Drop

200 9 0
                                    

Ruangan serba putih ini menjadi saksi bagaimana kehidupan sesungguhnya dari Arfan. Jika saja boleh menyerah, sudah pasti laki-laki itu sudah menyerah dengan rangkaian pengobatan yang sudah bertahun-tahun ia jalani. Tapi ia ingat, cinta yang diberikan keluarganya begitu besar mengalahkan rasa sakit yang hampir setiap hari ia rasakan.

Dengan senyum yang menjadi khasnya, Arfan memasuki ruangan dokter yang sudah hampir lima tahun menangani dirinya, dokter Alzam. Dokter itu menyambut pasiennya dengan hangat dan meminta laki-laki itu untuk duduk di hadapannya.

"Ada keluhan lain Fan?" tanya dokter Alzam membuka obrolan. Arfan menggeleng tapi tentu saja dokter Alzam mengetahui jika pasiennya itu berbohong. "Fan, kamu ngga bisa bohong, dari wajah kamu aja udah kelihatan kalau kamu pucet. Pasti ada sesuatu yang membebani pikiran kamu," tebakan dokter Alzam tepat.

Arfan menghela napas, bohong jika dirinya tak memikirkan sahabatnya. Bagaimana jika Ansel benar-benar tak kembali? Lalu siapa yang akan menjaga Audrey jika dirinya juga harus pergi?

"Iya dok, ada masalah dikit," jawab Arfan. Dokter Alzam beranjak dari duduknya dan menghampiri Arfan, "kamu yang lebih paham sama kondisimu Fan, jangan terlalu dipikirkan ya? Takutnya kamu bisa drop,"

Arfan hanya mengangguk walaupun ia tak bisa menjamin bisa menuruti perintah dokter Alzam. "Kita mulai pemeriksaannya, ya,".

Kini Arfan sedang menjalani beberapa pemeriksaan dengan dokter Alzam. Laki-laki itu berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan EKG yang terpasang pada tubuhnya.

Tidak seperti pemeriksaan sebelumnya, kali ini dokter Alzam berulang kali melakukan pemeriksaan yang sama seperti memperjelas hasil pemeriksaan.

"Rawat inap dulu ya, Fan?" ucap dokter Alzam yang membuat Arfan memejamkan matanya. Jujur saja akhir-akhir ini ia juga merasakan bahwa kondisinya menurun.

Tapi Arfan tetap Arfan, ia akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak di rawat inap. Asalkan tidak sampai ambruk, bagi Arfan semuanya masih normal. Alasannya tentu saja karena ia tak ingin membuat orang-orang terdekatnya khawatir.

Arfan menggeleng, "tambahin obatnya aja dok, jangan rawat inap ya?" Arfan memohon sekaligus memberikan penawaran pada dokter Alzam. Menurut analisanya sebagai dokter, keadaan Arfan memang harus dirawat inap, tapi dokter Alzam juga mengetahui bahwa faktor utama dari kesembuhan pasien adalah kenyamanan pasien itu sendiri.

Dokter Alzam menghela napas dan mengakhirinya dengan tersenyum pada Arfan, "Baik, tapi obatnya jangan sampai telat ya, Fan?" Dokter itu akhirnya menyetujui permintaan pasiennya.

.
.

Arfan tidak pulang atau ke kantor, ia mengambil jatah cutinya untuk check up hari ini. "Gue tunggu di lokasi," ucapnya pada seseorang melalui telepon.

Beberapa menit Arfan menunggu di tempat yang ia janjikan, akhirnya seseorang itu datang. "Gue udah berhasil nemuin tempatnya Ansel," ucap Vanda, salah satu sahabat Arfan dan Revan yang ahli IT.

Arfan meminta bantuan pada Vanda untuk melacak keberadaan Ansel melalui riwayat telepon Ansel dan ayahnya. Tidak membutuhkan waktu lama, Vanda berhasil menemukan keberadaan Ansel. Benar dugaan keduanya, Ansel masih berada di Jakarta.

"Kita langsung kesana, Van," ajak Arfan yang kini beranjak dari duduknya. "Tapi Fan," cegah Vanda yang membuat Arfan mengernyit. "Kita bahkan nggak tau apakah ini jebakan atau emang bener-bener Ansel, apa nggak terlalu berisiko?"

Arfan membuang muka, pikirannya kalut karena terlalu mengawatirkan Ansel hingga membuat logikanya tak bisa berpikir jernih. "Lo bener, Van. Tapi gue akan tetap kesana, kalau lo keberatan, gue bisa sendiri," ucap Arfan yang tentu saja dijawab gelengan oleh Vanda.

Rangkulan Semesta Where stories live. Discover now