5. The Turning Point

1K 79 1
                                    

KIANA POV


Wintari menatapku, wajahnya cerah sumrigah, bibirnya menyungging senyum membuat lututku seperti menjadi jelly, perut dipenuhi kupu-kupu beterbangan, geli menggelitik semua sisi. Kiana, stop being so whipped, she has foul mouth.

Kemudian ku lihat mulutnya terbuka, dan aku ketakutan. Takut mendengar sesuatu yang menyakitkan lagi. "Don't say anyhing!" Seruku. Wintari sontak menutup mulut, melipat bibirnya ke dalam, menyisakan garis lurus sangat tipis.
She is cute, but God, I am not ready to talk

"So my place or your place?" Tanyaku dengan berani, menggunakan satu-satunya cara yang ku tahu.
Wintari membuat ekspresi terkejut yang sangat animatif, mata membulat, mulut terbuka lebar, bena-benar menggemaskan! Wajahnya seolah memanggil untuk diuyel-uyel.
Tapi aku wanita dewasa dengan pengendalian diri yang baik, jadi tak akan ku lakukan itu. Terutama tidak di bengkel motor ini.

"A... Aku nggak punya tempat. Di markas ada full team, kalau di rumah ada Ninda." Serak Wintari.
"Tempat ku kalau gitu." Jawabku.

Obrolan simple itu sukses membangun antisipasi di area organ intim, otot perutku mengencang hanya dengan membayangkan.

Syukurlah motorku segera selesei, ku suruh Wintari menyetir. Oversize hoodie yang ia kenakan memberiku ide. Ide gila yang ntah kenapa tiba-tiba muncul, aku tak biasanya mesum begini, tapi Wintari membuatku gila.

Tiga bulan aku hanya melihatnya dari jauh, menyumpah serapahi gitar eletric hitam yang menempel padanya. Pagi ini gitar itu lebih baik cemburu padaku, karena aku akan menyentuhnya, sementar ia hanya benda mati.
Perjalanan menuju kosanku cukup jauh, melewati kawasang ring 1 pangkalan militer yang sepi. Kita berboncengan tanpa kata, ntah apa yang ada di dalam kepalanya, tapi saat ku beranikan diri menyelipkan tangan di saku depan hoodie yang ia kenakan, tanganku bertemu dengan kelamin tegang.

Tangan Wintari sesekali mengelus lututku, merasa disemangati, ku selipkan tangan masuk ke bawah hoodienya saat kita melewati are hutan lindung. Ku gerayangi area privatnya, berhenti hanya ketika motor akan melewati pos jaga.

"Perempatan di depan belok kanan, lalu lurus aja mentok, nanti ada rumah pager hitam, itu kosan gw." Ucapku, Wintari hanya mengangguk. Perutnya naik turun dengan cepat, memberitahuku nafasnya memburu, mungkin penuh dengan nafsu.



-0-



Masuk ke kamar kos dalam keadaan jantung berdebar tak karuan. Ku dorong tubuh Wintari ke tembok, Ia menyergap pinggangku, melingkar dengan lembut, membawa tubuhku menempel ketat padanya.

"Wait... Kian... Wait... Kiana." Ia mendongak, menghindari ciuman. Ku benamkan wajah di lehernya yang sangat terbuka, tak menghiraukan penolakan. Bibirku membuat rangkaian kecupan, dari leher naik ke telinga. Wintari melenguh.
Tangannya meremas pinggangku, keras. Ku peluk tubuh rampingnya, ku gesek bagian tubuh yang saling menempel, area pelvis ku dan kemaluannya. Bibirku sibuk mencumbu daun telinga. Aku menyerangnya tanpa ampun, berharap sentuhan intim mampu menghentikan keinginannya bicara. Wintari mengerang, untuk sesaat ku rasakan tangannya memposisikan tubuhku agar menggesek di bagian yang tepat. Kemudian ia berhenti.

"Let's talk first. Ada hal penting yang pengen aku sampein ke kamu." Ucapnya sambil terengah, kepalanya menunduk, fokus pada bagian yang beradu. Aku meggerakkan pinggul lebih gila, menekan kelaminnya pada milikku.
"We surely need to talk, especially now that you use 'aku, kamu'." Ucapku, bergerak lebih menggila. Rasanya sudah seperti sedang twerking di atas kemaluannya. "But later. Now, touch me!" Perintahku.

"You'd be the death of me, woman!" Serunya, lalu dengan beringas menarik wajahku mendekat. Bibirnya menciumku, mendominasi dengan penuh gairah. Aku terengah, lengan bergelayut pada lehernya.

Wintari terasa manis, beraroma cherry. Ia mengimbangi permainanku dengan sama menggebu. Cumbuan manis berubah menuntut dan penuh dorongan. Ku sampirkan satu kaki di pahanya, memberi ruang lebih bebas untuk saling menggesek.


Tangannya naik, menyelinap masuk ke dalam kaos, meremas payudara dari luar bra. Aku mendesah.


"Win nghhh"

Ia menatapku, tersenyum kecil. Gesture sederhana yang meluluh lantakkan kewarasan. Aku tak sanggup mengunci pandangan. Caranya menatap, membuatku malu.

Sebagai balasan sentuhannya, ku genggam gundukannya dari luar celana trening abu-abu, ia sangat tegang dan keras. Ku bawa tangan naik turun meremas dan memompa, ia terengah, melepas ciuman.

"Oh fuck!" Rutuk Wintari.

Celana dalam ku basah, bisa ku rasakan genangan ditengah-tengahnya.


Wintari kembali menciumku, ujung lidahnya menggelitik bibir bawah, tangangnya menyingkap sport bra tanpa melepas kaitannya, lalu dengan tempo yang sangat menyiksa, ia pelintir putingku, bergantian kiri dan kanan.

Hilang sudah pengendalian diri, kasur nampak terlalu jauh, lorong di depan pintu masuk pun tak menjadi masalah. Ku jatuhkan badan, berlutut di depannya.

Ku turunkan celana dan boxernya secara bersamaan, Wintari mengelus wajahku. Masih melihatku dengan tatapan yang sama.

Aku bersimpuh dengan kemaluan yang siap tempur itu tepat di depan wajahku. Wintari wangi, putih, bersih, dengan rambut kemaluan halus yang tertata rapi.

Kepala kemaluannya berbentuk seperti helm, pink kini licin oleh cairan yang keluar dari ujungnya.
Panjangnya berotot, dan tebal. Semakin ku lihat, semakin membuatku mabuk kepayang.


Merasa memiliki kendali atas tubuhnya, aku mendongan ke atas, bertemu mata dengannya. Tatapan penuh kehangatan masih di sana, tapi kali ini nafsu nampak lebih menonjol, hitam pekat, membuatnya terlihat berbahaya.

Wintari memegang kepalaku, lalu mengarahkan ujung berwana pink mengkilat mendekat ke mulutku.

Ku pegang pangkal nya, perlahan ku masukkan ke dalam mulut. Wintari mengerang, suaranya bergetar terdengar sangat keenakan. "Oh God! You are so good."

Pujiannya membuatku semakin termotivasi, ku hisap kuat-kuat kepala kemaluan, tangan naik turun memompa, pelan tapi pasti separuh dari panjangnya berada di dalam mulutku. Wintari menggila, "Fuck! Stop! Stop! If you keep doing that i'll cum in no time, Kiana."


Aku tak menggubris permintaannya, terus saja ku masukkan kemaluannya, hingga tak ada lagi ruang untuk tangan. Seluruh panjangnya di dalam mukutku, ku letakkan tangan di bokongnya.


Wintari bergerak seperti kesetanan, tangannya memegangi kepalaku, pinggulnya bergerak cepat.

Di ujung jari, ku rasakan Otot-otot di tubuhnya menegang, aku tahu ia sudah hampir keluar. Panjangnya menyodok dalam, memberitahuku batas enak dan menyakitkan sangat tipis.

Aku menganga, terbuka lebar, sedikit kesulitan untuk bernafas, tak memiliki ruang kecuali menerima penetrasinya, tapi anehnya tubuhku menggelinjang, panas, seolah ini adalah puncak seks yang aku tak pernah tahu ada.
Putingku gatal, berdiri tegang, ku bawa tangan untuk meremas-remas buah dada, memberi Wintari tontonan.

Ia semakin gila, mencumbu mulutku dengan sangat berisik, suaranya mungkin terdengar oleh siapapun yang lewat di depan kamarku. Tapi aku tak peduli, biar saja orang-orang itu tahu, seseorang sedang menghajarku dengan enak.


Tak lama tubuh Wintari bergetar hebat, ujungnya masuk lebih jauh lagi, pinggangnya bergerak acak dan cepat. Ku pejamkan mata, menahan sensasi, rasa sakit tapi puas mendengar ia menggila.

Wintari keluar, memuncratkan isinya. Cairan sperma memenuhi tenggorokanku, kental dan panas.

"Oh fuck! fuck! fuck!" Racaunya, berantakan dan terlihat begitu rentan, sangat terbuka. Ekspresi puas di wajahnya membuatku seperti bersama-sama mencapai klimax.

Muncratan sperma semakin lemah hingga akhirnya berhenti. Dan ketakutan itu kembali datang. Ketakutan akan kekosongan, dan rasa dingin yang menyakitkan.

Wintari dengan lembut menarik tubuhku untuk berdiri. Setelah berhadap-hadapan, ia mengelus pipiku, "You have no idea how much I miss you Kiana." Wintari mengekspresikan dengan penuh ketulusan. Menyentuh bagian paling dalam, kalimat yang ku pikir tak akan pernah ku dengar darinya.
Hatiku meleleh, dan aku ingin sembunyi. Tak ingin ia mengetahui kejujuran dari perasaanku secepat ini. Dia hanya menginginkan sex, dan ungkapan itu bisa saja hanyalah ucapan kosong tak bermakna, ujarku dalam hati, mencoba mempertahankan benteng yang ku bangun tinggi.

"What? Sex?" Tanyaku, tanpa sengaja menggunakan nada tajam.
"No, not that. You! I miss you, I miss the way you look at me, I miss the way your body reacted to me, Everything, Kiana. I was being stupid, I regret every word I said as soon as I leave that room."

Aku mencengkram kain hoodie di pundaknya, erat. Berharap dengan melakukan itu membuat bentengku tetap utuh. "I am sorry, I was wrong." Ucapnya. Aku menggangguk, tak memiliki kata-kata untuk diucapkan.

Wintari mencium pipiku, lalu menghujani leher dengan kecupan-kecupan kecil. Semua perasaan campur aduk membuat mulut mengeluarkan penolakan sebelum otak dapat memproses apa yang ku katakan. "Win, gw ada kelas jam 10."
Meski dengan kerutan di dahi, ia menghentikan ciuman tanpa perlu diminta dua kali. Ku tangkup wajahnya, lalu ku dorong sedikit menjauh, memberanikan diri menatap matanya.

Wintari merengut, "aku." Protesnya, mebuatku tersenyum, tak bisa menghindari rasa gemas karena melihat rautnya. Merengut seperti anak kecil yang mainannya baru saja diambil.

"Win, aku ada kelas jam 10." Ralatku, Wintari menyentuh smart watch di pergelangan tangannya. "Tapi ini baru jam 7." Debatnya, aku menggelengkan kepala. Berusaha sekuat tenaga untuk bertahan.

"Kalau kita terusin, aku nggak yakin bisa berhenti. What about cuddle aja sampai aku waktunya mandi?" Tawarku, ia dengan cepat menggelengkan kepala.

"Nope, i don't think I can do that." Tolaknya dengan penuh ketegasan. "Why?" Tanyaku sembari tergelak, mulai nyaman di peluknya.

"Woman, have you ever look at youself in the mirror? Kalau kamu berekspektasi aku bisa cuddle dan menahan diri tanpa mengarah ke sana." Terangnya, memastikan ada penekanan pada kata ke sana. "Ekspektasimu terlalu besar." Lanjutnya.

"Itu pujian kah?"
"Of course, it is."
"Dasar tukang gombal!"
"Nada sama warna pink di pipi kamu nggak selaras, Kiana. Kalau suka digombalin, bilang aja suka."

Aku terlalu malu untuk menjawab, ku pukul bahunya, lalu tergelak. Ia mengeratkan pelukannya, tertawa bersamaku.

Untuk pertama kalinya, ntah dalam berapa lama, aku merasa kehangatan itu. Menyebar di dalam dada. Love.

Buru-buru ku tepis ide gila, terlalu cepat untuk mengalamati ini adalah cinta.

"Daripada cuddle, gimana kalau kamu mandi, aku masakin sarapan?" Lembutnya, banyak hal di kalimat itu yang butuh penjelasan lebih, aku membuka mulut untuk bertanya tapi kalah cepat dengannya, "But first, What about put my pants on?Hum?"

"Ups.. Sorry."

Ku bebaskan diri dari peluknya, berlutut mengambil celana yang tergeletak di pergelangan kaki, lalu menariknya ke atas, ku pasang celana trening, Wintari berdiri di tempatnya sambil mengangguk-angguk. Di dalam dada, muncul letupan-letupan menghangatkan itu lagi, perasaan yang tak bisa ku jelaskan.

Undressing her was a thing, but get her dressed is a whole lot different things. What are we, Win?

"Udah tuh." Kataku setelah mengikat simpul celananya.

Aku mendongak dan melihat betapa merah wajah Wintari. Oh God! Sepertinya aku bukanlah satu-satunya yang malu, pikirku, tersenyum kecil.

"Thankyou." Lirihnya, terdengar jelas tersipu. "Now.. Let's see, apa yang bisa dimasak buat sarapan." Ucap Wintari, berjalan memasuki ruangan kamar." Yep! Pengalihan yang sangat smooth! Pikirku dalam hati.


Ikuti aja alurnya, kata suara hatiku lagi.

Aku berjalan di belakangnya, duduk di meja makan, melihatnya berjalan menuju kulkas.

"Holly shit! Kamu nggak punya bahan makanan? Oh! Ada telor, ada nasi. Aku bikini nasi goreng aja." Wintari mondar mandir dengan nyaman mengomeliku, di dapurku, seolah dia sudah berada di sini seumur hidupnya. Dan jika boleh jujur, ini pemandangan pagi yang kuinginkan untuk seumur hidup.

"Kian.. Baby.. Huy." Panggilnya, aku terngaga. Baby?

Kita nggak lagi di bercinta kayak binatang, nggak di atas ranjang dan dia manggil aku baby? Is this real?

Ku lihat ia jalan mendekat dengan wajah merengut, lalu kecupan kecil menempel di pipiku, membuat gempa bumi di dalam hati. What the fuck? We are in this kind of relationship now?

"Lagi mikirin apa?" Tanya Wintari, khawatir terdengar jelas di nadanya, aku menggeleng.

"Tadi aku bilang, kamu mandi, trus aku masakin sarapan, setelah itu aku anter kamu kuliah. Nanti kalau udah, aku jemput." Wintari melatakan iPhone 14 promax warna hitam di meja, "Simpen nomor hp kamu." Katanya, aku hanya bisa mengangguk. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, aku menuruti semua permintaannya.

