Bagian Kedua Puluh Enam

10 3 0
                                    

Satu Minggu kemudian, kabar COVID-19 telah menyebar ke seluruh dunia, bahwa semua orang diwajibkan memakai masker dan beberapa negara telah menerima pasien dengan virus tersebut. Termasuk Indonesia, terdapat dua pasien yang menjadi kasus pertama COVID-19 di negara kami.

Aku mendapat kabar bahwa Ibuku dan adikku di Malaysia terkena virus Corona dan sekarang sedang di karantina di sebuah hotel karena rumah sakit tidak memiliki cukup kamar untuk menampung seluruh pasien yang terkena virus Corona. Kakakku sendiri sering menghubungiku juga menghubungi orangtuaku dan adikku yang tidak boleh dibesuk itu. Minggu pertama di bulan Maret ini begitu buruk. Aku takut Ibu dan Adikku mendapat kemungkinan terburuk dari virus tersebut. Disisi lain aku tetap harus ke sekolah, memakai masker seharian jika pergi keluar, tetap belajar untuk mempersiapkan ujian, dan lain-lain. Aku tidak bisa berdoa untuk mereka berdua seharian meski itulah yang aku lakukan di waktu senggang.

Raka akhirnya masuk, setelah hampir 3 Minggu dia izin. Aku tidak bertanya apakah dia menang atau tidak, aku meminimalisir interaksiku dengannya di sekolah, jika bisa seharusnya tidak ada interaksi sama sekali meski aku mau. Sejak buku tahunan sekolah telah jadi dan disebarkan kepada anak-anak sekolah, mereka menyadari bahwa aku dan Raka dekat karena kami berdua tertangkap kamera sedang berlari sambil berpegangan tangan di belakang para anak-anak yang sedang foto bersama dengan anak-anak seangkatan. Hal itu membuat mereka berpikir bahwa kami mungkin memang ada sesuatu namun sengaja tidak menunjukannya di sekolah. Tidak banyak yang terlalu peduli soal itu, namun bagi perempuan yang menyukai Raka secara diam-diam, aku yakin mereka patah hati.

Aku hanya perlu mempersiapkan untuk menyerahkan hadiah Bu Tama padanya, setelahnya, kupikir aku tidak akan bermain catur setiap hari dengannya, dan bahwa aku akan mengurangi interaksi kami meski itu bukan di sekolah.

Satu Minggu dengan masker di sekolah, kabar bahwa sekolah meliburkan kami dua Minggu pun datang. Aku benar-benar bosan karena itu, tugas tetap diberikan, namun kami tidak boleh keluar rumah, jendela ditutup, pintu dan gerbang ditutup, jalanan Jakarta yang ramai tiba-tiba sepi dan langit mulai cerah tanpa polusi. Dan saat itu, tiba dimana kabar kemungkinan terburuk ibu dan adikku tiba. Aku tidak dapat menjawab apapun saat kakakku menelepon dengan suaranya yang terisak.

Ibu dan adikku tidak bertahan.

Tiket telah dipesan, keberangkatanku ke Malaysia tersisa 3 hari lagi. Aku berbaring di tempat tidurku sambil menatap langit-langit kamar. Ya tuhan, apa aku bisa melihat mereka?
Apakah aku bisa melihat mereka setidaknya untuk terakhir kalinya di pemakaman? Aku tidak tau, aku tidak tau, aku tidak tau apa yang akan terjadi lagi setelah ini? Apa ada hal lain yang akan datang? Apa sesuatu yang telah lama mati masih bisa merasakan kedatangan sesuatu?

Bibiku mengetuk pintu, menyuruhku untuk makan. Sejak kabar itu tiba, aku mengurung diri di kamar, tidak pergi kemana-mana, tidak mengerjakan tugas, tidak membuka handphone-ku kecuali kakakku yang menelepon.

Tidak terasa saat diamku telah berlangsung lama menatap langit-langit kamar, kurasakan air mataku terjatuh, aku menangis dalam diam. Kapan terakhir kali aku berinteraksi dengan ibuku? Dan untuk apa aku susah payah belajar catur jika pada akhirnya aku dan adikku tidak punya kesempatan untuk bermain lagi?

Dadaku mulai sesak, dengan air mata yang terus mengalir, aku beranjak meminum air yang berada di meja belajar. Tangisku sama sekali tidak bersuara. Kini aku pergi menuju meja rias, duduk dan memandang pantulan diriku sendiri, aku mulai berandai-andai mengenai banyak hal. Setelah tiba di Malaysia nanti, tidak mungkin bagiku dan kakak Perempuanku untuk tinggal bersama ayah tiri kami tanpa ibu kami. Kemana aku harus pergi? Apakah kami punya cukup uang untuk kembali ke Indonesia? Lagi-lagi aku tidak tau.

Aku tidak tau.

Jadi, begini rasanya hidup tanpa seorang ibu? Ya tuhan, aku merindukan suaranya.

Saat Bibiku mengetuk pintuku lagi untuk mengingatkanku agar segera makan, aku akhirnya membuka pintu  dengan diriku yang telah berganti baju untuk pergi keluar, kujelaskan sebelum bibiku bertanya bahwa aku hanya pergi sebentar, tidak lupa dengan hand sanitizer yang kuperlihatkan padanya bahwa aku akan selalu membawa itu kemanapun kupergi.

