5

7.2K 486 51
                                    

Sudah hampir dua minggu Harry dikurung di dalam kamar putih ini, tidak boleh keluar sama sekali. Hari-hari Harry dilalui dengan menatap ke luar dari jendela lantai dua ke pekarangan rumah Draco.

Harry sudah merasa begitu muak dan frustrasi karena bosan. Setelah memaksakan kehendaknya malam itu, Draco tidak pernah mengunjungi Harry lagi.

Mungkin dia sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya. Harry mencibir, mencoba mengabaikan perasaan seperti tercubit di dadanya. Tetapi kalau memang benar begitu, kenapa Draco tidak melepaskannya?

Apakah karena pria itu tahu bahwa Harry berniat membunuhnya, jadi dia menawan Harry di sini karena menganggap Harry ancaman yang berbahaya? Kalau begitu kenapa Draco tidak membunuhnya sekalian?

Beberapa lama terpaku di jendela, Harry menyadari bahwa ada kesibukan yang tidak biasa di luar sana. Beberapa mobil tampak lalu lalang keluar masuk rumah Draco yang biasanya lengang. Sehari-hari pemandangan yang didapat Harry hanyalah pemandangan pengawal-pengawal Draco dan beberapa pelayan yang lewat di halaman depan rumah.

Kali ini Harry melihat ada mobil bunga dan mobil katering. Apakah Draco akan mengadakan pesta? Kalau iya, mungkin saja kesempatan Harry untuk melarikan diri bisa muncul kembali.

Sedang larut dalam lamunannya, tiba-tiba pintu kamar putih terbuka. Harry bahkan tidak menolehkan kepalanya sedikitpun. Karena yang masuk ke kamar ini selalu hanya Blaise yang mengantarkan makanan, dan pelayan yang membersihkan ruangan dan membawakan pakaian ganti untuknya–tentu saja di bawah pengawasan Blaise.

Harry tidak pernah berinteraksi dengan Blaise lagi setelah kejadian kemarin, dan sepertinya pria itu juga tidak berniat untuk mengajaknya berbicara. Lagipula rasa bersalah yang ditanggung Harry terlalu besar. Karena dialah Blaise dihajar oleh Draco, bekas-bekas hajaran itu masih ada dari memar-memar di wajah Blaise dan hidungnya yang patah.

Setiap melihat Blaise, Harry disergap perasaan ngeri dan rasa bersalah yang luar biasa. Draco mengancam akan membunuh siapapun yang lengah dan membiarkan Harry lolos. Apakah sepadan mengorbankan satu nyawa demi meloloskan diri?

Harry memang tidak kenal dengan Draco, tetapi kalau mendapatkan kebebasan dengan mengorbankan nyawa orang lain, tetap saja terasa tidak benar baginya.

“Harry.”

Itu suara Draco. Harry terlonjak saking kagetnya. Dia menolehkan kepalanya, dan Draco-lah yang berdiri di tengah ruangan, pria itu tadi sepertinya terdiam, mengamati Harry yang sedang melamun.

Otomatis Harry mengepalkan tangannya, reaksi impulsifnya ketika menyadari aura Draco yang berkuasa memenuhi ruangan. Draco melirik tangan Harry yang terkepal, dan senyum sinis muncul di bibirnya. Pria itu menolehkan kepalanya ke belakang dan Harry baru menyadari ada orang lain di belakang Draco, seorang wanita berambut pendek.

“Ini Pansy,” gumam Draco tenang, “Dia akan mempersiapkan mu untuk nanti malam,” Setelah berkata begitu, Draco melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dan meninggalkan kamar itu.

Mempersiapkannya untuk apa?

***

“Kau sangat cantik, tuan.” Pansy bergumam, memoles wajah Harry yang masih memejamkan matanya di depan cermin,

Sementara Harry masih memejamkan matanya, diam karena didandani oleh Pansy. Kalau Draco menyuruhnya didandani, maka dia pasti akan diperbolehkan untuk turun ke pesta yang diadakan Draco. Hal itu berarti ada kesempatan baginya untuk melarikan diri dari rumah ini.

“Nah, sudah selesai, coba buka matamu,” gumam Pansy. Ada nada puas dalam suaranya, Harry membuka matanya pelan-pelan. Dan dia terpana menatap sosok yang balas menatapnya di depan cermin itu.

Sleep With Mr Malfoy | Drarry [END]Where stories live. Discover now