Dua Puluh Satu

4.8K 1K 185
                                    

AKU bukan orang yang punya pengendalian diri bagus. Mungkin karena sejak kecil ibuku membebaskan aku untuk mengekspresikan diri. Ibu boleh saja sangat mengagumi budaya yang baru ditemukannya di Bali, tapi saat mendidik anak, dia masih memakai pakem Eropa yang dianutnya selama puluhan tahun sebelum menemukan keajaiban kultur Asia. Ibu hanya selalu menekankan bahwa batas kebebasanku melakukan sesuatu adalah nilai moral yang dianut secara global oleh penduduk bumi, dan aku harus bertanggung jawab untuk semua tindakan yang kulakukan.

Jadi ya, aku adalah tipe orang yang akan mengemukakan pendapat dengan terus terang, blak-blakan. Aku tidak menyimpan apa yang seharusnya aku katakan dengan pertimbangan untuk menjaga perasaan orang lain. Suka, tidak suka, setuju, atau tidak setuju, semua aku kemukakan. Kalau ada yang berbeda pendapat dengan apa yang aku katakan, selalu ada ruang untuk diskusi.

Dalam bertindak, aku juga sering kali tidak berpikir panjang. Maksudku, ketika kita dihadapkan pada pilihan, otak kita otomatis akan mengalkulasi sebab akibat yang bermuara pada risiko yang akan kita tanggung jika kita mengambil pilihan A atau B. Bohong besar kalau ada orang yang mengatakan jika dia tidak tahu konsekuensi dari pilihan yang dibuatnya secara sadar. SADAR, garis bawahi kata itu.

Kehidupan seksualku bisa dijadikan contoh. Aku tahu dengan pilihan seperti itu aku rentan terkena penyakit kelamin karena aku tidak tahu riwayat kesehatan pasanganku. Atau bisa juga kehamilan yang tidak diinginkan. Karena itu aku menggunakan pengaman dengan kualitas bagus. Aku sangat serius soal pengaman itu. Aku bermain aman, jadi tidak akan melakukan hubungan tanpa pengaman. Aku juga rutin memeriksakan kesehatan karena penyakit akan lebih mudah diobati jika diketahui sejak dini.

Aku selalu berusaha agar keputusan yang aku ambil tidak berdasarkan emosi karena ketika emosi terlibat, hasilnya bisa bias. Dan ketika bias, masalah akan mengikuti. Aku tidak suka masalah.

Tapi kadang kala emosi bisa menutup akal sehat. Aku tahu sedang berada dalam situasi seperti itu saat mulutku menutup bibir Faith. Sebenarnya aku tidak bermaksud menciumnya. Sama sekali tidak. Hanya saja dia terlalu cerewet. Tanganku sedang menahan pintu yang berusaha dibuka Faith, jadi tidak bisa kugunakan untuk membungkamnya. Mulutku lebih dekat dengan bibirnya.

Faith membeku. Gerakannya memberontak spontan terhenti. Dia pasti tidak menduga aku menciumnya, sama seperti aku yang tak menyangka akan terpancing untuk bermain fisik.

Bibir Faith terasa manis, mengundang untuk dicicipi lebih lama. Aku memiringkan kepala supaya bisa mendapatkan sudut yang lebih pas.

Seharusnya tanganku tetap memegang jari-jari Faith di pintu mobil, tapi anggota tubuhku itu mengabaikan perintah otak dan bergerak naik menyusuri lengan Faith yang terbuka. Saat telapak tanganku akhirnya berlabuh di belakang leher Faith, aku menariknya mendekat dan memperdalam ciuman.

Aku tahu kalau apa yang kulakukan untuk menghentikan protes Faith terlalu berlebihan, tapi sulit menghentikan apa yang sudah kumulai.

Kulit Faith terasa hangat sekaligus lembut di tanganku. Denyut pembuluh darah di lehernya teraba dengan jelas dan itu terasa seperti ajakan untuk berbuat lebih. Dari leher, tanganku merayap turun. Tali kecil di bahu Faith ikut turun. Telapak tanganku berlabuh di dada Faith.

Faith tersentak saat merasakan invasi tanganku di dadanya. Detik berikutnya, buku jari-jarinya yang sudah bebas mendarat keras di kepalaku. Setelah itu rambutku ditarik dengan kuat. Aku mengaduh dan spontan melepaskan tautan bibir kami. Aku juga menjauhkan tubuh dan kembali ke posisiku semula. Tidak mudah, karena tangan Faith masih menggenggam rambutku dengan kuat.

"Apa-apaan sih? Lepasin, Faith!"

"Kamu yang apa-apaan!" balas Faith sebal. "Main nyosor aja seenaknya! Yang butuh concent itu bukan hanya tidur bersama aja, tapi semua hal yang sifatnya fisik dan berbau seksual, termasuk ciuman!"