"Ilona akan memakan ini lalu setelah itu pergi, boleh kan?"

Bibiku hanya mengangguk sambil menghela nafas, kurasa ia pasti ingin melarangku pergi keluar karena takut aku akan terkena virus. Tapi karena kabar itu baru saja tiba, rasanya bibiku tidak mampu melarangku yang paham betul akan bahaya di luar kecuali jika hal ini penting.

Aku makan dengan cepat meski rasa lapar sama sekali tidak kurasakan, kuhabiskan makanan itu, dan segera pergi. Aku mengambil motorku dan berjalan pergi entah kemana, sebenarnya aku sendiri tidak tau kemana tujuanku, atau boleh jadi aku hanya ingin diriku terkena virus dan mati begitu saja. Ya tuhan, aku tidak punya apa-apa lagi.

Tidak sadar, motor ini ternyata membawaku ke rumah lama kami, rumah yang boleh jadi di dalamnya ada Raka dan orang tuanya karena kafe pasti tutup. Tapi aku tidak mau menemui mereka, aku pergi menemui ibu-ibu warung yang memberiku alamat Kafe Ruang Indraloka sekaligus yang memperkenalkanku pada kafe itu. Satu tahun yang lalu, aku sama sekali tidak berpikir bahwa aku akan datang lagi kesini untuk mengabari ibu-ibu itu bahwa ibuku telah meninggal. Aku tidak percaya apa yang telah terjadi sekarang.

"Halo Bu, ini Ilona." Sapaku sambil membuka masker saat menghampirinya yang tengah duduk termenung menjaga warung, aku segera mencium tangannya, tidak peduli dengan potensi penyebaran virus.

"Oh Nak Ilona. Ya tuhan, Ibu baru saja memikirkan Nak Ilona! Apa kabar nak?"

Aku menghela nafas, aku tidak tau apakah aku sanggup mengatakannya atau tidak, aku berakhir menjawab pertanyaan itu dengan senyuman "Kabar Ibu bagaimana?" Tanyaku.

"Tidak ada yang lebih buruk dari ini Nak, pembeli warung ibu menurun karena tidak ada yang keluar rumah, pemerintah memberi sembako dan sebagainya kepada orang-orang yang justru membuat warung sembako ibu sepi, Ya tuhan semoga pandemi ini segera berakhir."

"Aamiin." Jawabku yang diikuti ibu itu.

"Bu, ada yang ingin Ilona katakan." Ujarku yang seketika membuat Ibu-ibu warung itu menatapku khawatir.

"Iya Nak, katakan saja." Jawabnya dengan lemah lembut.

"Mama meninggal hari ini Bu, juga adik Ilona." Ujarku yang segera berhenti, tidak dapat menjelaskan lebih lanjut.

"Ya tuhan, Bu Apang, Nak?? Ya tuhan, Ya tuhan semoga mereka tenang disana, Ya tuhan, Ya tuhan ini tiba-tiba sekali!" Ibu-ibu warung itu kini nampak sesak nafas karena syok, dengan segera ku ambilkan segelas air yang berada di meja, memberinya minum.

"Ilona mengatakan ini agar Ibu tau bahwa kami sekeluarga tidak akan bisa membeli rumah kami lagi, bahwa kami memang sudah tidak seperti dulu lagi." Aku menelan ludah karena tenggorokanku yang tiba-tiba mengering, aku segera mengeluarkan beberapa sekantung plastik bening yang didalamnya terdapat beberapa vitamin untuk menjaga kekebalan tubuh dari kantung jaketku "Ini Bu, ada beberapa vitamin yang Ilona beli di apotek sewaktu Ilona menuju kesini. Memang tidak akan membuat anti virus, tapi untuk menjaga kekebalan tubuh Ibu, hitung-hitung ini sebagai kebaikan ibu kepada mama sewaktu mama hidup."

Ibu-ibu warung itu menerimanya, matanya berkaca-kaca setelah lama terdiam dan hanya mendengarkanku. Ia mulai menangis sambil menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara yang begitu keras, kuyakin rasanya ia ingin berteriak namun tidak bisa, rasanya sesak sekali, seperti apa yang kini terjadi padaku. Ya tuhan, aku masih tidak percaya bahwa aku tidak memiliki ibuku lagi, bahwa hari ini dan seterusnya aku tidak bisa melihatnya, tidak bisa mendengar suaranya.

Sebelum aku benar-benar turut menangis bersama ibu-ibu warung itu, aku segera izin pulang, aku tidak boleh lama-lama berada di luar.

Aku menaiki motorku, menghidupkan mesinnya, dan tidak lupa kembali memakai masker setelah kembali mencium tangan ibu-ibu warung itu. Dia beri aku senyuman sebelum aku pergi, kuharap ibu-ibu warung itu umur panjang, bahwa semoga dia tidak bernasib sama seperti Ibuku.

Selama perjalanan pulang, banyak hal hinggap di dalam kepalaku, salah satunya adalah kapan waktu yang tepat untuk memberikan papan catur titipan Bu Tama itu?

Ruang Indraloka 2020Where stories live. Discover now