6. Pertemuan Pertama

701 104 48
                                    

Hema linglung.

Dari sejak beranjak ke kamar mandi, memakai seragam, hingga sekarang mematut diri di depan cermin lemari, Hema terus bertanya-tanya pada diri sendiri; apa yang terjadi? Jujur saja ia kepalang bingung, sebab masih segar dalam ingatan kala Hema menyandar ke salah satu pilar mushola di area rumah sakit tempat Thalia dirawat, tetapi begitu terjaga tahu-tahu sudah terbaring di ranjang kepunyaan Nata. Ia berada di kamar Nata—kamar yang di tahun dua ribu dua puluh tiga telah lenyap sebab Nata membangun ulang rumahnya. Di titik ini Hema punya dua spekulasi; ia balik ke masa lalu, atau cerita yang ia punya bersama Thalia selama belasan tahun hanya mimpi. Menikahi Thalia, lalu memiliki putra bersamanya—semua itu tidak nyata?

Jika benar sekadar mimpi, kenapa terasa begitu nyata? Begitu detail setiap adegannya dan membekas di ingatan Hema. Hari ketika dirinya menikahi Thalia, mendapat kabar kehamilannya, menemani wanita itu melahirkan, lalu berdampingan dengan Thalia membesarkan Mahesa—itu terlalu jelas, terlalu membahagiakan, terlalu disayangkan jika hanya bunga tidur.

Hema menghela napas, berusaha menata fokus. Terserah apa pun itu yang kini sedang terjadi, ia hanya perlu mengikuti alur, 'kan? Menjadi remaja tanggung lagi, astaga, Hema merindukan masa-masa SMA-nya. Dan jauh di lubuk hati, Hema harap cerita perihal rumah tangga dengan Thalia cuma bunga tidur semata. Hema harap masa yang nyata adalah yang sekarang dijalaninya. Menikahi Thalia memang sarat euforia, tetapi Hema tidak suka dengan ujung mimpi itu. Tak suka, sebab ia nyaris kehilangan Thalia.

"Ayok, Hem!"

Suara melengking Nata terdengar dari luar kamar, membuat Hema terenyak. Sekali lagi ia merapikan rambut, lalu sedikit terkekeh sebab wajahnya balik muda lagi. Tidak ada kumis tipis di atas bibir dan dagu, tak ada kerutan di dahi atau sudut-sudut mata. Manik cokelat yang serupa lelehan madu itu tidak menyiratkan letih, binarnya berpendar kekanak-kanakan. Akan tetapi senyum Hema luntur kemudian, menyisakan tarikan bibir yang tampak getir. Di tengah ketidakmengertiannya akan situasi, Hema serasa mau menangis melihat dirinya sendiri yang bebas.

Yang percaya diri.

"Lama pisan, lagi ngapain sih maneh?" Kepala Reyhan menyembul di ambang pintu, menatap Hema dengan ujung alis nyaris bertaut. "Buruan, Hem!"

Hema nyengir, melangkah lebar-lebar ke pintu, lalu merangkul bahu Reyhan dan menggiringnya menuju ruang di mana yang lain menunggu. Tiba di ruang tengah, Hema menghela napas lega, bersyukur eksistensi Mahesa tak cuma ilusi semata. Mahesa betulan di sana, duduk pada kursi rotan dengan posisi menghadap Nata. Remaja kelas dua SMA itu sedang menata rambut Nata. Pemandangan yang melegakan sekaligus bikin hati gerimis. Sungguh, Hema sungguh berharap kehidupan yang nyata adalah yang sekarang saja.

"Udah pada siap?" Mahesa berdiri, tas sudah berada di punggungnya. Sesaat ia menatap bangga tiga remaja dalam balutan seragam SMP yang sekarang berjejer di hadapannya. "Gak usah nunggu Abah dulu kali, ya? Udah siang soalnya. Nanti jangan sampe kelupaan pake atribut, Ketos-nya galak banget, usahain taat aturan." Mahesa selaku kakak kelas sekaligus panitia Ospek dengan baik hati mewanti-wanti.

"Beres," sahut Nata.

"Gini amat," Reyhan malah mengeluh sambil menatap sendu tasnya yang terbuat dari karung, belum lagi topi dari besek dan perintilan memalukan lainnya. "Orang gila yang sering lewat depan rumah aja kalah gila dari kita ini mah." Curhatannya direspons tawa.

"Inget banget aku dulu ledekin kamu, Sa. Soalnya aneh pisan, kayak bebegig sawah. Eh sekarang ngalamin sendiri."

Mahesa tergelak. "Enggak kayak bebegig sawah, kok. Atribut tahun ini enggak sebanyak tahun kemarin, ya walau tetep malu-maluin, sih," kata pemuda itu, yang mana sangat tak berguna, tak berikan penghiburan sama sekali. "Eh, Jere gimana, Na? Minta ditungguin di perempatan gak?"

[✓] Second ChanceWhere stories live. Discover now