Bab I: Ashura.

33 4 0
                                    


Tinggi matahari telah melebihi dua galah. Ketenangan pagi telah bungkam oleh kericuhan yang tak terduga. Banyak penyihir menggiring orang-orang lemah tak berkekuatan ke suatu tempat. Sebagian dari mereka mencoba kabur dari giringan para penyihir dengan alat sihir dan transportasinya. Kebanyakan orang akan dilanda dilema setelah melihat ekspresi para penyihir itu. Di satu sisi, para penyihir itu memaksa mereka. Namun ekspresi bersalah, terpaksa, dan perasaan kasihan tidak dapat disembunyikan dari wajah-wajah mereka.

Di tengah-tengah kericuhan yang semakin menjadi, seorang anak kecil berumur lima tahun yang berada dalam gendongan orang tuanya bertanya kepada mereka.

"Ayah, Ibu, apa yang terjadi. Mengapa banyak orang yang berlarian? Mengapa para penyihir itu menggiring mereka?"

Orang tua anak kecil itu saling bertatapan. Mereka tidak tahu harus menjawab apa. Pemandangan dari balik jendela rumah yang riuh semakin menakutkan. Mereka hanya bisa berdiam diri di dalam rumah dan menunggu apa yang terjadi.

"Maaf Ashura, sebentar lagi keriuhan ini akan berakhir. Tolong tenanglah." Ibunya menenangkannya.

"Tidak perlu meyembunyikan fakta yang telah terpampang jelas Davke. Cepat atau lambat kita akan mengikuti Tradisi Mazzal itu." Tegas Tamzi, sang Ayah.

"Tolong jaga perkataanmu di depan anak kita sayang, aku berusaha untuk menenangkannya. Tolong jangan buat dia ketakutan."

"Aku tidak bermaksud untuk menakutinya. Ingin berbohong bagaimanapun, kejadian ini telah nampak jelas di depan mata. Cepat atau lambat kita akan mengikutinya."

Sang ibu terdiam segera. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Sang anak yang tak tahu apa-apa melihat kedua orang tuanya secara bergantian.

"Ayah, Ibu, apakah kita akan baik-baik saja. Aku merasa sangat takut."

"Ayah tidak tahu. Aku tahu kau masih kecil dan belum memahami apa itu kehidupan. Tapi ingatlah," sang ayah menatap anaknya sebelum melanjutkan "bahwa dunia ini tidak dapat mewujudkan setiap keinginan kita."

Ashura hanya menatap sang ayah. Dia tidak memahami apa yang ayahnya katakan. Ibunya hanya terdiam, tidak mengatakan apapaun.

"Setidaknya kita masih dapat menunggu disini. Sebelum mereka memaksa kita untuk mengikuti Tradisi Mazzal. Semoga kita masih bisa bersama Ashura." Ujar ayah Ashura dengan senyuman di wajahnya.

--##--

Waktu telah berlalu beberapa jam lamanya. Ashura dan keluarga masih berada di dalam rumah. Keriuhan di luar rumahnya sudah tidak terdengar lagi.

"Di luar sangat sepi. Apakah penguasa kita telah mendapatkan cukup penyihir baru? Aku penasaran sudah berapa banyak korban dari tradisi ini sekarang." Ujar ibu Ashura menaggapi perubahan kondisi di sekitar rumahnya.

"Semoga yang kau katakan benar. Aku tidak tahu sudah berapa banyak gelombang manusia yang telah digiring dalam gunung itu. Jika jumlah penyihir yang mereka butuhkan belum cukup, maka kemungkinan besar kita akan menjadi korban berikutnya dari tradisi itu." Balas ayah Ashura.

Ibu Ashura terdiam sejenak. Dia sedang merangkai kata-kata dalam pikirannya. Ashura telah tertidur pulas dalam pangkuannya.

"Kau tidak berniat untuk melarikan diri dari kekejaman tradisi ini sayang? Memang ada kemungkinan bagi kita untuk selamat dan mendapatkan kekuatan. Tapi aku khawatir tidak bisa melihat Ashura tumbuh besar." Ibu Ashura mengungkapkan kekhawatirannya sambil mengelus kepala putranya yang tertidur pulas di pangkuannya.

Arete Magica: Story of AshuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang