Hujan

144 23 2
                                    

Danielle berlari kecil menghindari tetesan air hujan yang kian deras. Rok sekolahnya berayun ke kiri dan kanan mengikuti langkah kakinya yang semakin cepat.

Wajahnya benar-benar panik saat tahu bahwa mungkin buku-buku didalam tasnya akan basah, melunturkan tulisan dari tinta pena didalamnya.

Hingga akhirnya dia mendapatkan tempat berteduh yang layak. Tepatnya didepan sebuah toko baju yang sudah tutup.

Hembusan kabut tipis keluar dari sela bibirnya, merasa kedinginan karena hujan berhasil membuat seragamnya basah kuyup.

Sore hari ini ditutup dengan hujan lebat yang sepertinya tidak akan berhenti sesegera mungkin. Padahal jika tahu dari awal bahwa akan turun hujan, pasti tadi dari rumah dia sudah sedia payung atau tenda hajatan.

Kacamata yang dipakai pun sudah tidak enak untuk dipakai lagi, karena embun dari napas dan percikan air hujan.

Lampu dari toko-toko sebagian sudah dinyalakan, tandanya hari sudah semakin sore. Jujur saja Danielle juga benar-benar kedinginan, terlihat dari giginya yang bergemeletuk dan bibirnya yang mulai memucat.

Cengkraman di tas punggungnya semakin mengerat, berharap dengan memeluk tasnya tersebut bisa menghangatkan tubuh.

Hingga tiba-tiba sebuah jaket levis kucel terulur dihadapan wajahnya, membuat Danielle terkejut bukan main.

Tatapannya menelusuri lengan kurus nan panjang milik seorang bertubuh tinggi disebelahnya.

Pandanganya kabur karena kacamata yang digunakan. Tak lupa mengelapnya dengan ujung kemeja sebelum memakainya kembali.

Sekarang terlihat jelas siapa orang yang kini tengah berdiri tepat disebelahnya.

Itu adalah Jang Wonyoung, seorang diva sekolah yang sangat ia benci.

Danielle menaikan sebelah bibir kanannya, tidak lupa berdecak jijik dan bergeser menjauh dari manusia tinggi tersebut.

"Pake ini." Ucap Wonyoung datar, masih mengulurkan jaket.

Namun Danielle tidak memperdulikannya, mengalihkan perhatian kearah lain seolah tidak ada orang lain disebelahnya.

"Pake ini, nanti mati kena hepotermia mau?" Sambungnya sekali lagi, kali ini dengan ancaman.

Selain karena bibir Danielle yang sudah memucat, kemeja putih basah yang dikenakan pun terlihat transparan.

Wonyoung memutar bola matanya malas, berjalan mendekati Danielle memakaikan jaketnya ditubuh gadis tersebut.

Ia tersentak kembali, hendak memakai Wonyoung. Namun di urungkannya karena jarak dari tubuh mereka kini benar-benar dekat.

"Bh kamu keliatan, gak malu apa?"

Mendengar penuturan lugas Wonyoung, membuat wajah Danielle memerah. Apa sedari tadi ia tidak sadar? Jangan-jangan orang-orang yang ia jumpai dijalan tadi sudah melihatnya, waduh bahaya sekali.

Setelah berhasil memasangkan jaketnya, Wonyoung kembali ke tempatnya berdiri tadi. Tidak terlalu memperdulikan Danielle yang masih menunduk malu.

Jika boleh jujur wangi jaket Wonyoung seperti strawberry, meskipun tampilannya buluk namun bahan didalamnya lembut. Ini pasti jaket mahal ya icha? Monolognya.

Keduanya kini hanya berdiri diam.

Wonyoung menggaruk sisi kepala yang tidak gatal, sedikit melirik Danielle yang masih setia menatap bulir-bulir air hujan. Lama kelamaan jenuh juga.

"Harusnya tadi aku pinjem payung pelangi nya akang cilok aja." Ujarnya tiba-tiba.

Tanpa disadari Danielle semakin mendekat kearah Wonyoung, berusaha mendengar ucapan yang tertelan kebisingan air hujan.

"Ngomong apa barusan?"

"Ngomong apa emang?"

"Barusan ngomong apa? Coba ulang."

Wonyoung tiba-tiba menaruh tangannya dibahu Danielle, menarik gadis yang lebih pendek darinya tersebut hingga sisi tubuh mereka berdempetan.

Dia membungkuk sedikit dan mulai berbisik.

"Pinjem dulu seratus."

Danielle menyikut pinggang manusia galah disisinya, sedikit merinding juga karena bisikan tersebut. Kembali menjauhkan tubuhnya dari Wonyoung yang tengah tertawa geli.

"Ngapain neduh? Bukannya punya mobil yang harganya kayak hutang negara itu kan?" Teriak Danielle dengan ketus.

"Emang gak boleh neduh?"

"Ya buat apa neduh, balik pake mobil juga gak bakal keujanan"

"Bensinnya abis."

"Mobil doang mahal, tapi tangki bensinnya berdebu." Danielle membenarkan kacamatanya, berusaha mempertahankan wajah judesnya.

Wonyoung sedikit terkekeh.

"Kayaknya ujan gak bakal reda deh."

"Tau dari mana? Jangan sok tau deh."

"Dari BMKG."

"Percaya banget kamu sama mereka? BMKG bukan Tuhan."

"Siapa juga yang bilang mereka Tuhan?"

Danielle berbalik, kini keduanya saling berhadapan dengan tatapan sengit.

Memang seperti inilah jika mereka bersama, memperdebatkan hal sepele yang menurut mereka benar-benar penting. Menjadikan salah satu alasan mengapa Danielle sangat membenci Wonyoung.

"Mereka yang cuman ciptaan Tuhan aja suka boong, apa gak malu sama yang ngeciptainnya?"

Terlihat perubahan drastis dari raut wajah Wonyoung, mulai mengetahui arah pembicaraan Danielle.

Sebelum perdebatan semakin panjang, sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti dihadapan mereka.

"Ayo pulang." Wonyoung berkata dengan suara lembutnya, namun Danielle masih menancapkan kakinya ditanah.

"Kalo diem disini terus pasti pulangnya besok."

"Gak mau."

"Dani, ini masih hujan deres."

"Aku bisa pulang hujan-hujanan."

"Ngaco, entar masuk angin muntah-muntah potongan wortel kayak waktu itu." Dengan sedikit paksaan Wonyoung menarik paksa Danielle, menerobos lebatnya hujan untuk memasuki mobil.






_

10,000 Hours [wonelle]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang