1. Dibalik Sebuah Musibah

800 43 0
                                    

Situasi macam ini tidak pernah terbayangkan, tidak pula diinginkan oleh Anaya. Dia sering mendengar ungkapan 'bak disambar petir di siang bolong' atas suatu peristiwa yang begitu mengejutkan. Namun, Anaya tidak pernah berpikir bahwa pada akhirnya ia akan kebagian giliran untuk mengalami perasaan itu.

Bagi Anaya, terakhir kali ia menerima kabar buruk adalah bertahun-tahun yang lalu. Ia ingat betul tahun itu ia sedang mendapat bimbingan intens untuk olimpiade sains yang akan ia ikuti beberapa minggu lagi. Ditengah kegiatan itu, tiba-tiba Tante Irma menjemputnya.

Tidak ada pikiran buruk yang hinggap di kepalanya lantaran Tante Irma menebar senyum teduh. Tante Irma bahkan sempat-sempatnya mampir di sebuah bakery untuk membelikan Anaya roti isi dan strawberry milkshake kesukaannya. Meski demikian, tanpa dapat dielak, Anaya tetap merasa curiga.

Dalam perjalanan pulang, Tante Irma menggenggam erat tangannya. Ia masih tersenyum, tetapi kali ini Anaya bisa melihat sorot kesedihan yang memantul dari matanya. Lalu, dengan suara yang lembut dan pelan, Tante Irma berkata, "Anaya, Tante minta maaf karena waktu liburan kemarin nggak bisa mewujudkan keinginan Anaya. Seharusnya Anaya bisa menghabiskan waktu sama Papa lebih banyak lagi. Hari ini, Tante akan antar kamu ke sana, tapi... Tante minta maaf karena keadaannya sudah berubah."

Saat itu, entah mengapa embun-embun dari es dalam cup milkshake-nya membuat tangan Anaya terasa sangat dingin. Barangkali karena dia menggenggamnya semkain erat atau justru karena dugaan yang begitu kuat di kepalanya.

"Papa... pergi ya, Tan?" tetapi, Anaya masih bisa menanggapinya dengan hati yang tenang. Kendati hubungannya dengan sang ibu tiri kurang baik, tetapi mereka masih saling bertukar kabar terutama jika hal itu menyangkut sang ayah. Anaya tahu kalau akhir-akhir ini keadaan ayahnya kian memburuk.

Tante Irma kemudian menjelaskan segala situasinya dengan pelan sehingga Anaya memahaminya dengan baik. Anaya menerima dengan mudah dan ikhlas melepas sang ayah. Dia begitu tegar menghadapi situasi itu hingga orang-orang menganggapnya lebih dewasa dari usianya.

Namun, berbeda dengan duka tersebut, kabar yang ia dengar siang tadi sungguh membuatnya nyaris terkena serangan jantung. Anaya baru saja keluar dari terminal kedatangan dan menunggu jemputan yang memang agak terlambat. Lalu, sebuah panggilan masuk di ponselnya.

Anaya pikir lelaki itu sudah tiba sehingga ia langsung bersiap meraih pegangan kopernya. Akan tetapi, suara helaan napas yang terdengar begitu berat membuatnya mengurungkan niat. Dahi Anaya berkerut dalam dan sebelum berbagai pertanyaan di dalam kepalanya berhasil disuarakan, sosok itu lebih dulu berujar, "Kayaknya sebentar lagi aku mati."

Maka setelah puluhan menit perjalanan dari bandara menuju rumah sakit, Anaya tidak mau membuang waktu lebih lama lagi untuk segera menemui lelaki itu. Anaya menyusuri area unit gawat darurat untuk menemukan sosok yang dicarinya. Kondisi saat itu memang cukup ramai, tapi Anaya beruntung karena menemukannya dengan cepat.

Ketika mendengar kabar kecelakaan, pikiran Anaya tertuju pada sebuah kondisi yang cukup parah dengan luka terbuka di beberapa bagian. Terlebih lagi korban tidak hanya dilarikan di klinik terdekat, tetapi sebuah rumah sakit besar. Namun, apa yang ditemuinya saat ini berbeda sekali dengan bayangannya.

"Hai," lelaki itu, yang beberapa saat lalu merasa ingin mati, rupanya masih bisa menyapa sembari tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya. Anaya merasa lega, tetapi dia juga merasa gemas. Namun, dibandingkan memberikan satu pukulan dan mengomel panjang, dirinya lebih ingin menangis saja.

"Tadi aku mau jelasin kondisiku, tapi teleponnya keburu dimatiin," lelaki itu meringis ketika menyadari bahwa dirinya telah membuat perempuan di hadapannya ini panik bukan main. "Sorry."

Next EpisodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang