Senyum Hinata tak kunjung sirna, untuk pertama kalinya setelah sekian purnama dia berhasil mendapatkan apa yang dia impikan. Setidaknya sekarang dia punya jalan untuk memulai karirnya.
Hinata bersenandung gembira, kali ini dia pulang lebih awal untuk memberi sang Ibu kabar gebira. Anak semata wayang-nya ini berhasil mendapat pekerjaan dengan jeripayahnya sendiri.
Bangga?
Tentu saja, setelah sekian lama berjuang mencari peluang akhirnya dia bisa lolos dan jadi pemenang.
Hinata mencari-cari Ibunya di sekeliling rumah namun tak kunjung ketemu. Pudar sudah semangatnya karena ternyata Ibunya pergi ke salon sejak pagi, Hinata menghela nafas panjang lalu melenggang menuju kamar.
Dia akan bercerita nanti, Ibunya pasti sedang merayakan kemenangannya ini jadi biarkan saja.
Hinata segera memasuki kamar dan mengganti pakaian, namun saat dia keluar dari kamar mandi dia terperanjat. Syok dan nyaris berteriak andai saja sosok yang ada di dalam kamarnya itu tidak membekap mulutnya dengan cepat.
"Shhhh..." bisik pria dewasa itu dengan suara baritone yang khas. Tubuh Hinata bergetar seketika hanya dengan mendengar suara itu, tenaganya seolah hiilang dan dia nyaris terjatuh andai saja pria itu tidak menahan tubuhnya. "Kaget ya?" Ujar sosok yang tidak lain adalah Naruto. Lelaki yang mati-matian Hinata hindari kini berada di dalam rumahnya, kamarnya.
"K-kamu ngapain? Pergi!" Hinata berusaha mendorong Naruto dengan tenaga yang tak seberapa namun pemuda itu justru tertawa ringan.
"Kenapa aku harus pergi dari rumahku?"
Seolah menekankan perkataan itu Hinata merasa bak di sambar petir di siang bolong. Nyatanya, mimpi buruknya kembali terjadi. Dia di pertemukan lagi dengan pembawa sial di kehidupannya dulu.
"Rumah mu?" Dengan suara lemah Hinata masih tak percaya dengan kenyataan ini.
"Iya, ini rumahku sayang. Tapi sekarang jadi rumahmu juga." Naruto berkata dengan gampangnya. Dia menyelipkan anak rambut Hinata ke belakang telinga sambil tersenyum ramah.
Sial, Hinata membenci ini.
Tatapan Naruto, caranya tersenyum, bahkan sikapnya yang cenderung sembrono namun manis itu berhasil membuat Hinata kesulitan melupakannya.
"Pergi, ini kamarku!" Hinata berusaha menghindari kontak mata dengan Naruto. Dia bangkit lalu menjaga jarak dari pria itu.
"Oke aku pergi, kamar ku ada di sebelah kalau butuh temen tidur."
"Bajing*n." Hinata mengumpat sambil mendorong tubuh Naruto dengan kasar. Pria itu terkekeh pelan lalu dengan tiba-tiba memeluk Hinata dan menciumnya dengan sembrono.
Sepersekian detik Hinata mematung, dia bisa merasakan panas bibir Naruto yang melumat bibirnya sebelum akhirnya dia sadar dan mendorong Naruto menjauh.
"Lo apa-apaan!!" Bentak Hinata tak terima, dia menghapus sisa jejak ciuman Naruto pada bibirnya.
"Masih manis kaya dulu, aku suka." Tak tau diri dan tak punya malu. Naruto berjalan santai menuju balkon lalu melompat dari tepi balkon dan mendarat di balkon kamarnya.
Kamar mereka benar benar bersebelahan. Hinata syok, dia bahkan tidak bisa berkata-kata apapun. Otaknya mendadak blank.
Kembali denting ponselnya membuat Hinata cemas. 'Kunci pintu kamarmu rapat-rapat, sepertinya aku menginginkan-nya lagi darimu.'
****
Pagi Hinata di liputi dengan rasa takut dan cemas karena kini dia menyadari musuhnya ada di dalam tempat yang sama dengannya.
Tangannya terasa berat ketika hendak membuka pintu, namun hari ini adalah hari pertama dia tidak boleh terlambat atau reputasinya akan buruk di mata bossnya.
Dengan cemas Hinata membuka knop pintu, jantungnya berdegup kencang harap-harap cemas takut Naruto ada di sebalik pintu. Setelah memastikan aman Hinata melangkah keluar, namun baru beberapa langkah seseorang menarik lengannya dan membawanya masuk kembali kedalam kamar.
Hinata tak mampu berteriak karena Naruto sudah mengunci tubuhnya dengan mudah.
"Jangan teriak kalau gak mau aku perk*sa!" Tekan Naruto sambil menatap Hinata tajam.
"Lo mau apa sih?" Hinata terlihat frustrasi melihat tingkah Naruto yang membuatnya tersiksa.
"Balik sama aku, kamu itu punya aku Nat.." suara Naruto merendah, tatapannya sayu dan memohon pada Hinata.
Hinata menolak, dia menggeleng tegas lalu menjawab. "Gak bisa, kita udah gak bisa sama sama lagi. Kita saudara Nar, sadar!"
Naruto mencebikkan bibirnya kesal, "Saudara dari mana? Ayah, Ibu aja udah beda."
"Sekarang kita saudara, Ayah Ibu kita sama!"
"Aku gak peduli, aku gak mau tau. Pokoknya sekarang kamu punya aku, kamu gak bisa lari Nat." Naruto mencengkram pinggang Hinata sebelum akhirnya mendaratkan ciuman penuh paksaan pada Hinata. Lidahnya secara paksa mengeksplore seisi rongga mulut Hinata yang teramat dia rindukan. Cengkraman Naruto kian erat membawa tubuh Hinata kian dekat dengannya.
Tepat sebelum Naruto berbuat lebih gila Hinata mengigit bibir bawah Naruto dengan kencang. Tak seberapa kuat namun cukup untuk melepaskan diri.
"Anj*ng!" Sambil memegangi bibirnya Naruto menatap Hinata tajam.
Persetan, Hinata perlahan-lahan mulai berani melawan Naruto. "Lo kalau mau merk*sa gue kapan-kapan aja, sekarang gue sibuk!"
Hinata keluar dari kamarnya begitu saja meninggalkan Naruto yang kini justru tertawa dengan begitu girangnya.
"Gadis mungilku, sekarang udah gede ya, bisa ngelawan." Ujarnya dengan senyum masih tersisa di bibirnya. "Kita liat aja, seberapa kuat lo nahan diri."
***
Hinata menghela nafas panjang sekali setelah akhirnya dia mampu melalui separuh jam kantornya. Hinata duduk di kantin sendiri, dia terlalu takut untuk bergabung dengan orang lain karena jujur dia tidak begitu mampu bersosialisasi dengan orang baru.
Ternyata gaji besar yang di tawarkan sesuai dengan jobdesk yang di kerjakan. Cukup berat dan menguras tenaganya.
"Apa gue sanggup ya kerja di sini setahun?" Hinata bergumam sendiri sambil meminum cappucino nya.
"Kuat dong cuma setaun doang mah kecil," tiba-tiba terdengar sahutan dari pria yang entah siapa. Hinata mencoba ramah dan mengulas senyum tipis. "Hinata kan?" Tanya pria itu.
Hinata mengangguk kaku, "Kenalin aku Gaara dari Divisi 4."
Tbc____

ESTÁS LEYENDO
Step Brother | Mr. Namikaze
FanficBagaimana jadinya jika Ibumu menikahi seorang duda kaya raya yang ternyata adalah ayah dari mantan kekasihmu dulu? Hubungan mereka yang rumit dan toxit membuat Hinata tersiksa dan akhirnya memilih pergi menjauh. Segala upayanya itu harus hancur kar...