1.

23 7 4
                                    

Jangan sedih kalau ada yang bilang kamu gak berguna
Karena itu memang benar

- Diora Lentera -

-----------------------------------------------

Drap.. drap... drap...

Suara langkah kaki yang berderap terdengar dari ujung koridor. Seorang cewek berseragam putih abu-abu berlari cepat melintasi koridor kelas demi kelas. Membuat beberapa anak yang sedang belajar di dalam kelas menoleh keluar.

"DIOOO!!!"

Suara menggelegar itu terdengar nyaring. Membuat bulu kuduk Dio merinding seketika. Cewek itu menambah kecepatan berlarinya.

Ciitt....

Sepatu yang dikenakannya mengerem mendadak, membuat langkahnya nyaris tumbang. Ia langsung berbelok gesit di belokan koridor menuju lantai samping.

Kepalanya menoleh ke belakang, memastikan orang yang mengejarnya tadi tidak terlihat.

"Sial!" umpat Dio pelan. Rok abu-abunya tersingkap saat ia berlari. Memperlihatkan celana pendek berwarna hitam. Sementara itu, kemeja seragamnya berantakan dan berkibar tak tentu arah.

Di depan sana, sebuah dinding setinggi empat meter terlihat. Itu adalah dinding pembatas sekolah yang langsung terhubung dengan jalanan yang berada di belakang sekolah.

"Okee...."

Dio menggertakkan giginya. Matanya fokus menatap depan sementara kakinya terus menambah kecepatan. Setelah mengambil ancang-ancang, telapak kakinya memberikan energi tolakan pada lantai. Ia melompat dengan penuh tenaga.

Hup!!

Dengan sekali lompatan, tubuhnya sudah berada di atas pagar tembok itu. Dari kejauhan, seorang guru dan satpam masih berlari ke arahnya.

"Cemen banget lari gitu doang nggak bisa," gumam Dio. Setelah melambaikan tangan dan tersenyum mengejek, ia melompat ke luar area sekolah.

Citt....

Sebuah motor mengerem mendadak. Kaget dengan kedatangan Dio yang tiba-tiba melompat dari atas.

"Eh, maaf, maaf, Bang. Nggak sengaja," ujar Dio. Ia terus berlari. Mengabaikan umpatan dari sang pengendara motor.

"Cewek tolol!"

Dio menoleh sekilas, "Oke, bang! Dimengerti!" ujarnya sambil mengacungkan jari jempol.
Sebenarnya dia pengen ngacungin celurit sih. Cuma lagi gak bawa aja.

Kaki Dio terus melangkah menuju jalan raya yang ramai. Matahari bersinar terik dan panasnya serasa membakar ubun-ubun.

"Panas banget, buset," keluh Dio. Ia menyibakkan rambut panjang sebahunya ke belakang. Matanya agak menyipit lantaran silau dengan cahaya matahari.
Kepalanya menunduk saat melihat ada sebuah gelang karet bekas yang nyaris terinjak kakinya. Ia membungkukkan badan, mengambil karet itu dan menggunakannya untuk mengikat rambutnya.

Drtt... drtt....

Ponsel Dio berdering nyaring. Dio merogoh saku roknya yang lumayan dalam, mengeluarkan ponselnya lantas mengangkat telpon itu.

"Halo, bang?"

"Dio, lu dimana? Udah kita tungguin!" suara dari telpon terdengar mengomel kesal. Agak berisik dan terdengar suara krusuk-krusuk entah apa.

"Bentar, Bang. Tadi masih dikejar sama calon istri lu," sergah Dio. Ia terus berjalan melangkah membelah kerumunan orang.

Suasana sangat semrawut. Pedagang-pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar, atau becak dan kendaraan bermotor lain yang memotong jalan dan berbelok sembarangan. Suara tiupan peluit dari kang parkir yang mengambil sebagian bahu jalan untuk tempat parkir liar, atau suara seruan kondektur bus dan angkot yang berebut penumpang.

Suara-suara itu berbaur menjadi satu dengan suara gemuruh kendaraan serta klakson yang bersahutan. Ditambah gerah dan panas, siapapun yang punya kesabaran setipis tisu, pasti tidak akan kuat disini.

Ironis sekali. Sayangnya, kesabaran Dio tak lebih tebal dari dompet di akhir bulan.

Bruk...

Seorang kuli angkut yang membawa tumpukan barang tak sengaja menubruknya dari belakang. Membuatnya terdorong ke depan dan nyaris mencium ibu-ibu di depannya.

"Ehh, maaf, Bu. Nggak sengaja," ujar Dio. Ia mengusap bibirnya yang sudah menyentuh bagian punggung ibu-ibu gendut itu.

"Kalau jalan pake mata, dong! Enak aja nubruk orang sembarangan. Apa nggak lihat orang sebesar ini??" omel ibu-ibu tadi. Suaranya yang nyaring dan keras membuat hampir seluruh pengguna jalan menoleh ke arahnya.

"Keliatan banget kok, Bu. Ya maaf, mata kaki saya ini emang gak bisa lihat kalau jalan," sahut Dio enteng.

"Bocah gak punya adab!" ibu-ibu tadi masih mengomel.

Dio mengurut keningnya sendiri yang mendadak terasa pusing. Ia menatap ke sekeliling kakinya. Berharap menemukan batu atau bom atom yang bisa dimasukkan ke dalam mulut ibu itu agar diam.

"Udah kan Bu, ngomelnya? Saya pergi dulu, ya?" pamit Dio. Tanpa menunggu apapun lagi, ia berlalu pergi dari hadapan ibu-ibu itu.




---------------

Pergi ke Jepang beli salak

Baca doang,  vote kagak :)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 18, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dear, DWhere stories live. Discover now