakang rumah Reyhan, tempat nongkrong sejak mereka masih bocah ingusan, Hema luapkan segala resah yang berkecamuk dalam dada.

"Tapi kamu kuat banget sih ngadepin keluarga Thalia yang astaghfirullah, ngusap dada aku tiap denger kamu cerita gimana tajem mulut mereka. Padahal penghasilan kamu enggak kecil. Thalia masih bisa hidup enak meski cuma ngandelin gaji kamu. Tapi ya gitu, kerjaan kamu di mata mereka enggak prestisius. Ya udah mulai besok pake setelan jas aja kalau ke studio biar kayak orang kantoran gitu, Lur."

"Kata aing mah maneh mending diem, banyak cocot doang, tapi gak solutif." Reyhan mendengkus keras sembari melayangkan tatapan datar pada Nata yang cengar-cengir di sebelah Hema.

"Salah mulu, heran," gumam Nata dan memilih diam, mending dia ngemil martabak. Soalnya walaupun memberi pendapat, selalu salah di mata Reyhan.

Hema mengabaikan Reyhan dan Nata yang saling mencibir, pemandangan langit malam yang menangis lebih bisa menyita fokusnya. Ini bukan kali pertama Hema curhat pasal kelakuan arogan keluarga Thalia, tetapi menjadi yang pertama Hema merasa bahwa sekalipun sudah bercerita, beban di bahunya tidak terangkat. Ia tidak lega. Kehampaan justru kian pekat selimuti hati, meniup sisa-sisa asa yang susah payah Hema jaga agar tetap menyala.

Lelaki itu galau berat.

"Ke Thalia," Ujungnya Nata ngomong lagi, "masih cinta?—maksudnya," Ia gelagapan saat Reyhan mendelik ke arahnya, "Kamu sama Thalia biasanya akur-akur aja nggak peduli seberisik apa keluarga dia ngomongin kamu, tapi sekarang kayaknya down banget."

Hema menurunkan pandangan, ganti menatap pagar besi di depan sana. Ia bentangkan senyap selagi kepalanya menyusun kata. "Enggak ada yang berubah. Perasaan aku ke Thalia gak pernah berubah, tapi sekarang aku gak sanggup buat mengesampingkan ego. Aku berhenti memaklumi, berhenti menyugesti diri tentang yang mereka bilang bukan apa-apa. Ini apa-apa banget. Ini nyakitin banget. Capek, Lur." Hema bawa tatapannya pada Reyhan dan Nata, terkekeh kosong.

"Tapi gak akan nyerah, 'kan?"

Lama, lamat-lamat Hema menatap Nata yang barusan bertanya. "Ada banyak hal yang worth it sih buat dipertahanin. Cuma lagi eror aja mungkin makanya sempat mikir untuk nyerah. Tapi dipikir-pikir lagi, aku gak akan nemu yang sebaik dia. Yang cintanya segede dia. Thalia ini sempurna, cuma satu kurangnya—"

"Keluarganya," sela Nata sambil mengangguk-angguk mengerti.

"Bukan aku yang ngomong," canda Hema, direspons tawa oleh Reyhan dan Nata. Namun, sejurus kemudian Hema kembali tunjukkan keseriusan di tatapannya. "Banyak yang percaya aku bisa jagain Thalia. Banyak yang berkorban biar kami bisa sama-sama, rasanya egois banget kalau nyerah cuma karena ngerasa enggak pede."

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now