"Lepasin, Faith. Sakit!" Kurus-kurus begitu, ternyata tenaganya kuat juga. "Rambutku udah tercabut sebagian tuh." Aku berusaha melepaskan tangan Faith dari rambutku.

"Masih untung hanya rambut kamu yang rontok. Kalau tadi aku gigit, bibir kamu bisa lepas sebagian. Kalau bibir bawah kamu hilang, kamu pikir masih bisa dapetin teman tidur dengan gampang? Minta maaf nggak?"

"Oke... oke... aku minta maaf." Aku mengikuti permintaannya supaya Faith melepaskan jambakan.

Genggaman Faith di rambutku tidak mengendur. "Nada kamu terpaksa banget. Sama sekali nggak tulus. Ulang!"

"Faith, aku minta maaf." Aku melembutkan suara. "Lepasin ya. Aku nggak cocok sama hair style kayak Deddy Corbuzier."

Genggaman Faith perlahan terbuka dan akhirnya rambutku sepenuhnya terlepas dari tangannya. Aku mengembuskan napas lega dan bersandar di jok. Aku mengusap kepala berulang-ulang. Bisa-bisanya anak sekurus ini punya kekuatan seperti beruang.

Faith ikut mengembuskan napas kuat-kuat. Kekesalannya tergambar jelas dari raut wajahnya. "Tadi itu apa sih, Om? Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba udah nyosor aja! Aku pikir, karena kita sudah sepakat untuk nggak terlibat secara fisik, jadi aku terbebas dari kemesuman kamu!"

Sejujurnya, aku tidak bisa menjelaskan alasan tindakanku tadi. Itu spontanitas. Tapi aku harus menemukan cara untuk berkelit. Aku berdeham. "Kamu suka sama aku?"

Mata Faith spontan memelotot. Tangannya bergerak lagi ke arah kepalaku, hendak menjambak lagi. "Pertanyaan macam apa itu? Masa aku suka sama om-om?"

Aku menjauhkan kepala. "Tadi kamu diam saja saat aku cium. Kamu bisa bayangin gimana bahayanya kalau yang cium kamu itu orang yang kamu suka, misalnya si Brian? Begitu sadar, kalian mungkin sudah having sex di dalam mobil."

"Itu hanya pikiran kamu karena kamu memang mesum!" sentak Faith. "Aku tadi diam aja karena nggak menyangka bakal serang kayak gitu."

"Tadi itu pelajaran supaya kamu bisa jaga diri karena laki-laki punya banyak trik untuk membuat perempuan takluk dan lupa diri." Pikiranku sudah jernih, jadi aku sudah bisa mengarang alasan masuk akal.

"Aku bisa jaga diri dan nggak akan lupa diri, Om! Lagian, apa pun yang nanti akan aku lakukan bersama pasangan aku, itu adalah urusanku. Kamu nggak usah sok-sok ngasih pelajaran. Kalau kamu ulang sekali lagi, aku akan bikin kamu lebih botak daripada si Om Close The Door itu!"

Aku meringis dan kembali memegang kepalaku yang masih terasa sakit. "Siapa juga yang mau mengulang ciuman dengan anak kemarin sore yang belum pengalaman?"

Faith kembali menyerangku. Kali ini lengan atasku yang menjadi sasaran tinjunya. "Orang mesum mah kalau lihat kesempatan pasti akan dimanfaatkan, nggak peduli ceweknya sudah pengalaman atau tidak. Kalau tadi kamu nggak aku jambak, tangan dan bibir kamu pasti udah traveling ke mana-mana. Aku sudah nonton ribuan film romcom dan drama. Semua hubungan seksual selalu berawal dari ciuman dan rabaan. Kamu sendiri yang bilang kalau laki-laki nggak butuh cinta dan chemistry untuk bercinta. Cukup nafsu aja. Tadi itu kamu udah horny, Om!"

"Aku nggak mungkin horny sama anak-anak," elakku.

Faith mendengus. "Aku mungkin masih anak-anak di mata kamu, tapi aku tahu kok ciri-ciri laki-laki yang lagi horny. Barang yang Om umpetin di dalam celana Om itu tadi sempat kena lenganku dan aku yakin kondisi normalnya nggak sekeras itu."

Sialan.

"Kita pulang sekarang!" Aku kehilangan minat melayaninya berdebat.

Faith bersedekap. "Tasku ada di dalam. Tadi aku titip sama Katty waktu Brian ngajak turun. Ponsel dan dompetku ada di situ. Aku harus balik ke dalam lagi. Aku nggak bisa ngapa-ngapain kalau nggak pegang ponsel."

Aku menatapnya sebal. "Biar aku yang masuk dan cari Katty. Diam di sini dan jangan coba-coba keluar dari mobil!"

Karma RakhaWhere stories live. Discover now