8. Masa Darurat

79 13 0
                                    

Uli tiba di rumah dengan perasaan yang masih campur aduk. Ia tidak tahu kalau bertemu Nael akan membuatnya sekacau itu. Namun, setibanya di rumah, ia malah langsung disuruh siap-siap karena ada undangan makan malam dari rumah Amangboru. Uli sudah ogah-ogahan, tadinya ia berniat tidur saja di rumah, tetapi niatnya keburu batal, sebab Bapak sudah bersabda kalau undangan makan malam dari Amangboru harus ditunaikan. Setelah pasangan pengantin baru pulang dari honeymoon, keluarga mereka diundang berkumpul di rumah Amangboru untuk sekadar bertukar kabar dan membagikan pajak oleh-oleh dari pasangan itu. 

Kini, Uli terjebak di ruang keluarga rumah Amangboru yang luas, bahkan kursinya sudah disingkirkan ke teras. Ruangan itu hanya berisi tikar dan karpet. Saking banyaknya anggota keluarga, kini mereka seperti menghadiri arisan. Empat anak laki-laki Amangboru alias pariban Uli, tiba dengan pasangannya masing-masing plus anak-anak mereka yang jumlahnya bisa saingan sama paud depan rumah. Keluarga Bapatua juga datang dilengkapi dengan Petra dan Pattar yang memiliki ekspresi sama ogahnya dengan Uli. 

"Kirain nggak bakal ikut, Bang." Uli langsung berpindah posisi begitu Petra tiba. 

Petra tertawa. "Biasa, dipaksa Bapak."

Uli tertawa kecil. "Sama aja. Padahal enakan tidur kalo gini, mah."

Petra celingak-celinguk, kemudian berbisik pada Uli. "Katanya, Amangboru udah sampe pesen catering, bisa diamuk kita kalo sampe nggak setor muka."

Uli menghela napas panjang, kemudian tatapannya bertemu dengan Pattar. Begitu Pattar menyeringai, wanita berkaus putih itu langsung menjulurkan lidah. Kemudian, tanpa terduga, beberapa kulit kacang berhasil mendarat di kepala Uli. Tiba-tiba ia merasa ketiban hujan kulit kacang.

"Abang!" Uli tersentak dan seketika itu juga langsung mengadu pada Petra. 

Laki-laki yang mengenakan kaus hitam itu hanya bisa menghela napas dan menggeleng pada kembarannya. Namun, belum juga pertikaian antar sepupu itu dimulai sepenuhnya, Bou malah muncul dan duduk di depan Uli.

"Gimana-nya kabarmu, Nang? Nggak sempat ngobrol kita di nikah paribanmu kemaren itu."

Uli langsung menyunggingkan senyum diplomatis. "Baik, Bou."

Lagi, beberapa kulit kacang mendarat di kepala Uli. Kali ini tidak diguyur seperti sebelumnya, tetapi jatuh satu-satu. Gadis berambut tergulung itu masih berusaha menyabarkan diri. 

Bou langsung mencari sumber masalah. Wanita yang mengenakan sarung sebagai rok itu segera menepuk lengan Pattar begitu mengetahui pembuat onarnya. "Janganlah kau ganggu adeknya. Heran, lho, Bou. Nggak ada capek-capeknya kau kutengok."

Bukannya merasa bersalah, laki-laki yang mengenakan kaus dalam putih yang dilapisi jaket itu malah cengar-cengir. "Dia enak dijailin, Bou."

Merasa dibela, Uli buru-buru mengambil senjata. Ia mengambil jeruk yang tersaji di depannya, kemudian melempar dengan cepat begitu abang sepupunya lengah. Lemparan Uli mendarat tepat di jidat Pattar. 

"Uli!" Pattar mengaduh. Untungnya, Petra segera menutup mulut kembarannya.

Begitu melihat kelakuan kedua keponakannya yang sudah tidak bisa ditolong, Bou buru-buru menjewer Uli dan Pattar secara bersama-sama. "Kalian berdua memang, ya. Dari kecil nggak pernah akur. Ayo, maafan dulu."

Uli dan Pattar bertukar tatap sengit. Sungguh terlihat sangat tidak keren ketika mereka baru mulai sengketa, tetapi sudah dipaksa gencatan senjata. 

"Macam mana-lah mau kawin si Bontot kita ini kalo kerjanya aja masih berantam sama abangnya." Pariban Uli yang paling tua langsung bersuara. Ia bicara tanpa merasa bersalah.

SGM 27+ : Semua Gara-gara Marga ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang