BAB 1

46 23 20
                                    

Pemuda di hadapanku ini menghela napas dan melipat tangannya di depan dada. "Kita putus aja!" pungkasnya.

Sudah kuduga hari seperti ini akan tiba. Sudah dua tahun berpacaran, tetapi banyaknya waktu yang kami habiskan untuk berkencan bisa dihitung jari. Pemuda mana yang tahan dengan orang sepertiku. Kendati demikian, aku tetap saja ingin mendengar alasan tersebut langsung dari mulutnya. Jadi aku putuskan untuk bertanya. "Kenapa?"

"Kamu baik. Aku juga ga sejahat itu. Tapi kita memang gak cocok aja. 'Kan gak semua yang baik bisa disatukan," ujarnya. Tentu saja itu bukan jawaban yang aku harapkan.

Mendengar perkataannya, membuatku tertawa singkat. "Aku bukan orang baik. Kamu juga bukan. Gak ada orang yang benar-benar baik di dunia ini," selorohku yang membuatnya kembali menghela napas. Dari gerak-geriknya, aku tau ia sudah malas meladeniku dan ingin pertemuan ini segera berakhir.

"Mau kamu apa, sih?" tanyanya.

"Kamu tau itu bukan alasan, Ger," ujarku.

"Aku capek. Ngelihat kamu aja rasanya udah capek. Kamu dan semua permasalahan hidupmu itu melelahkan. Waktu yang kamu habisin buat hubungan kita juga gak cukup. Aku mau kehidupan cintaku normal kayak orang lain. Lagi pula—" paparnya, ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.

"Apa?" tanyaku, menuntutnya menyelesaikan kalimat itu.

Ia menggaruk kepalanya dengan kikuk. " Lagi pula kamu gak punya tujuan hidup. Padahal, hidup itu kayak game. Harus ada target yang mau dicapai supaya gak membosankan. Aku gak bisa menjalani hubungan sama orang yang gak punya tujuan."

Enak saja mulutnya! "Memangnya ada orang yang gak punya tujuan hidup? Semua orang punya tujuan, sekecil dan seremeh apa pun. Orang lain aja yang gak paham," cetusku membela diri di saat terakhir, lalu berdecak dan mengangguk. "Ya udah. Ayo, putus!"

Pemuda di hadapanku ini menatapku bingung. "Udah? Kamu gak marah?"

Aku menggeleng. "Alasan kamu cukup masuk akal. Aku juga gak berniat menolak, dari awal."

"Gitu, kah?" gumamnya pelan. Ia tetap bergeming di tempatnya, begitu pun denganku. Kami sama-sama tidak tau harus melakukan apa selanjutnya. Ternyata benar yang diucapkan insan-insan di luar sana. Sedekat apa pun kita dengan seseorang, selalu ada masa di mana kita dan orang tersebut bersikap layaknya orang asing yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Kalau gitu, aku pergi dulu," ujarku memecah kecanggungan.

Sekilas, aku melihatnya mengangguk. "Hati-hati di jalan." Itulah kalimat terakhir yang kudengar darinya, sebelum kami benar-benar berpisah.

Aku berjalan tidak tentu arah sambil menendang-nendang sebuah kaleng soda yang tadi kutemukan di tengah jalan. Karena sudah keluar, rasanya malas untuk kembali lagi ke rumah. Walau tidak hangat seperti udara di pagi hari, udara malam juga cukup menenangkan. Di tambah lagi dengan suara kendaraan yang bisa dianggap sebagai musik di tengah keheningan malam.

Ah, buang-buang waktu! Kalo cuma mau ngajak putus kan bisa lewat chat aja. Tau gitu gue terima aja tawaran Andre buat hangout hari ini, batinku menggerutu.

Kaleng soda yang sedari tadi menjadi objek pelampiasanku menabrak pinggir trotar. Aku menghela napas dan mengambilnya. Menaruhnya di atas trotoar, lalu duduk di samping kaleng itu. Kali ini, ia berperan sebagai teman untuk menemaniku dalam kesepian malam.

Kalau diingat-ingat, aku dan Gerry bukannya berpacaran karena saling mencintai atau semacamnya. Kami hanya teman sekelas yang sama-sama ingin mengambil keuntungan dari event kampus di hari valentine. Entah bagaimana, hubungan kami bisa menjadi lebih dekat dan bertahan selama dua tahun. Walau begitu, rasanya sedih juga tiba-tiba kehilangan sosok yang suaranya selalu kudengar setiap hari.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 14 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MATI RASA, DIABAI ASAWhere stories live. Discover now