Bab 1

52 10 9
                                    

"Diego, apa kau akan hadir pada pertunjukan nanti malam?" tanya Alessandro.

Diego tak menggubris perkataan Alessandro. Ia tahu Alessandro hanya ingin memanas-manasi dirinya yang tak kunjung menemukan partner klaviernya.

"Ah, payah kau, aku sudah berhasil membawa pianoku ke lantai 3, kau akan lihat pertunjukan megahku nanti malam," kata Alessandro lagi.

Diego melempar bungkus makanannya dengan gusar. Kemudian pergi meninggalkan Alessandro yang masih sibuk mengoceh. Terdengar beberapa teriakan merendahkan dan cukup memekakkan telinga.

"Berisik," gumam Diego.

Berbagai pikiran menggelayuti pianis muda yang belum pernah melakukan debut pertamanya. Sudah dua tahun berlalu sejak ia dan teman-teman satu angkatannya lulus dari akademi Musicca. Sudah dua tahun pula sejak ia berdiri untuk pertama kali di hadapan menara Torre, dan belum pernah masuk ke sana.

Sore itu, ia kembali berdiri di tempat favoritnya. Tempat di mana ia bisa melihat semua lantai pertunjukan menara Torre. Meski lantai yang biasanya penuh pertunjukan hanya lantai satu hingga tiga. Ia menatap lembaran kertas di tangannya, membaca jadwal pertunjukan resital piano malam ini. Di sana ada jadwal Alessandro, ia akan membawakan pertunjukan pada pukul sembilan malam. Diego tidak memungkiri performa sempurna Alessandro. Bahkan, kabarnya ia telah berhasil menemukan partner klaviernya yang baru dalam waktu seminggu.

Pengagum Alessandro pasti menunggu datangnya malam ini. Malam di mana dia akan memperkenalkan partner klavier barunya dan menyuguhkan pertunjukan lain dari biasanya. Diego menatap dingin kertas tersebut. Dia bertanya dalam hati, kapan namanya akan tercantum di dalam kertas tersebut.

Jam berdentang menunjukkan pukul sembilan, ketika Diego duduk di samping sebatang pohon tua di kejauhan. Ya, itulah tempat favorit Diego. Tempat mengamati lantai demi lantai menara Torre tanpa perlu membayar tiket masuk. Alessandro muncul di panggung lantai tiga, dengan seorang gadis tinggi berpenampilan glamor. Alessandro memperkenalkan dengan singkat sekilas tentang klavier tersebut. Kalau Diego tidak salah dengar, namanya Alessandra.

"Cih, dia pasti sengaja menyamakan namanya," batin Diego.

Alessandra mulai menempelkan kedua telapak tangan pada piano Alessandro. Sedangkan Alessandro duduk dan merenggangkan jari-jarinya, bersiap menekan tuts demi tuts. Keduanya mulai membawakan sebuah melodi. Tak butuh waktu lama untuk memikat para hadirin. Mereka sudah terbuai dengan alunan nada yang cukup merdu.

"Kenapa dia begitu cepat menemukan Klavier pengganti dan menyamakan alunan nada?" gerutu Diego.

Sebetulnya Diego pernah melihat Alessandra, ia juga merupakan alumni akademi Musicca. Lagipula, Alessandro memiliki selera yang aneh ketika memilih seorang klavier. Alessandro selalu mengutamakan penampilan, kecocokan nama, dan hal-hal lainnya yang bersifat fisik.

"Sudah kuduga kamu ada di sini." Suara seorang gadis membuyarkan fokus Diego. Diego menoleh ke arah suara tersebut. Gadis itu tersenyum manis.

"Adelina?" sapa Diego.

Adelina duduk di samping Diego, dengan aroma tubuhnya yang semerbak seiring dengan tatapan teduh dari paras cantiknya.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Diego.

"Mencarimu," jawab Adelina singkat.

"Aku tahu kamu akan selalu ada di sini kapan saja menara Torre mengadakan pertunjukan resital piano. Malam ini jadwal Alessandro ya?" lanjut Adelina sebelum Diego membuka mulutnya.

Diego mengabaikan ucapan Adelina, ia kembali menatap ke arah menara Torre, menyaksikan Alessandro memainkan pianonya dengan piawai.

"Aku ingin sekali ada di sana," ucap Adelina lagi yang masih dihiraukan oleh Diego.

