6. Banyaknya Kesempatan

4.7K 253 5
                                    

Candu yang mengusik ketenangan, terbanyangkan akan senyum wanita yang pernah mencintainya, malam ini goresan senyum itu terasa lebih hangat dari yang pernah ia lihat, rasanya ingin selalu Arjuna ingat sampai ia bisa membawa senyum itu ke dalam bunga tidurnya.

Malam mulai mendingin, Arjuna berencana pulang, ahh mungkin lebih tepatnya ia ingin memastikan apakah Nara telah sampai di apartemen miliknya?

Langkah pasti yang Arjuna pilih mungkin akan membuat Nara risih, ia yakin itu dengan benar, namun rasa bahagia yang bergejolak dengan rindu yang menguap membuatnya hilang akal, ingin rasanya melihat Nara sepanjang hari, berbincang banyak tentang maaf yang belum tersampaikan dengan benar.

Tuk, tuk, tuk.

Suara ketukan pintu itu terdengar jelas untuk Nara maupun Arjuna.

Ponsel itu ia tinggalkan, kaki mungil yang bergerak menopang tubuh mengantar dirinya untuk membuka pintu. Kaget bukan main melihat tetangganya kini berdiri tepat di hadapannya.

"Sebelum buka pintu dilihat dulu siapa yang datang," pesan Arjuna kepada Nara yang masih mematung.

Nara menyadari kebodohannya, mungkin selama ia tinggal di sini hanya Ina yang sering mampir ke apartemen miliknya itupun selalu dengan kabar.

"Iya lupa. Ada perlu apa?"

Senyum itu berbahaya karena mampu mengantar ingatannya ke masa di mana ia sangat menyukai dimples yang tercetak jelas tersebut.

Teringat pertanyaan Dean tentang rasa yang tersimpan bukan rasa yang hilang.

Penolakan hati yang menjunjung tinggi membuat wanita dengan kaos putih ini membangun satu temboknya kembali, sikap dingin yang ditampakan berharap sang lawan hendak menyerah.

"Saya ganggu, ya?"

Tarikan napas bertujuan menenangkan diri membuat Nara ingin tahu kelanjutan malam tanpa dirinya, apakah Arjuna bercerita banyak tentang masa lalu kepada sepasang kekasih itu?

"Hmm."

"Saya tahu hadirnya saya bikin kamu nggak nyaman dan saya minta maaf untuk itu." Arjuna menjeda ucapannya, "Ina sudah tahu apa yang terjadi, jangan marah, ya?" pintanya.

"Kak Juna, gue pernah bilang kalau perasaan gue buat lo udah nggak ada, jangan berharap dan cepet menyerah biar lo sendiri nggak ngerasain rasa sakitnya penolakan."

"Saya tidak peduli sebesar apa penolakan yang kamu berikan, tapi saya akan usaha membuat kamu menerima saya kembali."

Nara mengepalkan tangan hingga kuku jemarinya memutih. "Stop ngomong saya, lo tuh nggak cocok, Kak."

Nyaris tertawa, Arjuna suka sekali melihat Nara seperti ini, manaruh sedikit perhatian kepada dirinya.

"Iya maaf nanti aku ganti kata itu."

Kepalan tangan yang mengendur membuat alis matanya terangkat. "Aku?" ulangnya.

"Kamu mau saya pakai aku atau gue? Saya bisa nyesuain, Ra."

Arjuna yang sekarang jauh lebih berbahaya ketimbang enam tahun yang lalu, dahulu ragunya membuat langkah mendekatnya menjadi goyah karena fokusnya tidak kepada satu orang saja, berbeda dengan saat ini, fokusnya hanya satu, dunianya hanya satu, bahagianya juga sederhana, hanya satu yaitu wanita manis yang tengah berdiri menatapnya dengan bingung.

"Jangan bingung gitu, sana masuk. Saya hanya mau mastiin kamu pulang dengan selamat."

Pamitnya Arjuna menyisakan sedikit debaran yang berusaha Nara tolak dengan keras, dengan cara apalagi Nara berusaha menyakinkan dirinya untuk tidak menerima hadirnya pria masa lalu itu, rasanya lelah ketika tubuhnya tidak mampu bekerja sama dalam hal sederhana bernama rasa.

fine line [END]Where stories live. Discover now