Pagi itu aku berangkat ke kampus, diantar Wintari dengan motor dalam keadaan masih setengah tidak percaya. Esok hari, lusa, seminggu dan dua minggu berlalu, aku dan Wintari selalu pergi dan pulang bersama kecuali disaat ia harus latihan band.


Mengenal Wintari dalam dua minggu terakhir sangatlah berbeda, jika di panggung ia terkesan misterius dan dingin, di ranjang ia kasar dan mendominasi, pada kehidupan sehari-hari, saat hanya aku dan dia, Wintari sangatlah penyabar dan lemah lembut.

Ia suka mengurus ku, menyiapkan sarapan, memasak makan malam, atau muncul tiba-tiba di depan pintu kosan hanya untuk tidur berpelukan.

Aku dan dia tidak lagi melakukan seks dengan gila. Hubungan kita seolah berjalan mundur, kini, pelukan dan kecupan di pipi sudah memberikan efek yang sama dengan multiple orgasm.

Dua minggu bersamanya, aku merasakan momen-momen paling membahagiakan seumur hidupku. Tapi yang namanya kehidupan, tak mungkin selamanya membahagiakan.

Suatu pagi aku sampai di kampus, dipenuhi perasaan aneh. Seperti semua orang melihatku dengan lucu. Membuatku cemas dan gelisah.


"Dude what the fuck dude, lu lagi rame di twitter. Wintari? Gimana ceritanya?" El menyerbu dengan rentetan pertanyaan. Aku terpaku, hanya bisa melihatnya super panik, tanpa tahu apa-apa. "Better yet, jangan buka sosial media." Tambahnya, mengambil HP ku, lalu menyeretku menjauh dari kerumunan.

Aku yang masih amat sangat kebingungan mengikuti tarikan di tangan.



"Oh God! Apalagi sekarang? The turning point?" Pikirku dalam hati sambil berjalan di belakang El.


-0-


Saat mobil El berhenti di sebuah café, aku sudah mengetahui penyebab sorot mata tajam orang-orang. Rupanya, ada manusia yang memiliki banyak waktu hingga memperhatikan aku dan Wintari, lalu memulai api di sosial media.

Untunglah sahabatku begitu pengertian, ia membawaku ke sebuah café sepi dan terpencil yang terletak di sisi berlawanan dengan gedung kuliah. Di sini, aku mencoba menenangkan diri. Bohong jika ku bilang celaan dan ketikan kasar di sosial media tak mempengaruhiku.

Hari itu, aku menghabiskan banyak waktu di depan handphone, memeriksa semua sosial kampus.

Hari itu, aku tak bisa bernafas dengan lega.

Hari itu, tidak ada satupun materi yang ku pelajari meski hadr di dalam keras.

Hari itu, seharian aku tak mendengar kabar dari Wintari. Membuatku semakin khawatir.

Tapi semua kegundahan dan pendapat orang menjadi tak penting saat Wintari berdiri di depan pintu kamar kos,wajah menyungging senyuman, menarikku ke dalam pelukan.

Malam itu, aku dan Wintari tidur saling memeluk. Lengannya menyelip di bawah leher, kepalaku di dadanya.

Sejak hari itu, hubungan kita berada di level yang jauh berbeda dari sebelum rumor. Aku dan Wintari seolah menemukan kedamaian di satu sama lain.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, cuddle dan ciuman tak selalu mengarah pada sex.

Hanya dalam waktu singkat, masa-masa sulit ini membawa hubunganku dan dia melampaui sebatas ketertarikan fisik. Dan pada suatu titik, aku berhenti memeriksa komentar di sosial media, tatapan sinis orang-orang pun tak lagi terlalu mengganggu.

Wintari membuat dunia terasa lebih indah untuk ditinggali.

After all, Facing hardship can be the turning point for a relationship or a person.

-0-

SobatWhere stories live. Discover now