"Orangtuaku akan bangga jika aku berhasil masuk ke menara Torre dan melakukan tugasku sebagai klavier."

"Mengapa bukan kau saja yang memainkan piano tersebut alih-alih hanya menjadi klavier?" tanya Diego.

"Kau bercanda? Kami para gadis, lahir dengan darah seorang klavier, dan harus menjalankan tugas sebagai seorang klavier."

"Tapi tidak ada salahnya kau mencoba memainkan piano itu sendiri."

"Sudah cukup bagiku mendengarkan alunan nada dari seorang pianis, aku mungkin tak akan pernah mencoba menekan tuts itu sendiri."

"Itulah yang tidak kusuka dirimu, dan dari semua gadis di akademi Musicca."

"Diego ...."

Diego bangkit dari duduknya kemudian pergi. Adelina mengejarnya.

"Apa kau tak ingin memainkan piano itu untukku? Aku ingin mendengarkannya, kumohon."

"Berhenti membujukku, suara pianoku bukan untukmu. Jika kau memang ingin mendengarnya, tunggulah aku ada di menara Torre membawakan pertunjukan piano dengan caraku sendiri."

"Siapa klavier beruntung yang bisa mendampingimu?"

"Tunggu saja." Diego melambaikan tangannya, mengisyaratkan perpisahan pada Adelina.

Adelina memeluk lututnya dan menangis. Dia sudah lama berharap akan menjadi pasangan Diego sejak di akademi. Beberapa kali mereka pernah berkolaborasi pada acara-acara akademi. Namun, tidak dengan Diego. Diego menolak mentah-mentah Adelina sebagai partner klaviernya untuk debut solo di lantai satu menara Torre.

Adelina yang telah dibutakan oleh dirinya sendiri hanya terus menaruh harapan kosong pada Diego. Berharap suatu saat Diego akan membuka hati untuk Adelina.

Pertunjukan Alessandro malam itu sukses besar, para hadirin memberikan tepuk tangan yang meriah untuk pasangan pianis dan klaviernya yang baru. Alessandro dan Alessandra turun dan keluar dari menara Torre. Wajah mereka berdua tampak bahagia. Mereka terus berjalan hingga menemukan Adelina yang menangis seorang diri.

"Adelina?" panggil Alessandro.

Adelina terkejut, ia tak menyangka Alessandro akan ada di tempat itu. Buru-buru ia menghapus air matanya.

"Kamu sedang apa di sini?" tanya Alessandra.

"Tidak apa-apa," jawab Adelina sedikit tertawa meski dengan mata yang masih sembab.

"Oh ya selamat untuk kalian berdua ya." Adelina menyalami keduanya.

"Terima kasih, aku juga tidak menyangka bisa menjadi partner klavier Alessandro." Alessandra melirik Alessandro.

"Yah, kau hebat. Aku juga tidak menyangka kau bisa membawa piano itu ke lantai tiga."

"Adelina, kapan kau akan pergi ke sana? Bukannya kau bilang kau juga akan mengadakan pertunjukan di menara Torre? Ini sudah dua tahun," kata Alessandra.

Adelina hanya tersenyum kecut.

"Kenapa kau terus-menerus mengejar Diego? Lupakan saja, masih banyak pianis berbakat lainnya. Apa istimewanya Diego? Seleranya juga aneh. Tampan juga tidak." Alessandro mencerocos panjang lebar. Alessandra menyikut Alessandro.

Adelina diam saja, meski ada raut kekecewaan pada air mukanya.

"Mau makan pizza bersama?" tawar Alessandro.

Adelina berpikir sejenak, sepertinya ia harus melupakan masalahnya untuk saat ini.

"Baiklah, aku mau brucetta saja," jawab Adelina.

Adelina bangkit dari duduknya, kemudian pergi bersama Alessandro dan Alessandra. Malam itu bulan bersinar terang, seakan menjadi saksi semua pianis dan klavier di permukaan bumi yang ia sinari. Namun, seperti halnya Diego. Bulan tidak tahu, siapa klavier yang tepat untuk Diego.

Menara Torre mulai memadamkan lampunya. Tidak ada pertunjukan pada pukul dua belas malam selama satu abad terakhir. Tidak, setelah Roberto memainkan pertunjukan paling indah sepanjang masa dengan empat klavier bersamanya.

Love MelodyWhere stories live. Discover now