VI. The Other Body

48 11 0
                                    

Ari terbangun dari tidur yang panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ari terbangun dari tidur yang panjang.

Disonansi noktah tangis bumi merajangi rungunya berisik. Tetes-tetes hujan yang mengamuk serta lolongan angin mericuh kala matanya dikerjapkan berkali-kali. Ari mengedarkan pandangan, terbangun dengan napas berantakan. Begitu selesai meraup napas, hal pertama yang ia lakukan adalah melompat turun dari tempatnya tertidur dan melengos keluar kamar megah dimana ia terbangun.

Satu-satunya yang bisa ia pikirkan hanyalah Morgan Grevyan.

Tak menghiraukan keganjilan yang terjadi, perihal mengapa ia bisa berakhir di atas kasur empuk lalu terbangun dengan kepala suntuk, ia melangkah jauh di koridor lengang yang kanan dan kirinya dihiasi mesin-mesin antik. Yang pasti, ini mansion milik Grevyan.

Langkahnya kian bergegas ketika jejak darah yang kecokelatan, berkilat-kilat di atas permukaan porselen.

"Ya Tuhan." Ari makin cemas. Ia tak tahu apa yang telah terjadi setelah semuanya gelap total.

Morgan Grevyan bisa saja mati di detik ini, atau setidaknya—hampir.

Jejak darah memimpin Ari ke depan kamar utama yang berada di lantai dua.

"Tuan Morgan?" Ari mendorong pintu kalap, terlewat khawatir untuk tidak bertindak gegabah.

Jantungnya berdetak tak karuan ketika matanya menangkap Morgan Grevyan yang bersimbah darah, telanjang dada, bersender lemas di dinding sebelah kelambu. Ari tak berpikir dua kali, segera merobek dasar kain gaunnya dan meraih punggung dimana sebuah luka menerjunkan darah segar. Beberapa inci di sebelah tangan Morgan Grevyan, panah logam dari Chastiser tergeletak.

"Bertahanlah, Tuan ..." Ari menekan luka agar pendarahan tersebut berhenti. Kemudian mengikatnya kencang-kencang dengan robek-robekan kain berikutnya. "Demi Dewa Oodle! Tuan harus selamat!" Ari berdoa sembari mempercepat tindakan.

Berusaha cari alat medis darurat, kakinya membawanya pergi ke meja kerja Morgan Grevyan dimana secarik kertas ternodai merah, bertengger sembarangan.









Nona Ari, jika Anda membaca catatan ini, besar kemungkinan saya gagal mengobati diri saya tepat waktu.

Bukalah laci nomor dua. Disana Anda akan menemukan sebuah pistol bermuka ganda yang bersuhu rendah. Ambilah benda tersebut dan tembakan pada luka saya.

Saya percaya Nona akan selamatkan tubuh saya.








Diburu-burukan kekhawatiran, Ari mengambil benda tersebut tanpa berpikir, lalu menjatuhkannya akibat rasa mengejutkan yang menyetrum kulit. "Dingin sekali????" Ari mengibas-ngibaskan tangan yang kebas. Mengakali problematika dengan memakai gaunnya sebagai perantara untuk pemakaian benda.

Ia sempat ragu untuk sesaat. Menembak punggung Morgan Grevyan? Yang benar saja! Ia bahkan tak mengerti fungsi dari alat gaib di tangan.

Saya percaya Nona akan menyelamatkan tubuh saya.

Terngiang-ngiang pesan langsung dari garis keturunan terakhir Grevyan, Ari meyakinkan diri dan menembak tepat pada luka yang balutannya ia buka. Seketika sebuah cairan yang mengering dalam kurun detik, mengitari luka Morgan Grevyan. Biru es menutup sekujur luka. Pendarahan berhenti dan Ari terkulai lemas di sisi Morgan Grevyan yang tak sadarkan diri.

Ari mengusap keringat di dahi sembari menahan tangis. "Tuan Morgan ... Dewa Oodle tidak akan mengambilmu secepat ini, kan?"

[]

Morgan Grevyan berhasil Ari pindahkan berletih lelah ke permukaan kasur gigantiknya. Tentu memakan waktu banyak sebab Morgan Grevyan berat bukan main. Ditambah Ari terus-menerus menggigil malu saat tubuh telanjang Morgan Grevyan menggores miliknya. Apakah ini berarti aku melecehkan orang? Aduh! Ari terus menerus mohon ampun kepada Dewa Oodle.

Demam tinggi menghinggapi Morgan Grevyan untuk tiga hari berturut-turut. Ari sibukan diri peras kain hangat di dahi Morgan Grevyan tanpa henti, berharap demam itu segera turun.

Gigauan Morgan Grevyan pun tak henti-hentinya terjurus.

"Quevert ... hhh ... Vantae ... hhh ... Grevyans."

Ari meletakkan telapaknya untuk yang entah keberapa kali. "Suhunya mulai normal." Ari berujar riang, lalu membawa ember berisi genangan air keluar ruangan ketika satu gaungan keras, mengejutkan Ari, buat genggamannya pada ember melemah dan air membasahi sekujur tempatnya berada.

"A ... apa itu?!" Tak acuhkan basah gaunnya, Ari menenteng pandangnya pada suatu kaca besar di ujung lorong lantai dua.

Matanya terperangah hingga bulat bagai donat ketika yang muncul bukanlah pantulan dirinya, melainkan sosok Morgan Grevyan.

"Nona Arianne! Anda sudah bangun!" Sambutnya penuh semangat, tak menghiraukan ekspresi bingung absolut yang termaterai di wajah Ari.

"Loh? Tu ... Tuan Morgan?!" Ari menyentuh kaca sebesar dinding yang dipasanginya. Sedikit mencubit tangan untuk bangunkan diri, berjaga-jaga ia bermimpi.

"Saya lega tahu Nona baik-baik saja! Nona bisa bantu saya kembali?"

Kembali?? "Ma ... Maksud Tuan???"

"Jiwaku tengah terperangkap di antah berantah waktu. Hanya tubuhku yang kembali ke dunia semula. Tidak banyak waktu untuk menjelaskan, Nona. Tolong pergi ke ruang kerjaku dan hubungi Coon di nada dering pertama!" Morgan Grevyan mendesakkan tiap kalimat hingga padat tersampaikan. Seakan diburu-buru waktu ... atau sesuatu.

"Lalu tubuh yang disini bersamaku itu?!" Ari terbata-bata. Hilang kata di lidah, sedang sang mata menjelajah setiap lekuk kaca, mencari rahasia magis yang mungkin tersembunyi belaka.

"Nona!"

Ari dikejutkan oleh ain wajah Morgan Grevyan yang seketika penuh ambiguitas. "Nona di belakangmu!" Morgan Grevyan menunjuk ke belakang pundak milik gadis di hadapan.

Ari berbalik sekejap. Terkesiap lebih lagi menyaksikan tubuh tak bernyawa Morgan Grevyan kini berdiri kaku di belakangnya, dengan napas berat dan mata yang menjurus buas.

"Itu bukan saya! Nona pergi dari situ sekarang!"

Tanpa perlu tunggu aba-aba selanjutnya, Ari sudah berancang menyelamatkan diri. Lari dari terkaman tubuh tersebut.

[]

The Quevert's TinkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang