Cerita yang Sebenarnya

19 14 0
                                    

Ghea berada di depan rumahnya. Dia memarkirkan motornya kemudian membawa masuk barang-barang belanjaannya. Entah kenapa bulan ini banyak sekali keperluan yang habis.

Tetapi, ada satu hal yang Ghea tidak mengerti. Sejak kapan ada motor vario berwarna hitam terparkir di halaman rumahnya?

Saat Ghea mulai masuk ke dalam rumah dan tidak menghiraukan soal motor tersebut, Ghea terkejut mendapati sepupunya sudah duduk di atas sofa sambil memainkan ponselnya.

“Rumah lo sepi banget, gak ada camilan lagi.” Sepupu Ghea menyambut Ghea dengan tatapan datar seperti biasanya.

Ghea sangat hafal dengan sikap berubah-ubah dari sepupunya itu. Terkadang bersikap dingin dan datar, terkadang slengean, bahkan bisa menjadi pribadi yang tidak bisa ditebak.

“Ini gue baru beli.” Ghea melempar dua snack dan satu kaleng minuman soda pada sepupunya itu.

“Masa tamu dilempari pake snack,” protesnya.

“Ya karena si tamu tidak tau tata krama jadi sang pemilik rumah juga melakukan hal yang sama,” sahut Ghea sambil menuju dapur untuk meletakkan semua belanjaannya.

Setelah meletakkan barang-barang belanjaannya, Ghea kembali ke ruang tamu untuk menemui sepupunya. Ada apa sampai sepupunya itu mampir tanpa kabar-kabar terlebih dahulu. Dan, bagaimana dia bisa masuk?

“Tumben lo jam segini udah di rumah gue?” kata Ghea memulai obrolan.

“Gue pengen aja kesini,” jawab sepupunya santai.

“Kenapa? Masih kepikiran masalah Ara?”

Entah mengapa Ghea malah membahas soal Ara. Bagaimana kejadian di mana pembullyan tersebut sangat membekas dan teringat jelas di benak mereka berdua.

Dia menoleh pada Ghea. “Jangan ungkit-ungkit masalah kemarin!”

Tentu saja sepupu Ghea mengatakannya dengan emosi, karena dia adalah Galen. Dia tidak suka mendengar hal buruk yang pernah menimpa adiknya. Itu sama saja mengingatkan betapa tidak becus dirinya saat menjaga Ara.

Galen sangat sensitif jika membahas soal adiknya itu. Berkali-kali rasa bersalah terus menghampirinya tanpa henti.

“Lalu hubungan lo sama pacar lo gimana?” tanya Ghea mengalihkan pembicaraan.

“Putus,” jawab Galen singkat.

“Keputusan yang bagus,” puji Ghea sambil menepuk bahu sepupunya itu.

“Kira-kira kalo gue deketin Bella lagi bisa gak, ya?” ujar Galen sambil menerawang kemungkinan-kemungkinan jika dia melakukan hal itu.

“Len, gausah ngaco! Lo baru putus sama Vania masa mau deketin cewek lain. Takutnya dia mikir kalau lo jadiin dia sebagai pelampiasan,” ujar Ghea memberi saran.

Entah apa yang berada di pikiran Galen saat ini. Bagaimana bisa dia berpikir untuk mendekati Bella lagi setelah membuat gadis itu menjauh dan membencinya.

“Gak akan pernah! Gue bukan tipikal cowok yang suka mainin perasaan cewek,” sahutnya mantap.

“Kenapa lo begitu yakin?”

“Karena dari awal gue ngincer Bella, tapi karena Vania jadi rusak semua.”

Galen berusaha mengingat masa-masa kemarin yang sejujurnya dia sendiri tidak ingin melakukannya. Harusnya Bella dan tetap konsisten dengan Bella.

“Lo beneran suka sama Bella?” tanya Ghea memastikan.

Galen mengangguk dan berkata, “Apa lo udah gak percaya lagi sama gue?”

BELLA : Three Occasion of ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang